Satu-satunya partai politik yang masih melandaskan Islam sebagai asasnya di Indonesia adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Secara historis, PPP lahir dari fusi beberapa partai Islam, diantaranya Masyumi—belakangan ketika bergabung dengan PPP, terpecah menjadi Parmusi dan PSII—NU , dan Pergerakan Tarbiyah Indonesia (Perti).
Ketiga unsur partai Islam ini sejatinya memiliki latar belakang “keislaman” yang berbeda, sehingga dalam perjalanan politiknya, partai yang menggunakan lambang Ka’bah ini banyak diwarnai oleh kerumitan tersendiri.
Fusi dan keragaman sejarah serta kultur keagamaan yang berbeda akan berdampak sedikit banyak terhadap persepsi politik yang dibangun kemudian oleh PPP.
Unsur keagamaan (Islam) dalam partai apalagi dengan latar belakang kultur “keislaman” yang berbeda mencerminkan sistem kemasyarakatan yang berkarakter traditional religiopolitical system, yang menurut Donald E Smith kerangka politiknya dibangun melalui penarikan komponen ideologi masyarakat dari agama secara keseluruhan, sehingga hampir tidak ada tempat untuk ideologi sekuler.
Sebuah partai politik dengan basis agama atau ideologi tertentu yang melekat bisa dipastikan mencerminkan politik “aliran” meskipun seiring perkembangan demokratisasi di Indonesia, partai politik yang berbasis agama cenderung memodernisasi diri mengikuti mainstream politik yang ada.
Unsur keagamaan (Islam) yang melekat dalam asas partai—ditambah dengan unsur federatif para pendukungnya dengan latar belakang keislaman yang berbeda—telah memberikan corak tersendiri dalam perjalanan karir politik PPP, ia bisa menjadi sekumpulan masyarakat politik (polity) sekaligus masyarakat agama (religious community).
Konsekuensinya, masyarakat dengan model kedua ini ditandai oleh peran agamawan (para ulama dan kyai) yang sangat besar, bukan saja dalam kehidupan sosio-kultural melainkan juga dalam ranah politik.
Peran agamawan biasanya bisa lebih berpengaruh terhadap setiap keputusan-keputusan politik yang akan diambil oleh partai.
Melalui adagium “Rumah Besar Umat Islam”, PPP seakan hendak memperlihatkan bahwa fusi partai-partai yang berbasis Islam masih eksis mendukung karir dan perjalanan politik partai ini bahkan sampai sekarang.
Label “partai Islam” sepanjang sejarah perpolitikan di Indonesia hanya bisa disematkan kepada PPP, karena partai ini tetap konsisten mengusung Islam sebagai asas partai sementara partai-partai berbasis Islam lainnya, seperti PKB, PAN, dan PKS malah cenderung meninggalkan “label Islam-nya” seiring dengan tuntutan demokratisasi dan perubahan masyarakat yang relatif lebih rasional.
Kerumitan akibat fusi partai dan ideologi keagamaan yang membentuk PPP ternyata pada tahap tertentu, menimbulkan beragam konflik tersendiri.
Bahkan, konflik-konflik yang terjadi secara internal juga nampaknya tidak mampu dileraikan oleh nilai-nilai agama yang menjadi asas partai. Kasus pembagian kursi di DPR yang dibagi antar faksi di tubuh PPP setelah pemilu 1977 sebagai contoh kerumitan di tubuh partai berlambang Ka’bah ini.
Belum lagi konflik perbedaan sejarah latar belakang keagamaan dari masing-masing unsur dalam tubuh PPP, semakin membuat partai ini tak sepi dari konflik. Konflik berkepanjangan antara NU-Masyumi yang ada dalam unsur partai ini menjadi contoh konkret dari konflik-konflik yang pernah ada.
Dewasa ini, hampir satu tahun lebih, PPP dilanda konflik internal yang tak kunjung terselesaikan. Benih-benih konflik dimulai akibat manuver Ketua Umum PPP, Suryadharma Ali (SDA) yang mendukung pencalonan Prabowo sebagai kandidat presiden pada acara deklarasi presiden oleh Partai Gerindra, padahal internal partai belum membicarakannya dalam forum rapat resmi, sehingga timbul kegaduhan dalam tubuh partai.
Muncul kemudian dua faksi terkait manuver SDA, faksi yang menganggap SDA melampaui wewenang partai sehingga harus dikenakan sangsi yang berujung kemudian dengan pemberhentian SDA sebagai ketua umum, satu faksi lagi tetap mendukung SDA agar PPP secara penuh berkoalisi dengan Partai Gerindra dan mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagi kandidat presiden pada pemilu 2014.
Konflik semakin meruncing setelah terbit surat pemberhentian SDA dari jabatan ketua umum partai dan jabatan ketua umum sementara diisi oleh wakil ketua umum, Emron Pangkapi sampai muktamar definitif dilaksanakan. Kedua faksi ini terus berseteru hingga puncaknya PPP menggelar dua muktamar sekaligus hanya dalam kurun waktu dua bulan dan masing-masing mengklaim sebagai muktamar yang paling mendapat legitimasi.
Muktamar Surabaya lebih dahulu digelar pada Oktober 2014 dilakukan oleh kelompok pendukung Emron Pangkapi dan Romahurmuziy yang kontra SDA dan hasil muktamar ini memilih Romahurmuziy sebagai ketua umum, satu bulan kemudian digelar muktamar yang disokong kelompok pro SDA dan memilih Djan Farid secara aklamasi sebagai ketua umum PPP yang baru.
Dualisme kepemimpinan dalam tubuh PPP masih terus berlangsung hingga saat ini yang jika tidak diselesaikan niscaya akan menimbulkan kerugian tersendiri bagi partai Islam tertua di Indonesia ini.
Kasus lahirnya Partai Bintang Reformasi (PBR) yang merupakan pecahan dari PPP adalah contoh kongkret akibat konflik internal partai yang tidak mampu diselesaikan.
PPP nampaknya masih berharap konflik dapat diselesaikan melalui nilai-nilai agama yang dianut, melalui kompromi (islah) yang dimediasi oleh tokoh kharismatis PPP, KH Maimun Zubair, namun upaya islah yang digalang melalui mediasi ternyata menemui jalan buntu.
Fungsi dan peran tokoh agama sebagai pijakan politik PPP nampaknya kian mandul dan hanya menjadi simbol partai yang difungsikan untuk menarik simpati massa.
Kedua kelompok yang berkonflik ini nampaknya juga sedang mencoba memberi respon terhadap situasi politik nasional saat itu, dimana terdapat faksi internal parlemen dalam tubuh PPP yang mendukung kelompok Koalisi Merah Putih (KMP) yang berperan sebagai faksi oposan terhadap pemerintah dan faksi lain yang menginginkan “perubahan” dengan tidak menjadi oposisi dan menggandeng pemerintah sebagai mitra politiknya.
Jika memang persoalan konflik yang terjadi saat ini didorong oleh adanya pemunculan terhadap penyesuaian diri atas respon situasi politik nasional, maka bisa dipastikan ada keinginan sistem politik nasional untuk melakukan proses perubahan tipologi kepemimpinan dalam PPP. Hal ini bisa dilihat dari cara pemerintah yang mencoba “mengintervensi” kedua kubu yang berkonflik dalam tubuh PPP.
Jika benar demikian, gejala yang tampak dalam merespon situasi tersebut dapat digambarkan melalui dua jenis tipologi kepemimpinan yang sedang menjalari tubuh PPP saat ini, pertama tipologi lama yang diwakili kaum “politisi tua” ditingkat elite partai yang cenderung berpandangan “relatif radikal".
Sehingga dilihat dari gelagat politik dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pemimpin di tingkat nasional dan tipologi kedua adalah tipologi baru atau “pembaruan” dengan cirinya yang paling kentara adalah “akomodatif” terhadap struktur kekuasaan dan sistem politik yang berkembang saat ini.
Kelompok ini biasanya diwakili oleh kaum politisi muda dan relatif mengenyam pendidikan umum.
Konflik-konflik yang terjadi dewasa ini di tubuh PPP ditengarai oleh adanya push (yang dilakukan oleh para pemimpin tipologi kedua yang mendapat angin dari sistem politik nasional) dan perlawanan dari tipologi pertama.
Jelas sekali terlihat dalam hal ini serangan-serangan dari kelompok Djan Farid dan balasan-balasan dari kelompok Romahurmuziy ketika masing-masing mengklaim memiliki legitimasi sebagai pemimpin partai.
Ketegangan dan konflik seperti ini akan membawa dampak sangat besar terhadap PPP secara keseluruhan, bukan hanya renggangnya hubungan antar elite PPP dengan akar massa (grassroot) dimana masing-masing kelompok berpijak.
Tetapi lebih dari itu, salah satu kelompok yang kehilangan akar pijakannya akan cenderung mencari pijakan baru, bisa saja berintegrasi dengan partai politik yang mendukung pemerintah atau mencari format lain untuk membentuk partai politik baru.
Memang, berbagai format penyelesaian konflik terus dilakukan partai Islam tertua di Indonesia ini, walaupun nampaknya penyelesaian melalui internal partai (ishlah) baik dengan cara mediasi antar kedua kelompok yang menghadirkan peran ulama sebagai mediator bahkan fatwa “politik” dari para tokoh agama tidak kunjung menyelesaikan persoalan.
PPP kemudian mencoba mencari format baru penyelesaian konflik secara eksternal melalui pihak ketiga, dengan melibatkan unsur pemerintah. Kemenkumham sebagai pihak ketiga yang diminta untuk penyelesaian konflik dalam hal legitimasi dualisme kepemimpinan di PPP juga nampaknya kandas.
Intervensi pemerintah yang dilakukan dalam melegitimasi kepemimpinan yang sah justru terkesan “plin-plan” dan terkesan “memihak” salah satu kelompok yang berkonflik, sehingga keputusan-keputusannya justru dapat dibatalkan demi hukum.
Meskipun jalan “kompromi” pemerintah kemudian dilakukan dengan melegitimasi kembali kepengurusan hasil Muktamar PPP di Bandung, namun tetap masih menyisakan masalah bagi kedua belah pihak.
Paling tidak, ketika kita melihat dari sejarah konflik yang dialami PPP, terdapat beberapa hal yang cukup menggambarkan kondisi PPP saat ini.
Pertama, ia menunjukkan kerapuhan tubuhnya, bukan hanya karena ketiadaan kesatuan pendapat dikalangan partai politik yang bernama “persatuan” ini tetapi juga ada intervensi dari luar sehingga berupaya mempengaruhi kebijakan intern partai ini, seperti digambarkan oleh kasus koalisi di parlemen atau meminta bantuan pemerintah tentang legitimasi kepengurusan partai.
Kedua, terlihat masing-masing kelompok yang berkonflik hanya memikirkan keuntungan sendiri atas partai dan bukanlah sebaliknya.
Ketiga, perebutan pengaruh antara kelompok ”politisi tua” yang cenderung “relatif radikal” dengan kelompok “politisi muda” yang cenderung “akomodatif” semakin menunjukkan betapa tidak adanya kepemimpinan legitimatif dan kuat dalam tubuh PPP.
PPP yang mengkalim memiliki basis massa Islam yang kuat dengan ditopang oleh Islam sebagai asas partai semestinya dapat mengembalikan keberpijakannya kepada dasar-dasar keislaman yang dianut.
Konsep “ishlah” yang didengungkan selama ini jangan hanya sekedar menjadi komoditas politik, sehingga maknanya menjadi hilang hanya karena kepentingan sesaat, apalagi sampai terminologi “ishlah” kemudian hanya dianggap “klaim” untuk satu pihak.
Konsep ishlah semestinya dibangun atas dasar benci terhadap kerusakan atau kehancuran (fasad), dengan demikian membangun kembali, menata kembali, memperbaiki kembali apa yang telah “rusak” merupakan tujuan mulia dari ishlah itu sendiri.
Mampukah PPP kemudian merajut kebaikan (ishlah) kembali atau, malah justru yang terjadi adalah kerusakan (fasad)? Wallahu a’lam bisshawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H