Paparan layar biru dari perangkat elektronik sebelum tidur misalnya, dapat mengganggu produksi hormon melatonin yang mengatur siklus tidur, sehingga berdampak pada kualitas tidur. Gangguan tidur ini kemudian dapat berakumulasi dan mempengaruhi kinerja, suasana hati, dan daya tahan fisik seseorang dalam jangka panjang.
Selain itu, digital fatigue juga memiliki dampak signifikan pada cara manusia membangun hubungan interpersonal dan mengembangkan keterampilan sosial. American Psychological Association (APA) mencatat bahwa semakin tingginya ketergantungan pada komunikasi digital telah menyebabkan penurunan kualitas hubungan interpersonal.Â
Fenomena ini terlihat terutama pada kalangan remaja dan anak muda, yang lebih banyak menghabiskan waktu berinteraksi melalui media sosial ketimbang bertatap muka langsung.Â
Hubungan yang terjalin melalui layar cenderung kurang mendalam dan sering kali berfokus pada citra ideal yang ingin ditampilkan, bukan pada kepribadian asli seseorang. Akibatnya, kualitas hubungan emosional menjadi dangkal, dan ini dapat memperlemah kemampuan sosial serta menghambat perkembangan emosional jangka panjang.
Kelelahan digital juga mengarah pada perasaan isolasi meskipun seseorang mungkin merasa "terhubung" melalui media sosial. Sebuah studi yang diterbitkan oleh Harvard University mengungkapkan bahwa interaksi virtual yang tinggi, ironisnya, berhubungan dengan meningkatnya perasaan kesepian di kalangan pengguna media sosial.Â
Ketika seseorang terlalu sering berinteraksi di dunia maya, ia cenderung kehilangan kesempatan untuk merasakan pengalaman sosial yang lebih mendalam, seperti membaca bahasa tubuh, mendengar nada suara, atau merasakan kehadiran fisik orang lain. Interaksi langsung ini sangat penting dalam mengembangkan empati dan kecerdasan emosional, yang dapat semakin tergerus jika terus bergantung pada komunikasi digital.
Dampak dari kelelahan digital ini juga mulai terlihat di dunia kerja, di mana banyak karyawan merasakan tekanan dari work-life blur, yaitu situasi di mana batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi semakin tidak jelas akibat akses kerja yang konstan melalui perangkat digital.Â
Studi oleh Chartered Institute of Personnel and Development (CIPD) di Inggris menunjukkan bahwa sekitar 44% pekerja melaporkan kesulitan memisahkan kehidupan kerja dan pribadi karena ketersediaan perangkat digital yang memungkinkan mereka tetap terhubung dengan pekerjaan kapan saja. Tekanan ini dapat menyebabkan stres kronis, yang kemudian berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup secara keseluruhan.
Sebagai solusi, berbagai ahli kesehatan mental merekomendasikan untuk memperkenalkan rutinitas digital detox atau detoksifikasi digital, di mana individu secara berkala membatasi atau menghentikan penggunaan perangkat elektronik untuk mengembalikan keseimbangan mental.
 Langkah ini bukan hanya untuk mengurangi paparan stres digital, tetapi juga untuk mendorong orang kembali ke interaksi tatap muka yang lebih manusiawi dan memperkuat hubungan interpersonal. Pendekatan seperti ini semakin dianggap penting untuk mengatasi fenomena kelelahan digital, yang jika dibiarkan, bisa berdampak jangka panjang pada kesejahteraan psikososial generasi mendatang.
Implikasi Dampak pada Lapangan Pekerjaan dan Inovasi