Pergeseran ini mengharuskan kita untuk menata ulang prioritas, mempertimbangkan apakah peradaban modern akan lebih diuntungkan dengan kehidupan yang berfokus pada keberlanjutan ekologis dan kesejahteraan manusia atau tetap mengedepankan inovasi dan efisiensi produktivitas yang diberikan oleh teknologi digital.
Pilihan ini tidak hanya mempengaruhi kehidupan individu, tetapi juga menentukan arah perkembangan masyarakat global. Dunia yang berkelanjutan dan berpusat pada manusia menuntut perubahan mendasar dalam cara kita bekerja, berkomunikasi, dan hidup.Â
Sementara itu, mempertahankan digitalisasi berarti menerima dampak lingkungan dan sosialnya dengan upaya mitigasi berkelanjutan yang mungkin tidak selalu ideal.
Jawabannya mungkin terletak pada keseimbangan: teknologi sebaiknya digunakan secara bijaksana dan bertanggung jawab, dengan memahami dampaknya pada kualitas hidup manusia dan kelestarian lingkungan. Strategi seperti "digital minimalism" atau "teknologi hijau" dapat menjadi pendekatan untuk memanfaatkan teknologi tanpa mengorbankan nilai-nilai manusiawi dan kelestarian ekosistem.
Pada akhirnya, tantangan terbesar adalah menemukan titik tengah, di mana teknologi menjadi alat yang melayani kemanusiaan dan keberlanjutan, bukan sebaliknya.
Sumber Rujukan
- Global Digital Wellbeing Report. (2023). "Digital Fatigue in a Connected World."
- World Health Organization. (2023). "Mental Health and Digital Device Use."
- American Psychological Association. (2022). "The Impact of Digital Communication on Youth Social Skills."
- World Economic Forum. (2020). "The Future of Jobs Report 2020."
- Badan Pusat Statistik. (2023). "Ekonomi Indonesia Tumbuh di Kuartal II 2023."
- Greenpeace. (2023). "Data Center Emissions and Climate Impact."
- European Commission. (2023). "Reducing Digital Dependency in Youth."