Di suatu pagi yang cerah di lapangan sekolah SMA Al-Khoiriyah, siswa-siswi berkerumun untuk menyaksikan acara tahunan yang paling ditunggu-tunggu, lomba lari 100 meter. Di antara kerumunan, dua sahabat, Ardi dan Siti, berdiri sambil menunggu teman mereka, Raka, yang juga merupakan pelari tercepat di sekolah.
"Raka itu kayak angin, Ti. Lihat nanti, dia pasti melesat kayak roket!" kata Ardi sambil tertawa.
Siti membalas dengan nada bersemangat, "Iya, tapi jangan lupa doi itu keras kepala. Kalau soal menang, nggak ada tawar-menawar!"
Keduanya tertawa, mengetahui betul sifat Raka yang selalu berambisi tinggi dalam setiap perlombaan. Saat Raka muncul dengan seragam olahraganya, dia disambut sorakan dari teman-temannya.
"Siap mengibarkan bendera Al-Khoiriyah lagi, Raka?" ejek Siti sembari menyikut Ardi yang juga ikut tertawa.
Raka hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, fokusnya tak tergoyahkan. Ketika peluit dibunyikan, dia langsung melesat meninggalkan garis start dengan kecepatan yang luar biasa. Ardi dan Siti bersorak penuh semangat.
Namun, di tengah keramaian, seorang pria tua tampak berdiri di pinggir lapangan, memperhatikan Raka dengan serius. Dia adalah Pak Harto, mantan pelari yang pernah memegang rekor nasional.
Saat Raka menyeberangi garis finish, ia keluar sebagai pemenang dengan selisih yang jauh dari yang lain. Kerumunan bersorak gembira, kecuali Pak Harto, yang tampak berpikir dalam.
Setelah lomba, Ardi dan Siti mendekati Raka dengan penuh semangat.
"Kamu itu cepat banget, kayak kuda liar yang baru dilepas!" seloroh Ardi. Raka tertawa, menikmati pujian dari temannya.
Tapi Siti, dengan nada lebih serius, berkata, "Raka, kamu lihat nggak Pak Harto di pinggir lapangan? Kayaknya beliau ada pesan penting buat kamu."
Raka yang masih berkeringat, menoleh ke arah Pak Harto yang mendekat dengan langkah gontai. Saat mereka bertemu, suasana menjadi lebih hening.
***
Pak Harto berjalan mendekati Raka dengan senyum yang hangat namun matanya menunjukkan kekhawatiran. Raka, Ardi, dan Siti menatapnya dengan rasa hormat. Mereka tahu reputasi Pak Harto sebagai pelari legendaris yang pernah mengharumkan nama sekolah tahunan berlalu.
"Selamat, Raka! Kamu memang luar biasa cepatnya. Tapi aku lihat ada yang kurang," ucap Pak Harto, membuat ketiganya bingung.
Raka, yang biasanya penuh percaya diri, terlihat sedikit gugup. "Kurang apa, Pak?" tanyanya dengan rasa ingin tahu.
"Kamu fokus pada kecepatan, tapi kamu lupa pada sesuatu yang lebih penting dalam olahraga, yaitu sportivitas," jelas Pak Harto lembut. "Menang itu penting, tapi cara kita menang itu yang lebih penting."
Ardi dan Siti saling pandang, mengerti mengapa Pak Harto mengangkat hal ini. Mereka sering melihat Raka begitu terobsesi dengan kemenangan hingga terkadang mengesampingkan kepentingan lain.
"Pak, bisa diberi contoh?" tanya Siti, ingin memastikan Raka mendapat pelajaran berharga ini.
"Tentu. Di lomba hari ini, kamu hanya melihat garis finish. Kamu tidak melihat lawanmu yang berjuang keras. Olahraga bukan hanya tentang menang, tapi juga menghormati lawan dan penonton yang hadir," tutur Pak Harto, sambil melirik ke arah penonton yang masih berkerumun.
Raka merenung, merasa ada kebenaran dalam kata-kata Pak Harto. Dia mulai sadar bahwa hasratnya untuk menang mungkin telah membawanya jauh dari nilai-nilai yang seharusnya dia junjung.
"Mungkin saya harus memikirkan ulang cara saya berlomba," gumam Raka, suaranya rendah.
Pak Harto menepuk bahu Raka, "Itu baru awal yang baik, Nak. Menjadi juara sejati adalah tentang memenangkan hati, bukan hanya medali."
Ardi mencoba meringankan suasana, "Nah, itu dia! Besok lomba lagi, dan kali ini kita fokus bukan hanya untuk menang tapi menang dengan gaya!"
Siti tertawa, "Iya, menang ala Miss Universe, dengan penuh grace dan smile!"
Mereka semua tertawa bersama, tapi dalam hati Raka, dia serius mempertimbangkan untuk mengubah pendekatannya dalam berkompetisi. Malam itu, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak hanya menjadi pelari yang cepat, tapi juga pelari yang dihormati dan dicintai.
***
Hari terakhir lomba lari di SMA Al-Khoiriyah disambut dengan langit biru dan semangat yang membara, khususnya dari Raka. Pembicaraan dengan Pak Harto telah membekas dalam dirinya, menginspirasi Raka untuk tidak hanya fokus pada kemenangan tetapi juga pada nilai-nilai sportivitas dan persahabatan.
Sebelum perlombaan dimulai, Raka mendekati Budi, pesaingnya yang tampak sedikit gugup. "Semoga lomba hari ini berjalan lancar untuk kita semua, ya Budi," ucap Raka sambil menyunggingkan senyum hangat.
Budi, terkejut dengan pendekatan Raka yang baru dan hangat, membalas dengan senyum lega. "Terima kasih, Raka. Ayo tunjukkan yang terbaik dari kita hari ini," kata Budi, merasa semangatnya kembali.
Ketika peluit dibunyikan, Raka dan Budi memulai lomba dengan semangat. Mereka berdua memimpin, saling berdampingan hampir di sepanjang lomba. Tapi, saat mendekati garis finish, Budi tiba-tiba tersandung dan terjatuh, kakinya keseleo dan dia mulai tertatih-tatih.
Melihat kejadian itu, Raka langsung melambat dan berlari kembali ke arah Budi. Tanpa ragu, Raka mengulurkan tangannya, memapah Budi yang kesakitan. "Ayo, kita selesaikan ini bersama," kata Raka dengan penuh kepedulian.
Budi, terharu dengan tindakan Raka, memegang erat bahu Raka. Mereka berdua berjalan bersama, mendekati garis finish dengan langkah yang kompak. Sorakan penonton memecah kesunyian, tak hanya karena perlombaan, tapi lebih karena tindakan Raka yang mulia.
Ketika mereka berdua menyeberang garis finish bersama, sorakan menjadi lebih keras. Pak Harto, yang mengamati dari pinggir lapangan, tersenyum lebar, matanya berkaca-kaca melihat adegan mengharukan itu.
Setelah lomba, Pak Harto mendekati kedua anak muda itu. "Hari ini, kalian berdua adalah juara sejati," ujar Pak Harto, bangga. "Raka, kamu telah belajar pelajaran yang sangat berharga tentang apa artinya menjadi pemenang sejati."
Raka, merasa lebih puas daripada kemenangan apapun yang pernah dia raih sebelumnya, memandang Budi dengan rasa hormat baru. "Terima kasih telah menjadi saingan yang hebat, dan terima kasih atas pelajaran hari ini," katanya kepada Budi.
Ardi dan Siti, yang menyaksikan kejadian itu, bergabung dengan mereka, takjub dan penuh pujian. "Itu adalah lomba yang paling mengesankan yang pernah saya lihat!" kata Siti dengan antusias.
Mereka semua berpelukan, merasakan ikatan persahabatan yang telah diperkuat melalui ujian dan pengorbanan. Hari itu, Raka dan Budi tidak hanya menyelesaikan lomba, tetapi juga memenangkan hati semua yang menyaksikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H