Pariwisata virtual juga menawarkan kesempatan untuk mempromosikan pengalaman budaya secara mendalam. Melalui teknologi seperti VR dan AR, wisatawan dapat menghadiri acara lokal atau melihat langsung proses pembuatan kerajinan tradisional tanpa harus hadir secara fisik. Hal ini memungkinkan mereka merasakan budaya lokal dengan cara yang menarik dan informatif.
Misalnya, beberapa desa wisata di Indonesia menggunakan tur virtual untuk menampilkan budaya dan kehidupan masyarakat lokal, termasuk upacara adat, tari-tarian, dan kegiatan sehari-hari, yang semuanya memperkaya pengalaman wisatawan tanpa meninggalkan dampak negatif di lokasi.
Dengan demikian, keuntungan-keuntungan ini menjadikan pariwisata virtual sebagai strategi pemasaran yang efektif, mampu menarik berbagai segmen wisatawan dengan minat yang beragam, serta menawarkan solusi yang lebih ramah lingkungan dalam industri pariwisata global.
Tantangan
Namun, wisata virtual memiliki keterbatasan dalam menghadirkan pengalaman penuh yang melibatkan seluruh indera manusia. Sebuah studi oleh Hudson dan Thal (2021) menekankan bahwa wisatawan umumnya menginginkan pengalaman multi-sensori yang kaya, yang sulit dicapai melalui media virtual. Wisatawan sering kali mencari elemen-elemen yang hanya dapat dirasakan secara langsung, seperti aroma makanan khas lokal, tekstur bahan kerajinan, atau bahkan sensasi angin dan suara alami di lingkungan destinasi wisata. Pengalaman sentuhan, aroma, dan interaksi langsung ini adalah faktor yang menciptakan ikatan emosional kuat dan membuat perjalanan menjadi lebih bermakna, yang belum dapat sepenuhnya digantikan oleh teknologi virtual.
Keterbatasan ini membuat wisata virtual kurang efektif untuk beberapa segmen pasar. Berdasarkan riset dari Statista (2022), hampir 65% wisatawan menyatakan bahwa pengalaman sensorik langsung adalah alasan utama mereka bepergian. Tur virtual yang berfokus hanya pada visual dan suara, bahkan yang menggunakan VR dan AR, sering kali tidak mampu menciptakan koneksi mendalam yang sama seperti yang diperoleh dari kunjungan fisik. Selain itu, menurut UNWTO (2021), kendala teknologi di beberapa negara berkembang, seperti akses terhadap perangkat VR, koneksi internet yang stabil, dan harga perangkat yang mahal, juga membatasi aksesibilitas dan adopsi wisata virtual, terutama di kalangan wisatawan domestik.
Keterbatasan lain adalah rendahnya keterlibatan sosial. Sebuah studi oleh Deloitte (2022) menyebutkan bahwa interaksi sosial yang tercipta selama perjalanan fisik, seperti berinteraksi dengan penduduk lokal atau bertukar pengalaman dengan wisatawan lain, merupakan komponen penting dari pengalaman wisata. Teknologi virtual belum sepenuhnya mampu menciptakan rasa kebersamaan ini, yang membuat wisata virtual terasa kurang mendalam dan kurang memuaskan secara sosial. Keterbatasan ini memunculkan tantangan besar bagi pemasaran pariwisata virtual, terutama dalam menjangkau wisatawan yang menginginkan pengalaman autentik dan interaktif yang hanya dapat diperoleh melalui kunjungan langsung.
Dengan keterbatasan-keterbatasan ini, wisata virtual, meskipun memiliki keunggulan aksesibilitas dan fleksibilitas, belum mampu menggantikan daya tarik perjalanan fisik sebagai sarana pemasaran utama. Wisata virtual lebih efektif jika digunakan sebagai alat pendukung untuk memberikan gambaran awal atau promosi visual, sementara pengalaman fisik tetap menjadi pilihan utama wisatawan yang menginginkan keterlibatan penuh dengan destinasi.
Apakah Wisata Virtual Masih Dibutuhkan?
Di era pasca-pandemi, virtual tourism marketing tetap relevan sebagai alat pemasaran dan pratinjau destinasi. Berdasarkan laporan oleh Statista (2023), sebanyak 43% wisatawan mengaku menggunakan tur virtual untuk memutuskan destinasi wisata berikutnya, terutama bagi mereka yang hendak melakukan perjalanan internasional. Wisata virtual memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk "mengintip" suatu destinasi, memahami budaya, keindahan, dan atraksi yang ditawarkan sebelum memutuskan perjalanan fisik. Dalam konteks ini, wisata virtual berfungsi sebagai alat bantu bagi calon wisatawan untuk membuat keputusan lebih bijak dan mempertimbangkan tujuan wisata yang sesuai dengan minat mereka.
Wisata virtual juga berfungsi sebagai jembatan bagi segmen audiens tertentu, seperti orang tua, penyandang disabilitas, dan mereka yang khawatir tentang dampak lingkungan. Menurut laporan dari UNWTO (2022), wisata virtual memperluas aksesibilitas ke destinasi yang mungkin sulit dijangkau atau tidak ramah bagi beberapa kelompok, sehingga mereka tetap dapat menikmati pengalaman budaya dan alam dari tempat mereka berada. Selain itu, bagi wisatawan yang ingin mengurangi jejak karbon dan memilih alternatif berkelanjutan, wisata virtual menjadi pilihan yang ramah lingkungan dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan perjalanan fisik.