Sebagai contoh, Finlandia dan Jerman telah mengambil pendekatan berbeda dalam pengembangan pendidikan tinggi mereka. Finlandia, meskipun tidak secara konsisten berada di peringkat teratas WCU, dikenal dengan sistem pendidikan yang berorientasi pada inovasi dan keberlanjutan sosial. Pemerintah Finlandia mengintegrasikan pendidikan tinggi ke dalam strategi pembangunan nasional dengan memberikan akses pendidikan gratis dan memprioritaskan penelitian yang relevan dengan kebutuhan domestik. Menurut laporan OECD (2021), keberhasilan Finlandia dalam sistem pendidikan tinggi tercermin dari kontribusinya terhadap pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja berbasis inovasi lokal.
Jerman, dengan sistem dual education-nya, juga menunjukkan keberhasilan dalam menghubungkan pendidikan tinggi dengan kebutuhan industri domestik. Perguruan tinggi di Jerman lebih menekankan relevansi kurikulum dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, daripada sekadar mengejar status global. Pendekatan ini didukung oleh laporan DAAD (German Academic Exchange Service) 2023, yang mencatat bahwa sekitar 60% lulusan pendidikan tinggi Jerman langsung terserap ke dalam lapangan kerja yang relevan dengan bidang studi mereka. Kebijakan ini memberikan dampak nyata pada pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus menjaga daya saing internasional.
Indonesia dapat belajar dari pendekatan ini dengan menyesuaikan strategi pendidikan tinggi agar lebih relevan dengan kebutuhan lokal tanpa kehilangan daya saing global. Fokus pada relevansi penelitian terhadap isu-isu nasional, seperti ketahanan pangan, energi terbarukan, dan transformasi digital, dapat memberikan kontribusi langsung terhadap pembangunan bangsa. Program Kampus Merdeka yang dicanangkan pemerintah telah menunjukkan langkah awal yang baik dengan mendorong mahasiswa untuk terlibat dalam proyek nyata di masyarakat dan industri, meskipun implementasinya masih membutuhkan penguatan.
Dalam jangka panjang, keberhasilan pendidikan tinggi Indonesia akan lebih bermakna jika mampu menjawab tantangan domestik sambil tetap menjaga kehadiran dalam kancah internasional. Mengejar status WCU seharusnya menjadi bagian dari strategi yang lebih besar, bukan tujuan akhir. Hal ini mencerminkan bahwa perguruan tinggi tidak hanya menjadi simbol prestise global, tetapi juga pilar penting dalam membangun kesejahteraan dan keberlanjutan bangsa.
Arah Baru Kebijakan Pendidikan Tinggi di Era Menteri Satrio Brojonegoro
Setelah dilantik sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (DikTi Sain Tek) pada Oktober 2024, Prof. Satrio Brojonegoro membawa visi strategis baru untuk pendidikan tinggi Indonesia. Beliau berkomitmen melanjutkan kebijakan-kebijakan unggulan sebelumnya, seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), dengan fokus pada evaluasi dan penyempurnaan agar lebih relevan dengan kebutuhan bangsa. Pendekatan yang inklusif, adaptif, dan berbasis hasil nyata menjadi ciri utama arah baru kebijakan pendidikan tinggi di era kepemimpinannya.
1. Pendidikan Tinggi sebagai Penggerak Inovasi Nasional
Salah satu pilar utama kebijakan Menteri Satrio adalah menempatkan pendidikan tinggi sebagai pusat inovasi yang mampu menjawab tantangan nasional. Beliau menegaskan pentingnya riset terapan yang berdampak langsung pada masyarakat. "Pendidikan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai institusi akademik, tetapi juga harus menjadi solusi bagi permasalahan bangsa, mulai dari ketahanan pangan hingga transformasi digital," ujar beliau dalam pidatonya (Kompas, 2024).
Untuk mewujudkan visi ini, program Matching Fund diperkuat sebagai wadah kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri. Hingga 2023, program ini telah mendukung lebih dari 700 proyek inovasi di sektor-sektor strategis seperti energi terbarukan, teknologi pertanian, dan kesehatan. Di bawah kepemimpinan Menteri Satrio, skema ini diperluas dengan tambahan pendanaan untuk mendorong pengembangan teknologi berbasis lokal.
2. Penekanan pada Relevansi Lokal dalam Pembangunan Bangsa
Menteri Satrio juga menegaskan bahwa pendidikan tinggi harus relevan dengan kebutuhan lokal. Kebijakan ini mencakup penguatan program-program yang mendukung pembangunan di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Beliau percaya bahwa pemerataan pendidikan tinggi adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan mengurangi kesenjangan regional.