Di era digitalisasi, kemajuan teknologi telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, mulai dari komunikasi, pekerjaan, hingga cara berbelanja. Perkembangan ini membawa dampak positif yang besar, seperti efisiensi yang meningkat dalam proses bisnis, akses yang lebih mudah ke informasi, serta terbukanya peluang kerja baru di sektor teknologi dan layanan digital.Â
Teknologi digital juga telah membuka jalan bagi inovasi di bidang pendidikan dan kesehatan, dengan pendidikan jarak jauh dan layanan kesehatan digital yang mempermudah akses di daerah terpencil.
Namun, di balik semua kemajuan ini, terdapat tantangan yang semakin mendesak untuk dipertimbangkan. Ketergantungan berlebih pada teknologi digital menimbulkan masalah baru, seperti kelelahan digital, isolasi sosial, dan dampak negatif terhadap kesehatan mental, terutama bagi generasi muda yang tumbuh di era digital.Â
Selain itu, dampak lingkungan akibat konsumsi energi yang tinggi dari pusat data dan limbah elektronik semakin mengkhawatirkan. Emisi karbon dari sektor teknologi informasi telah menjadi kontributor signifikan terhadap perubahan iklim, yang ironisnya mengancam keberlanjutan hidup di planet ini.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah peradaban manusia akan lebih baik jika era digitalisasi ini berakhir, ataukah kita akan mengalami kemunduran besar dalam produktivitas dan inovasi?
 Apakah kembali ke kehidupan yang lebih sederhana dan lebih terhubung secara langsung akan memperbaiki kualitas hidup kita, atau justru menghilangkan peluang yang telah tercipta melalui teknologi?Â
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi dasar dari diskusi yang semakin relevan saat kita meninjau peran teknologi dalam kehidupan dan dampaknya terhadap masa depan manusia dan lingkungan.
Kelelahan Digital dan Dampak Psikososial: Fenomena yang Nyata
Digitalisasi, meskipun menghadirkan kenyamanan dan aksesibilitas yang belum pernah ada sebelumnya, juga telah memunculkan fenomena baru berupa kelelahan digital atau digital fatigue. Menurut studi yang dilakukan oleh Global Digital Wellbeing, sebanyak 36% pengguna internet global melaporkan merasa kewalahan dengan penggunaan media digital.Â
Hal ini bukan hanya sekadar masalah teknis, tetapi juga menyangkut kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis pengguna. Kondisi ini diperparah dengan semakin banyaknya perangkat dan aplikasi yang secara aktif berusaha menarik perhatian pengguna, mulai dari pemberitahuan konstan, algoritma yang mendorong keterlibatan lebih lama, hingga platform sosial yang mengondisikan interaksi serba instan.
Laporan dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa penggunaan perangkat digital secara berlebihan dapat menimbulkan risiko kesehatan mental yang serius. Di antaranya, kelelahan digital dapat memicu kecemasan, depresi, dan gangguan tidur akibat paparan layar yang terlalu intens.Â
Paparan layar biru dari perangkat elektronik sebelum tidur misalnya, dapat mengganggu produksi hormon melatonin yang mengatur siklus tidur, sehingga berdampak pada kualitas tidur. Gangguan tidur ini kemudian dapat berakumulasi dan mempengaruhi kinerja, suasana hati, dan daya tahan fisik seseorang dalam jangka panjang.
Selain itu, digital fatigue juga memiliki dampak signifikan pada cara manusia membangun hubungan interpersonal dan mengembangkan keterampilan sosial. American Psychological Association (APA) mencatat bahwa semakin tingginya ketergantungan pada komunikasi digital telah menyebabkan penurunan kualitas hubungan interpersonal.Â
Fenomena ini terlihat terutama pada kalangan remaja dan anak muda, yang lebih banyak menghabiskan waktu berinteraksi melalui media sosial ketimbang bertatap muka langsung.Â
Hubungan yang terjalin melalui layar cenderung kurang mendalam dan sering kali berfokus pada citra ideal yang ingin ditampilkan, bukan pada kepribadian asli seseorang. Akibatnya, kualitas hubungan emosional menjadi dangkal, dan ini dapat memperlemah kemampuan sosial serta menghambat perkembangan emosional jangka panjang.
Kelelahan digital juga mengarah pada perasaan isolasi meskipun seseorang mungkin merasa "terhubung" melalui media sosial. Sebuah studi yang diterbitkan oleh Harvard University mengungkapkan bahwa interaksi virtual yang tinggi, ironisnya, berhubungan dengan meningkatnya perasaan kesepian di kalangan pengguna media sosial.Â
Ketika seseorang terlalu sering berinteraksi di dunia maya, ia cenderung kehilangan kesempatan untuk merasakan pengalaman sosial yang lebih mendalam, seperti membaca bahasa tubuh, mendengar nada suara, atau merasakan kehadiran fisik orang lain. Interaksi langsung ini sangat penting dalam mengembangkan empati dan kecerdasan emosional, yang dapat semakin tergerus jika terus bergantung pada komunikasi digital.
Dampak dari kelelahan digital ini juga mulai terlihat di dunia kerja, di mana banyak karyawan merasakan tekanan dari work-life blur, yaitu situasi di mana batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin tidak jelas akibat akses kerja yang konstan melalui perangkat digital.Â
Studi oleh Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) di Inggris menunjukkan bahwa sekitar 44% pekerja melaporkan kesulitan memisahkan kehidupan kerja dan pribadi karena ketersediaan perangkat digital yang memungkinkan mereka tetap terhubung dengan pekerjaan kapan saja. Tekanan ini dapat menyebabkan stres kronis, yang kemudian berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Sebagai solusi, berbagai ahli kesehatan mental merekomendasikan untuk memperkenalkan rutinitas digital detox atau detoksifikasi digital, di mana individu secara berkala membatasi atau menghentikan penggunaan perangkat elektronik untuk mengembalikan keseimbangan mental.
 Langkah ini bukan hanya untuk mengurangi paparan stres digital, tetapi juga untuk mendorong orang kembali ke interaksi tatap muka yang lebih manusiawi dan memperkuat hubungan interpersonal. Pendekatan seperti ini semakin dianggap penting untuk mengatasi fenomena kelelahan digital, yang jika dibiarkan, bisa berdampak jangka panjang pada kesejahteraan psikososial generasi mendatang.
Implikasi Dampak pada Lapangan Pekerjaan dan Inovasi
Ekosistem ekonomi global saat ini sangat bergantung pada industri teknologi digital, yang tidak hanya menjadi kontributor utama dalam penciptaan lapangan kerja, tetapi juga pendorong besar bagi inovasi dan produktivitas lintas sektor. Menurut laporan The Future of Jobs oleh World Economic Forum (WEF), sekitar 85 juta pekerjaan diprediksi akan tergantikan oleh otomatisasi pada 2025.Â
Namun, laporan yang sama juga menyebutkan bahwa sebanyak 97 juta pekerjaan baru akan tercipta di sektor digital, termasuk dalam bidang pengembangan perangkat lunak, data analitik, kecerdasan buatan (AI), dan manajemen sistem informasi. Hal ini menunjukkan bahwa digitalisasi tidak hanya mengubah lanskap pekerjaan, tetapi juga menggeser kebutuhan akan keterampilan baru yang lebih kompleks dan teknis.
Jika era digitalisasi berakhir, peluang besar untuk menciptakan lapangan pekerjaan di sektor digital akan hilang. Ini tidak hanya akan mengurangi produktivitas global, tetapi juga membatasi ruang inovasi di berbagai bidang.Â
Inovasi yang didorong oleh teknologi digital telah memungkinkan percepatan dalam penemuan baru, peningkatan efisiensi, dan adaptasi cepat terhadap perubahan.Â
Tanpa digitalisasi, sektor-sektor utama seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, dan keuangan tidak akan mampu mengikuti perkembangan yang dinamis, yang pada akhirnya dapat memundurkan kemajuan ekonomi secara signifikan.
Dalam konteks ekonomi nasional, Indonesia sebagai negara berkembang sangat bergantung pada pertumbuhan sektor teknologi informasi dan komunikasi. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ini tumbuh sebesar 10,9% pada kuartal II tahun 2023, menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.
 Sektor digital telah menciptakan banyak peluang usaha dan lapangan kerja baru di Indonesia, terutama melalui ekonomi kreatif dan e-commerce yang menyumbang pada pendapatan negara.
Penghentian digitalisasi dapat menyebabkan kemunduran bagi ekonomi nasional dengan menghambat perkembangan sektor-sektor yang telah berkembang pesat berkat inovasi digital, terutama bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang menggunakan platform digital untuk memperluas pasar dan meningkatkan efisiensi operasional.
Di sektor UKM, teknologi digital memungkinkan usaha kecil untuk mencapai pasar yang lebih luas dan bersaing secara lebih efektif. E-commerce, sebagai salah satu contoh, telah memungkinkan UKM untuk meningkatkan daya saingnya dengan menjangkau konsumen di luar wilayah lokal. Menurut survei dari Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), UKM yang mengadopsi teknologi digital tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak.Â
Jika digitalisasi berakhir, UKM akan kehilangan keunggulan ini, yang tidak hanya akan berdampak pada pendapatan mereka tetapi juga berpotensi meningkatkan angka pengangguran karena hilangnya lapangan pekerjaan di sektor ini.
Selain itu, digitalisasi juga mempercepat kemajuan di bidang pertanian melalui teknologi Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan yang dapat memantau kondisi cuaca, irigasi, dan hasil panen secara real-time. Tanpa teknologi digital, produktivitas pertanian dapat menurun, karena petani tidak lagi memiliki akses ke informasi yang dapat membantu mereka dalam pengambilan keputusan.Â
Di bidang kesehatan, teknologi digital telah mempermudah akses ke layanan kesehatan melalui telemedicine, yang sangat bermanfaat bagi masyarakat di daerah terpencil. Kehilangan akses teknologi ini akan berdampak langsung pada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan layanan dasar, terutama di wilayah yang jauh dari fasilitas kesehatan.
Secara keseluruhan, dampak dari berakhirnya era digitalisasi akan sangat dirasakan oleh masyarakat global, khususnya dalam kemampuan mereka untuk menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan inovasi yang berkelanjutan. Jika digitalisasi benar-benar dihentikan, bukan hanya ekonomi global yang terpengaruh, tetapi juga kesejahteraan masyarakat, karena mereka akan kehilangan akses pada peluang yang telah ditawarkan oleh perkembangan teknologi digital.
Dampak Lingkungan: Penurunan Konsumsi Energi dan Limbah Elektronik
Ekosistem ekonomi global saat ini sangat bergantung pada industri teknologi digital, yang telah menjadi kontributor utama dalam penciptaan lapangan kerja serta peningkatan produktivitas dan inovasi.Â
Menurut laporan The Future of Jobs oleh World Economic Forum (WEF), transformasi digital tidak hanya menciptakan peluang baru namun juga menimbulkan risiko yang signifikan bagi pasar kerja.Â
Misalnya, sekitar 85 juta pekerjaan diperkirakan akan tergantikan oleh otomatisasi dan teknologi digital pada 2025, namun pada saat yang sama, sekitar 97 juta pekerjaan baru akan muncul dalam bidang teknologi informasi, analisis data, kecerdasan buatan, dan pengembangan perangkat lunak.Â
Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan digitalisasi tidak hanya menggantikan pekerjaan tetapi juga menggeser kebutuhan keterampilan kerja ke arah yang lebih kompleks dan teknis, menuntut adaptasi dan pengembangan kapasitas yang terus-menerus di seluruh dunia kerja.
Jika digitalisasi secara tiba-tiba dihentikan, akan ada konsekuensi yang besar, khususnya pada kemampuan ekonomi global untuk berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan. Dunia kerja akan kehilangan sumber utama lapangan kerja baru dan menghilangkan peluang untuk menciptakan ekosistem yang berbasis pada teknologi canggih.Â
Hal ini tidak hanya berpotensi mengurangi produktivitas tetapi juga memundurkan perkembangan industri yang selama ini bergantung pada teknologi digital, seperti e-commerce, fintech, transportasi berbasis aplikasi, dan layanan kesehatan digital. Inovasi di bidang kecerdasan buatan, blockchain, dan otomatisasi juga akan terhambat, yang pada akhirnya mengakibatkan stagnasi pada produktivitas global.
Dalam konteks ekonomi nasional, Indonesia sebagai negara berkembang juga sangat bergantung pada sektor teknologi digital untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada kuartal II tahun 2023, sektor informasi dan komunikasi mencatat pertumbuhan sebesar 10,9%, menjadikannya salah satu sektor yang paling signifikan dalam pendorong utama ekonomi nasional.Â
Digitalisasi telah memudahkan akses ke layanan keuangan melalui fintech, meningkatkan efisiensi di sektor perdagangan melalui e-commerce, dan mengintegrasikan layanan pemerintah melalui platform digital. Menghentikan digitalisasi akan menimbulkan dampak serius pada sektor-sektor ini, yang tidak hanya mengurangi efisiensi operasional tetapi juga menghambat perkembangan ekonomi yang sedang berlangsung.
Selain itu, dalam skala regional, digitalisasi telah memperkuat daya saing industri lokal dengan memperluas jangkauan pasar dan meningkatkan keterlibatan konsumen. Industri kecil dan menengah (UKM) yang menggunakan platform digital untuk memperluas jaringan pasar dan meningkatkan efisiensi operasional, misalnya, akan kehilangan keunggulannya jika digitalisasi dihentikan.Â
Ini akan berdampak langsung pada kemampuan UKM untuk bersaing di pasar global dan domestik, serta mengurangi akses ke pasar ekspor yang selama ini dimungkinkan melalui digitalisasi.Â
Menurut survei dari Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), UKM yang mengadopsi teknologi digital tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan yang tidak, menunjukkan pentingnya digitalisasi bagi keberlangsungan dan pertumbuhan usaha kecil dan menengah di Indonesia.
Di sisi lain, inovasi digital juga mendorong efisiensi lintas sektor. Di bidang pertanian, misalnya, teknologi digital membantu petani mengakses informasi cuaca, harga pasar, dan prakiraan hasil panen yang lebih akurat melalui aplikasi berbasis Internet of Things (IoT) dan kecerdasan buatan.Â
Di bidang kesehatan, teknologi digital telah membuka jalan untuk telemedicine, yang memungkinkan masyarakat di daerah terpencil mengakses layanan medis tanpa harus bepergian jauh. Tanpa digitalisasi, inovasi-inovasi ini akan sulit berkembang dan menimbulkan kesenjangan yang lebih besar dalam akses layanan dasar di seluruh masyarakat.
Dari perspektif tenaga kerja, kemampuan pekerja untuk mengembangkan keterampilan digital dan beradaptasi dengan tuntutan pasar yang dinamis juga sangat dipengaruhi oleh ekosistem digital.Â
Dengan semakin banyaknya pekerjaan di bidang teknologi yang membutuhkan keahlian khusus, banyak pekerja yang didorong untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan terkait keterampilan digital agar dapat beradaptasi dengan tuntutan pekerjaan masa depan.Â
Studi dari McKinsey menyebutkan bahwa hingga 40% pekerjaan di negara-negara berkembang mungkin memerlukan peningkatan keterampilan digital dalam beberapa tahun mendatang. Jika digitalisasi berhenti, pekerja akan kehilangan peluang ini, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk bersaing dalam pasar kerja global.
Kesimpulannya, mengakhiri era digitalisasi tidak hanya akan menghentikan laju inovasi dan produktivitas, tetapi juga berpotensi menyebabkan stagnasi ekonomi dan penurunan daya saing global, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia yang sangat bergantung pada teknologi digital sebagai pendorong pertumbuhan.
 Menghentikan digitalisasi bisa berarti melepas peluang besar dalam pertumbuhan lapangan kerja baru, peningkatan kualitas hidup, serta efisiensi operasional di berbagai sektor.
Pergeseran ke Era Ekologi dan Manusiawi: Tantangan dan Peluang
Berakhirnya era digitalisasi dapat membawa peradaban menuju kehidupan yang lebih berfokus pada nilai-nilai manusiawi dan keberlanjutan lingkungan. Tanpa ketergantungan berlebihan pada teknologi digital, masyarakat mungkin akan lebih mengutamakan aspek-aspek kesehatan mental dan fisik, pendidikan, dan interaksi sosial yang lebih bermakna.Â
Kehidupan yang lebih sederhana dan alami memungkinkan individu untuk lebih hadir dalam setiap interaksi sosial dan lebih perhatian terhadap kesehatan pribadi, seperti yang terlihat pada kebijakan di beberapa negara maju yang mengurangi penggunaan perangkat digital di kalangan anak-anak. Harapannya, generasi berikutnya dapat tumbuh dengan keseimbangan antara teknologi dan interaksi langsung, sehingga lebih sehat dan seimbang secara emosional.
Namun, transisi ini tidaklah sederhana. Teknologi digital sudah menjadi bagian integral dalam banyak aspek kehidupan, dari pendidikan hingga kesehatan dan perdagangan.Â
Pendidikan berbasis teknologi, misalnya, telah membuka akses yang lebih luas bagi kelompok rentan dan mereka yang berada di daerah terpencil. Selama pandemi COVID-19, pembelajaran daring membantu jutaan anak di seluruh dunia untuk terus belajar meskipun berada di wilayah yang tidak memiliki akses langsung ke lembaga pendidikan fisik.Â
Menurut data UNESCO, hampir 1,6 miliar siswa di seluruh dunia mendapatkan manfaat dari pembelajaran daring, terutama di daerah pedesaan dan wilayah dengan infrastruktur pendidikan yang terbatas. Menghapus teknologi dalam pendidikan akan merugikan kelompok rentan ini dan menghilangkan kesetaraan akses pendidikan yang selama ini dibantu oleh digitalisasi.
Selain pendidikan, sektor kesehatan juga akan sangat terdampak. Teknologi digital memungkinkan layanan kesehatan yang lebih cepat, efisien, dan terjangkau, terutama melalui aplikasi telemedicine yang memberikan akses konsultasi kesehatan bagi masyarakat di daerah terpencil.Â
Selama pandemi, telemedicine membuktikan pentingnya teknologi digital dalam membantu masyarakat yang jauh dari fasilitas medis untuk tetap mendapatkan layanan kesehatan.Â
Tanpa teknologi ini, masyarakat pedesaan dan wilayah terpencil akan kehilangan akses penting ini, yang akan memperdalam kesenjangan kesehatan di antara berbagai kelompok masyarakat.
Sektor bisnis, khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), juga akan terpengaruh secara signifikan. UKM yang memanfaatkan e-commerce dapat memperluas pasar mereka dan bersaing secara global dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan dengan membuka toko fisik.Â
Di Indonesia, misalnya, data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa e-commerce berkontribusi sekitar 3,6% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2022. Hilangnya teknologi digital dapat membatasi akses pasar bagi UKM, mengurangi pendapatan, dan meningkatkan kesulitan bagi mereka untuk bersaing di pasar yang lebih luas.
Meski demikian, berakhirnya era digitalisasi juga membuka peluang bagi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan yang lebih terfokus pada keseimbangan alam. Pengurangan perangkat digital akan menurunkan konsumsi energi global, terutama yang digunakan untuk mengoperasikan pusat data dan server, yang menurut laporan Greenpeace menyumbang sekitar 2% dari emisi gas rumah kaca global.Â
Ini dapat menjadi langkah signifikan menuju pengurangan jejak karbon dan meningkatkan upaya keberlanjutan ekologis.
Secara keseluruhan, pergeseran ke era yang lebih manusiawi tanpa ketergantungan teknologi membawa tantangan dan peluang tersendiri. Dalam upaya mewujudkan masyarakat yang lebih berkelanjutan dan seimbang, kita harus menyeimbangkan antara kemajuan teknologi dan dampaknya terhadap kualitas hidup manusia dan lingkungan.
 Tantangan terbesar adalah menemukan keseimbangan ini tanpa mengorbankan akses dan peluang yang telah dihadirkan oleh teknologi digital, terutama bagi kelompok rentan dan wilayah yang selama ini tertinggal dalam pembangunan.
Kesimpulan: Maju atau Mundur?
Berakhirnya era digitalisasi merupakan tantangan dan peluang yang dapat dianggap sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi, tanpa ketergantungan pada teknologi digital, manusia mungkin akan lebih terhubung satu sama lain, menikmati hubungan sosial yang lebih mendalam, serta menciptakan kehidupan yang lebih berpusat pada nilai-nilai kemanusiaan.Â
Ketergantungan pada komunikasi langsung dapat memperkuat ikatan emosional dan solidaritas sosial, menciptakan masyarakat yang lebih terintegrasi dan stabil secara sosial.Â
Lingkungan juga akan mendapatkan manfaat langsung, dengan berkurangnya konsumsi energi untuk pusat data dan limbah elektronik yang membebani ekosistem global. Pengurangan jejak karbon dari sektor teknologi informasi dapat membantu mengurangi perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan.
Namun, di sisi lain, penghentian digitalisasi juga berisiko merusak banyak sektor ekonomi yang sangat bergantung pada teknologi. E-commerce, fintech, pendidikan online, dan layanan kesehatan digital adalah beberapa contoh sektor yang telah mengalami kemajuan pesat berkat teknologi.Â
Tanpa digitalisasi, aksesibilitas yang lebih luas, efisiensi operasional, serta produktivitas yang telah dicapai melalui inovasi digital mungkin akan tergantikan oleh ketidakpastian.Â
Hal ini tidak hanya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan kesenjangan akses di berbagai lapisan masyarakat, terutama bagi mereka yang hidup di daerah terpencil yang selama ini sangat diuntungkan oleh teknologi digital.
Jika digitalisasi benar-benar berakhir, hal ini bukan hanya soal maju atau mundur dalam arti konvensional, melainkan sebuah perubahan paradigma.Â
Pergeseran ini mengharuskan kita untuk menata ulang prioritas, mempertimbangkan apakah peradaban modern akan lebih diuntungkan dengan kehidupan yang berfokus pada keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan manusia atau tetap mengedepankan inovasi dan efisiensi produktivitas yang diberikan oleh teknologi digital.
Pilihan ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan individu, tetapi juga menentukan arah perkembangan masyarakat global. Dunia yang berkelanjutan dan berpusat pada manusia menuntut perubahan mendasar dalam cara kita bekerja, berkomunikasi, dan hidup.Â
Sementara itu, mempertahankan digitalisasi berarti menerima dampak lingkungan dan sosialnya dengan upaya mitigasi berkelanjutan yang mungkin tidak selalu ideal.
Jawabannya mungkin terletak pada keseimbangan: teknologi sebaiknya digunakan secara bijaksana dan bertanggung jawab, dengan memahami dampaknya pada kualitas hidup manusia dan kelestarian lingkungan. Strategi seperti "digital minimalism" atau "teknologi hijau" dapat menjadi pendekatan untuk memanfaatkan teknologi tanpa mengorbankan nilai-nilai manusiawi dan kelestarian ekosistem.
Pada akhirnya, tantangan terbesar adalah menemukan titik tengah, di mana teknologi menjadi alat yang melayani kemanusiaan dan keberlanjutan, bukan sebaliknya.
Sumber Rujukan
- Global Digital Wellbeing Report. (2023). "Digital Fatigue in a Connected World."
- World Health Organization. (2023). "Mental Health and Digital Device Use."
- American Psychological Association. (2022). "The Impact of Digital Communication on Youth Social Skills."
- World Economic Forum. (2020). "The Future of Jobs Report 2020."
- Badan Pusat Statistik. (2023). "Ekonomi Indonesia Tumbuh di Kuartal II 2023."
- Greenpeace. (2023). "Data Center Emissions and Climate Impact."
- European Commission. (2023). "Reducing Digital Dependency in Youth."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H