Kedua kelompok yang berkonflik ini nampaknya juga sedang mencoba memberi respon terhadap situasi politik nasional saat itu, dimana terdapat faksi internal parlemen dalam tubuh PPP yang mendukung kelompok Koalisi Merah Putih (KMP) yang berperan sebagai faksi oposan terhadap pemerintah dan faksi lain yang menginginkan “perubahan” dengan tidak menjadi oposisi dan menggandeng pemerintah sebagai mitra politiknya.
Jika memang persoalan konflik yang terjadi saat ini didorong oleh adanya pemunculan terhadap penyesuaian diri atas respon situasi politik nasional, maka bisa dipastikan ada keinginan sistem politik nasional untuk melakukan proses perubahan tipologi kepemimpinan dalam PPP. Hal ini bisa dilihat dari cara pemerintah yang mencoba “mengintervensi” kedua kubu yang berkonflik dalam tubuh PPP.
Jika benar demikian, gejala yang tampak dalam merespon situasi tersebut dapat digambarkan melalui dua jenis tipologi kepemimpinan yang sedang menjalari tubuh PPP saat ini, pertama tipologi lama yang diwakili kaum “politisi tua” ditingkat elite partai yang cenderung berpandangan “relatif radikal".
Sehingga dilihat dari gelagat politik dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan pemimpin di tingkat nasional dan tipologi kedua adalah tipologi baru atau “pembaruan” dengan cirinya yang paling kentara adalah “akomodatif” terhadap struktur kekuasaan dan sistem politik yang berkembang saat ini.
Kelompok ini biasanya diwakili oleh kaum politisi muda dan relatif mengenyam pendidikan umum.
Konflik-konflik yang terjadi dewasa ini di tubuh PPP ditengarai oleh adanya push (yang dilakukan oleh para pemimpin tipologi kedua yang mendapat angin dari sistem politik nasional) dan perlawanan dari tipologi pertama.
Jelas sekali terlihat dalam hal ini serangan-serangan dari kelompok Djan Farid dan balasan-balasan dari kelompok Romahurmuziy ketika masing-masing mengklaim memiliki legitimasi sebagai pemimpin partai.
Ketegangan dan konflik seperti ini akan membawa dampak sangat besar terhadap PPP secara keseluruhan, bukan hanya renggangnya hubungan antar elite PPP dengan akar massa (grassroot) dimana masing-masing kelompok berpijak.
Tetapi lebih dari itu, salah satu kelompok yang kehilangan akar pijakannya akan cenderung mencari pijakan baru, bisa saja berintegrasi dengan partai politik yang mendukung pemerintah atau mencari format lain untuk membentuk partai politik baru.
Memang, berbagai format penyelesaian konflik terus dilakukan partai Islam tertua di Indonesia ini, walaupun nampaknya penyelesaian melalui internal partai (ishlah) baik dengan cara mediasi antar kedua kelompok yang menghadirkan peran ulama sebagai mediator bahkan fatwa “politik” dari para tokoh agama tidak kunjung menyelesaikan persoalan.
PPP kemudian mencoba mencari format baru penyelesaian konflik secara eksternal melalui pihak ketiga, dengan melibatkan unsur pemerintah. Kemenkumham sebagai pihak ketiga yang diminta untuk penyelesaian konflik dalam hal legitimasi dualisme kepemimpinan di PPP juga nampaknya kandas.