Mohon tunggu...
syahmardi yacob
syahmardi yacob Mohon Tunggu... Dosen - Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Prof. Dr. Syahmardi Yacob, Guru Besar Manajemen Pemasaran di Universitas Jambi, memiliki passion yang mendalam dalam dunia akademik dan penelitian, khususnya di bidang strategi pemasaran, pemasaran pariwisata, pemasaran ritel, politik pemasaran, serta pemasaran di sektor pendidikan tinggi. Selain itu, beliau juga seorang penulis aktif yang tertarik menyajikan wawasan pemasaran strategis melalui tulisan beberapa media online di grup jawa pos Kepribadian beliau yang penuh semangat dan dedikasi tercermin dalam hobinya yang beragam, seperti menulis, membaca, dan bermain tenis. Menulis menjadi sarana untuk menyampaikan ide-ide segar dan relevan di dunia pemasaran, baik dari perspektif teoritis maupun aplikatif. Gaya beliau yang fokus, informatif, dan tajam dalam menganalisis isu-isu pemasaran menjadikan tulisannya memiliki nilai tambah yang kuat, khususnya dalam memberikan pencerahan dan solusi praktis di ranah pemasaran Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Virtual Tourism Marketing: Masihkah Diperlukan?

30 Oktober 2024   11:22 Diperbarui: 5 November 2024   07:24 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Virtual tourism marketing atau pemasaran pariwisata virtual menjadi semakin populer di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, terutama saat pandemi COVID-19 yang menghambat perjalanan fisik.

Selama masa pandemi, wisata virtual menjadi solusi bagi sektor pariwisata yang terkena dampak pembatasan sosial, dengan tujuan menjaga daya tarik destinasi wisata di mata publik.

Teknologi seperti video 360 derajat, augmented reality (AR), dan virtual reality (VR) mulai diterapkan oleh berbagai destinasi di Indonesia, termasuk tempat-tempat bersejarah, museum, dan taman nasional, untuk memberikan pengalaman wisata yang imersif bagi wisatawan dalam negeri maupun mancanegara.

Contoh konkret penerapan pariwisata virtual di Indonesia dapat dilihat pada Borobudur, Prambanan, dan berbagai situs bersejarah lainnya. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berkolaborasi dengan platform digital untuk menghadirkan tur virtual dari situs-situs ini, memungkinkan wisatawan untuk "mengunjungi" Borobudur dan Prambanan secara virtual dari rumah mereka.

Laporan dari Kemenparekraf (2022) menyatakan bahwa lebih dari 100 ribu orang mengikuti tur virtual ke Borobudur selama pandemi, yang membantu menjaga minat publik pada destinasi ini dan mendukung industri pariwisata yang sedang terpuruk.

Selain itu, pariwisata virtual juga diterapkan pada beberapa taman nasional di Indonesia, seperti Taman Nasional Komodo dan Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru.

Dengan menghadirkan tur virtual, para pengunjung dapat menikmati pemandangan alam Indonesia tanpa harus mengganggu lingkungan atau menambah tekanan pada ekosistem yang sensitif. Inisiatif ini juga diharapkan dapat menarik minat wisatawan internasional untuk kembali berkunjung secara langsung ketika situasi memungkinkan.

Namun, setelah pandemi berakhir, relevansi wisata virtual di Indonesia mulai dipertanyakan. Wisatawan lokal dan mancanegara yang sebelumnya menikmati tur virtual kini kembali memilih perjalanan fisik untuk merasakan langsung keindahan destinasi.

Meski demikian, wisata virtual masih memiliki peran penting dalam meningkatkan aksesibilitas ke destinasi yang sulit dijangkau atau yang ingin dikunjungi sebagai riset awal.

Kemenparekraf (2023) juga menyebutkan bahwa pariwisata virtual dapat menjadi alat promosi efektif untuk destinasi yang kurang dikenal atau yang membutuhkan perlindungan khusus, seperti Taman Nasional Way Kambas di Sumatra.

Dengan mempertimbangkan potensi, tantangan, dan relevansinya di era pasca-pandemi, artikel ini akan mengulas bagaimana wisata virtual masih memiliki peran dalam strategi pemasaran pariwisata di Indonesia.

Pengalaman Indonesia dalam memanfaatkan teknologi virtual untuk menjaga daya tarik destinasi wisata menunjukkan bagaimana pariwisata virtual dapat tetap menjadi alat yang relevan, terutama dalam memperkenalkan tempat-tempat yang belum terkenal di kancah internasional dan mendukung pariwisata berkelanjutan.

Era Pandemi dan Kebangkitan Wisata Virtual

Pandemi COVID-19 menjadi titik balik bagi pariwisata virtual, mendorong wisatawan yang tidak bisa melakukan perjalanan fisik untuk menggunakan alternatif virtual.

Berdasarkan penelitian oleh GlobalData (2021), selama pandemi, 57% wisatawan di dunia mencari pengalaman pariwisata virtual untuk "melarikan diri" dari kebosanan dan tetap terhubung dengan dunia luar. Teknologi video 360 derajat dan VR memberikan pengalaman yang imersif, memungkinkan wisatawan merasakan destinasi dengan cara baru tanpa perlu hadir secara fisik.

Di Indonesia, destinasi wisata seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Taman Nasional Komodo mengembangkan tur virtual untuk menjaga eksposur global dan tetap menarik minat wisatawan lokal maupun internasional.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mencatat bahwa inisiatif ini menjadi upaya penting dalam menjaga keberlanjutan sektor pariwisata nasional di tengah penurunan drastis jumlah kunjungan wisatawan.

Dengan kolaborasi bersama berbagai platform digital, Kemenparekraf berhasil menjangkau lebih dari 100 ribu pengunjung virtual ke Borobudur selama tahun 2020 hingga 2021, menandakan bahwa wisata virtual mampu menjadi sarana yang efektif dalam mempromosikan destinasi wisata.

Selain memberikan opsi yang aman di tengah pembatasan perjalanan, wisata virtual juga membantu memperkenalkan destinasi yang kurang terkenal.

Misalnya, beberapa desa wisata di Jawa Tengah dan Jawa Timur memanfaatkan tur virtual untuk menampilkan budaya lokal dan kerajinan khas kepada wisatawan virtual dari seluruh dunia. Dalam konteks ini, tur virtual bukan hanya sekadar pengganti perjalanan fisik tetapi juga alat pemasaran yang strategis.

Studi oleh Statista (2022) menunjukkan bahwa hampir 45% wisatawan yang menikmati tur virtual cenderung menempatkan destinasi tersebut dalam daftar tujuan perjalanan mereka di masa mendatang, menunjukkan potensi jangka panjang wisata virtual dalam membangkitkan minat kunjungan fisik.

Keuntungan dan Tantangan Pemasaran Wisata Virtual

Keuntungan

Pemasaran pariwisata virtual memiliki beberapa keunggulan utama, seperti aksesibilitas yang lebih luas dan peningkatan keterjangkauan. Sebuah studi oleh UNWTO (2020) menunjukkan bahwa virtual tourism marketing membantu mengatasi hambatan geografis, meningkatkan eksposur bagi destinasi yang kurang dikenal atau sulit diakses, yang berpotensi menarik wisatawan baru setelah kondisi normal kembali.

Destinasi-destinasi yang sebelumnya kurang diminati karena jarak, kondisi medan, atau biaya transportasi yang tinggi dapat diakses secara mudah oleh siapa saja melalui perangkat digital. Dengan demikian, pariwisata virtual membuka peluang bagi destinasi yang sebelumnya kurang populer untuk dikenal secara luas, sekaligus memperkaya pilihan destinasi bagi wisatawan.

Virtual tourism juga berkontribusi pada pariwisata berkelanjutan dengan mengurangi kebutuhan perjalanan fisik, sehingga menurunkan jejak karbon wisatawan.

Sebagai alternatif bagi perjalanan fisik, wisata virtual memungkinkan wisatawan merasakan pengalaman tanpa harus melakukan perjalanan jarak jauh yang mengonsumsi energi dan sumber daya.

Menurut laporan dari World Travel & Tourism Council (WTTC, 2021), penggunaan pariwisata virtual dapat mengurangi dampak lingkungan hingga 30% pada destinasi yang rentan terhadap overtourism, seperti pulau-pulau kecil atau kawasan bersejarah yang rentan terhadap kerusakan fisik.

Selain itu, pariwisata virtual memberikan manfaat edukatif yang besar. Wisatawan dapat menjelajahi situs bersejarah, museum, dan taman nasional tanpa mengganggu ekosistem lokal atau merusak lingkungan.

Sebuah laporan oleh National Geographic (2022) menunjukkan bahwa pariwisata virtual telah membantu melindungi situs warisan dunia yang sensitif sambil meningkatkan pemahaman publik tentang konservasi.

Wisata virtual memungkinkan pengunjung untuk memahami konteks sejarah, budaya, dan nilai lingkungan dari suatu lokasi tanpa perlu merusak atau mengganggu elemen-elemen alam yang rapuh. Di beberapa situs arkeologi, seperti di Peru dan Mesir, tur virtual juga membantu mengurangi jumlah pengunjung fisik, yang menjaga kelestarian situs dan memperpanjang umur situs warisan dunia tersebut.

Pariwisata virtual juga menawarkan kesempatan untuk mempromosikan pengalaman budaya secara mendalam. Melalui teknologi seperti VR dan AR, wisatawan dapat menghadiri acara lokal atau melihat langsung proses pembuatan kerajinan tradisional tanpa harus hadir secara fisik. Hal ini memungkinkan mereka merasakan budaya lokal dengan cara yang menarik dan informatif.

Misalnya, beberapa desa wisata di Indonesia menggunakan tur virtual untuk menampilkan budaya dan kehidupan masyarakat lokal, termasuk upacara adat, tari-tarian, dan kegiatan sehari-hari, yang semuanya memperkaya pengalaman wisatawan tanpa meninggalkan dampak negatif di lokasi.

Dengan demikian, keuntungan-keuntungan ini menjadikan pariwisata virtual sebagai strategi pemasaran yang efektif, mampu menarik berbagai segmen wisatawan dengan minat yang beragam, serta menawarkan solusi yang lebih ramah lingkungan dalam industri pariwisata global.

Tantangan

Namun, wisata virtual memiliki keterbatasan dalam menghadirkan pengalaman penuh yang melibatkan seluruh indera manusia. Sebuah studi oleh Hudson dan Thal (2021) menekankan bahwa wisatawan umumnya menginginkan pengalaman multi-sensori yang kaya, yang sulit dicapai melalui media virtual. Wisatawan sering kali mencari elemen-elemen yang hanya dapat dirasakan secara langsung, seperti aroma makanan khas lokal, tekstur bahan kerajinan, atau bahkan sensasi angin dan suara alami di lingkungan destinasi wisata. Pengalaman sentuhan, aroma, dan interaksi langsung ini adalah faktor yang menciptakan ikatan emosional kuat dan membuat perjalanan menjadi lebih bermakna, yang belum dapat sepenuhnya digantikan oleh teknologi virtual.

Keterbatasan ini membuat wisata virtual kurang efektif untuk beberapa segmen pasar. Berdasarkan riset dari Statista (2022), hampir 65% wisatawan menyatakan bahwa pengalaman sensorik langsung adalah alasan utama mereka bepergian. Tur virtual yang berfokus hanya pada visual dan suara, bahkan yang menggunakan VR dan AR, sering kali tidak mampu menciptakan koneksi mendalam yang sama seperti yang diperoleh dari kunjungan fisik. Selain itu, menurut UNWTO (2021), kendala teknologi di beberapa negara berkembang, seperti akses terhadap perangkat VR, koneksi internet yang stabil, dan harga perangkat yang mahal, juga membatasi aksesibilitas dan adopsi wisata virtual, terutama di kalangan wisatawan domestik.

Keterbatasan lain adalah rendahnya keterlibatan sosial. Sebuah studi oleh Deloitte (2022) menyebutkan bahwa interaksi sosial yang tercipta selama perjalanan fisik, seperti berinteraksi dengan penduduk lokal atau bertukar pengalaman dengan wisatawan lain, merupakan komponen penting dari pengalaman wisata. Teknologi virtual belum sepenuhnya mampu menciptakan rasa kebersamaan ini, yang membuat wisata virtual terasa kurang mendalam dan kurang memuaskan secara sosial. Keterbatasan ini memunculkan tantangan besar bagi pemasaran pariwisata virtual, terutama dalam menjangkau wisatawan yang menginginkan pengalaman autentik dan interaktif yang hanya dapat diperoleh melalui kunjungan langsung.

Dengan keterbatasan-keterbatasan ini, wisata virtual, meskipun memiliki keunggulan aksesibilitas dan fleksibilitas, belum mampu menggantikan daya tarik perjalanan fisik sebagai sarana pemasaran utama. Wisata virtual lebih efektif jika digunakan sebagai alat pendukung untuk memberikan gambaran awal atau promosi visual, sementara pengalaman fisik tetap menjadi pilihan utama wisatawan yang menginginkan keterlibatan penuh dengan destinasi.

Apakah Wisata Virtual Masih Dibutuhkan?

Di era pasca-pandemi, virtual tourism marketing tetap relevan sebagai alat pemasaran dan pratinjau destinasi. Berdasarkan laporan oleh Statista (2023), sebanyak 43% wisatawan mengaku menggunakan tur virtual untuk memutuskan destinasi wisata berikutnya, terutama bagi mereka yang hendak melakukan perjalanan internasional. Wisata virtual memberikan kesempatan bagi wisatawan untuk "mengintip" suatu destinasi, memahami budaya, keindahan, dan atraksi yang ditawarkan sebelum memutuskan perjalanan fisik. Dalam konteks ini, wisata virtual berfungsi sebagai alat bantu bagi calon wisatawan untuk membuat keputusan lebih bijak dan mempertimbangkan tujuan wisata yang sesuai dengan minat mereka.

Wisata virtual juga berfungsi sebagai jembatan bagi segmen audiens tertentu, seperti orang tua, penyandang disabilitas, dan mereka yang khawatir tentang dampak lingkungan. Menurut laporan dari UNWTO (2022), wisata virtual memperluas aksesibilitas ke destinasi yang mungkin sulit dijangkau atau tidak ramah bagi beberapa kelompok, sehingga mereka tetap dapat menikmati pengalaman budaya dan alam dari tempat mereka berada. Selain itu, bagi wisatawan yang ingin mengurangi jejak karbon dan memilih alternatif berkelanjutan, wisata virtual menjadi pilihan yang ramah lingkungan dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan perjalanan fisik.

Selain itu, virtual tourism marketing tetap bermanfaat bagi negara atau daerah dengan keterbatasan politik atau keamanan. Misalnya, destinasi seperti Mesir dan Suriah telah menggunakan pariwisata virtual untuk tetap menarik perhatian wisatawan internasional di tengah ketidakstabilan politik di wilayah tersebut. Dengan cara ini, wisata virtual tetap relevan untuk destinasi yang membutuhkan eksposur namun terbatas oleh berbagai faktor eksternal. Wisata virtual juga berguna bagi negara-negara yang mengembangkan pariwisata tetapi belum memiliki infrastruktur lengkap untuk mendukung jumlah wisatawan besar, seperti beberapa negara di Afrika dan Asia Tenggara. Dengan mengadakan tur virtual, negara-negara ini dapat memperkenalkan potensi wisatanya kepada calon pengunjung dan menarik perhatian internasional, membangun citra positif yang dapat mendukung pengembangan pariwisata di masa depan.

Lebih jauh lagi, wisata virtual berperan sebagai bentuk diversifikasi dalam strategi pemasaran pariwisata modern. Negara-negara dan destinasi yang memanfaatkan teknologi ini dapat memperluas audiens tanpa batasan fisik, menarik kelompok wisatawan global yang lebih beragam. Dengan meningkatnya minat wisatawan untuk merasakan destinasi secara virtual, wisata virtual berpotensi menciptakan tren baru dalam industri pariwisata, di mana pengalaman virtual dan fisik bisa saling melengkapi.

Masa Depan Wisata Virtual

Masa depan virtual tourism marketing semakin menjanjikan dengan perkembangan teknologi VR dan AR yang kian canggih. Menurut McKinsey (2023), teknologi AI dan AR yang lebih interaktif dapat mendekati pengalaman nyata, seperti memberikan interaksi waktu nyata dengan pemandu lokal atau mengintegrasikan tur yang lebih personal, di mana wisatawan dapat berinteraksi langsung dengan elemen-elemen virtual destinasi. Inovasi ini memungkinkan wisatawan untuk mengajukan pertanyaan kepada pemandu virtual, memilih jalur tur sesuai preferensi, dan mendapatkan pengalaman yang lebih mendalam. Teknologi-teknologi ini berpotensi meningkatkan minat wisatawan untuk menjelajahi destinasi secara virtual sebelum melakukan perjalanan, sehingga wisata virtual tidak hanya menjadi sekadar pengganti sementara, tetapi juga alat pemasaran yang menarik dan mendorong perjalanan fisik di masa depan.

Di masa depan, VR dan AR juga dapat diintegrasikan dengan data real-time, seperti kondisi cuaca, jadwal acara lokal, dan aktivitas yang sedang berlangsung di destinasi. Ini akan memungkinkan wisatawan merasakan suasana destinasi dalam bentuk yang paling realistis, seolah-olah mereka benar-benar berada di sana pada saat itu. Menurut laporan Deloitte (2023), integrasi ini bisa menjadikan wisata virtual lebih dinamis dan menarik bagi wisatawan yang ingin melihat kondisi aktual dan kehidupan sehari-hari di destinasi wisata.

Selain itu, pariwisata virtual dapat menjadi solusi jangka panjang untuk pariwisata berkelanjutan. UNWTO (2022) mencatat bahwa wisata virtual dapat berperan dalam mengurangi tekanan terhadap destinasi yang ramai, seperti Venice atau Machu Picchu, dengan menyediakan alternatif bagi wisatawan yang ingin mengunjungi tempat-tempat ikonik tanpa harus hadir secara fisik. Hal ini membantu mengurangi dampak negatif dari overtourism yang sering kali menyebabkan kerusakan lingkungan dan budaya lokal di destinasi wisata. Dengan menggunakan pariwisata virtual, destinasi dapat tetap memperoleh pemasukan dari pengunjung yang memilih jalur virtual sambil menjaga kelestarian lingkungan dan budaya setempat.

Dalam hal pengembangan konten, masa depan wisata virtual dapat semakin kaya dengan adanya kolaborasi antara penyedia teknologi, pemerintah, dan komunitas lokal. Hal ini akan memastikan bahwa konten wisata virtual lebih autentik dan mencerminkan budaya lokal dengan akurat, sehingga wisatawan bisa mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang destinasi. Kolaborasi ini memungkinkan pengembangan tur virtual yang tidak hanya mempromosikan tempat wisata populer, tetapi juga memperkenalkan aspek budaya, sejarah, dan cerita rakyat setempat yang lebih mendalam. Tur virtual semacam ini tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga menjadi alat edukatif yang berharga untuk mempelajari budaya suatu daerah.

Dengan semua perkembangan ini, masa depan pariwisata virtual diharapkan mampu menjadi bagian integral dari strategi pemasaran pariwisata global. Teknologi canggih yang menggabungkan AI, VR, dan AR akan membuat wisata virtual semakin personal, realistis, dan interaktif, menciptakan pengalaman yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan modern. Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan, pariwisata virtual akan menjadi solusi yang ideal bagi mereka yang ingin menjelajahi dunia tanpa meninggalkan jejak karbon besar, sekaligus mendukung upaya perlindungan lingkungan di destinasi wisata.

Kesimpulan

Virtual tourism marketing masih memiliki relevansi dalam industri pariwisata, bahkan di era pasca-pandemi. Dengan kemampuan untuk meningkatkan aksesibilitas, memperpanjang siklus pemasaran, dan mendukung pariwisata berkelanjutan, wisata virtual menjadi alat yang esensial. Di Indonesia, inisiatif pariwisata virtual telah membantu menjaga eksistensi destinasi selama pandemi dan memperluas audiens internasional, terutama melalui kolaborasi antara pemerintah dan platform digital. Meskipun demikian, wisata fisik tetap memiliki daya tarik tersendiri yang sulit ditandingi. Namun, dengan perkembangan teknologi yang terus berlanjut, wisata virtual diprediksi akan terus beradaptasi dan memberikan pengalaman yang lebih kaya bagi wisatawan di seluruh dunia, menjadikannya sebagai alternatif yang relevan dan efektif dalam pemasaran pariwisata jangka panjang.

Daftar Pustaka

  1. GlobalData. (2021). Tourism in the Time of COVID-19: Virtual Tourism Solutions.
  2. UNWTO. (2020). The Impact of Virtual Tourism on Destinations.
  3. National Geographic. (2022). Heritage Conservation through Virtual Tourism.
  4. Hudson, S., & Thal, K. (2021). Multi-Sensory Tourism: Limitations and Future Potentials. Journal of Tourism Research, 22(4), 512--530.
  5. Statista. (2023). Virtual Tourism Preferences among Global Travelers.
  6. Middle East Tourism Analysis: Virtual Tourism Amidst Political Instability. Tourism Journal, 10(3), 2023.
  7. McKinsey & Company. (2023). The Future of Virtual Reality in Tourism: Trends and Projections.
  8. UNWTO. (2022). Sustainable Tourism and Virtual Destinations.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun