Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... Dosen - UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menafsirkan Keadilan Melalui Lensa Relasional Egalitarianism dan Sufficientarianism

2 Februari 2024   06:45 Diperbarui: 4 Februari 2024   21:55 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pluralistik yang menghargai kesetaraan dan kecukupan. (Freepik.com)

Keseimbangan yang rumit antara relasional egalitarianism dan sufficientarianism, sebagaimana dieksplorasi dalam artikel berjudul "Relational Justice: Egalitarian and Sufficientarian" di Journal of Applied Philosophy yang diterbitkan pada November 2023 oleh Andreas Bengtson dan Lasse Nielsen, menyajikan argumen yang kuat untuk pendekatan pluralistik terhadap keadilan. 

Perspektif inovatif ini tidak hanya menantang gagasan tradisional tentang keadilan egaliter tetapi juga memperkaya pemahaman kita dengan memperkenalkan konsep sufficientarianism---di mana keadilan mengharuskan individu untuk berhubungan sebagai orang yang berkecukupan dan bukan orang yang sederajat. 

Pendekatan yang berbeda ini mengakui kompleksitas hubungan manusia dan struktur masyarakat, sehingga menawarkan kerangka kerja yang lebih fleksibel untuk mengatasi kesenjangan.

Kontribusi inti dari penelitian ini terletak pada eksplorasi tentang bagaimana teori-teori tersebut bersinggungan dan berbeda, sehingga menunjukkan bahwa sintesis dapat mengatasi ketidakadilan seperti diskriminasi dan rasisme secara lebih efektif. 

Dengan mendukung pandangan pluralis yang menggabungkan prinsip-prinsip egaliter dan mencukupi, Bengtson dan Nielsen mendorong batas-batas teori keadilan yang ada saat ini. 

Metodologi ini tidak hanya memperluas cakupan teoritis namun juga memiliki dampak signifikan terhadap implementasi praktisnya, yang menunjukkan bahwa pemahaman keadilan yang lebih komprehensif dapat menghasilkan konfigurasi masyarakat yang lebih adil.

Mendukung argumen mereka dengan teori kesetaraan moral, keadilan distributif, dan rasa hormat terhadap pengakuan, penulis memberikan landasan yang kuat untuk klaim mereka. 

Landasan teoretis ini tidak hanya memperkuat argumen mengenai pendekatan pluralistik terhadap keadilan, namun juga mengundang eksplorasi lebih jauh mengenai bagaimana cita-cita ini dapat diterapkan dalam berbagai konteks relasional untuk memerangi ketidakadilan secara efektif.

Artikel ini, dalam analisis akhirnya, berfungsi sebagai seruan yang kuat bagi akademisi dan profesional untuk mengevaluasi kembali struktur konseptual yang digunakan untuk memahami dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan. 

Dengan mendukung pendekatan pluralistik yang menghargai kesetaraan dan kecukupan, Bengtson dan Nielsen menawarkan sebuah jalan maju yang menjanjikan dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil.

***

Eksplorasi keadilan relasional melalui lensa prinsip egaliter dan kecukupan menandai evolusi penting dalam pemahaman kita tentang keadilan masyarakat. 

Pendekatan ganda ini, yang disoroti oleh Bengtson dan Nielsen, menggarisbawahi keterbatasan model universal dalam mengatasi berbagai dinamika kesenjangan dan diskriminasi. 

Dengan mengedepankan gagasan kerangka pluralistik, individu-individu tersebut menjelaskan arah menuju keadilan yang lebih komprehensif dan fleksibel. Keadilan ini mengakui keragaman kondisi manusia dan rumitnya karakter diskriminasi.

Relasional egalitarianism dan sufficientarianism, sebagai entitas yang terpisah, menawarkan perspektif yang berbeda mengenai keadilan---yang satu menekankan kesetaraan dalam hubungan, sedangkan yang lain berfokus pada memastikan setiap orang mempunyai cukup uang untuk menjalani kehidupan yang bermartabat. 

Namun, sintesis teori-teori ini oleh Bengtson dan Nielsen mengusulkan pendekatan keadilan yang lebih holistik, pendekatan yang mengakui pentingnya kesetaraan dan kecukupan dalam membina hubungan sosial yang adil. 

Pendekatan ini menantang paradigma tradisional dengan menyatakan bahwa keadilan tidak dapat sepenuhnya dicapai melalui kacamata kesetaraan saja, namun memerlukan pertimbangan kecukupan untuk mengatasi akar penyebab ketidakadilan.

Pemanfaatan metodologi pluralistik dalam bidang peradilan mempunyai dampak yang luas terhadap kebijakan dan implementasi sosial. 

Hal ini menyiratkan bahwa upaya yang diarahkan untuk melawan bias, rasisme, dan disparitas harus bersifat multifaset, disesuaikan dengan kebutuhan akan perlakuan yang adil dan pentingnya menjamin kecukupan bagi semua individu. 

Perspektif ini memerlukan evaluasi ulang terhadap program-program sosial, kerangka hukum, dan praktik kelembagaan untuk memastikan program-program tersebut mencerminkan nilai-nilai egaliter dan kecukupan.

Lebih jauh lagi, dimensi relasional dari metodologi ini menggarisbawahi pentingnya dinamika antarpribadi dalam mencapai keadilan. 

Hal ini menyatakan bahwa keadilan sejati mencakup lebih dari sekedar redistribusi sumber daya atau peluang; melainkan mencakup metamorfosis cara individu berinteraksi satu sama lain. 

Transformasi ini memerlukan pergeseran budaya menuju pengakuan dan penghormatan terhadap nilai yang melekat pada semua individu, terlepas dari status sosial ekonomi mereka.

Integrasi relasional egalitarianism dan sufficientarianism ke dalam kerangka keadilan yang kohesif juga menawarkan lensa baru untuk mengkaji isu-isu global. 

Di dunia di mana kesenjangan tidak hanya terjadi dalam masyarakat tetapi juga dalam skala global, pendekatan ini memberikan kerangka kerja yang berharga untuk mengatasi kesenjangan internasional. 

Dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan kecukupan, hal ini mengusulkan pendekatan menyeluruh terhadap kemajuan di seluruh dunia, bantuan kepada mereka yang membutuhkan, dan administrasi global, yang menjunjung tinggi kehormatan setiap orang dan bercita-cita untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan setara.

Pendekatan pluralistik terhadap keadilan yang dianjurkan oleh Bengtson dan Nielsen menghadirkan struktur yang canggih, mencakup segalanya, dan fleksibel untuk mengatasi dilema rumit yang ada di masyarakat saat ini. 

Dengan menganut prinsip-prinsip egaliter dan kecukupan, hal ini memberikan jalan yang menjanjikan menuju dunia yang lebih adil dan setara, dunia yang mengakui beragam kebutuhan dan aspirasi semua individu.

***

Integrasi prinsip-prinsip egaliter dan kecukupan ke dalam kerangka keadilan relasional, seperti yang diusulkan oleh Bengtson dan Nielsen, menandai langkah revolusioner menuju definisi ulang keadilan dalam masyarakat. 

Pendekatan yang mencakup berbagai perspektif ini melampaui batasan konvensional, memberikan pendekatan yang lebih luas, fleksibel, dan pada akhirnya lebih efisien untuk mengatasi permasalahan kompleks berupa bias, disparitas, dan ketidakadilan. 

Dengan mengadvokasi masyarakat di mana setiap individu mempunyai hubungan yang setara dan berkecukupan, kerangka kerja ini tidak hanya mengatasi gejala-gejalanya tetapi juga akar penyebab kesenjangan sosial.

Visi untuk masyarakat yang lebih adil ini bukan sekedar teori; hal ini membawa implikasi praktis yang mendalam terhadap pembuatan kebijakan, intervensi sosial, dan interaksi sehari-hari. 

Hal ini menuntut evaluasi ulang terhadap kontrak sosial kita, mendesak adanya kebijakan yang peka terhadap perbedaan antara individu dan masyarakat, dan mengupayakan keseimbangan antara kesetaraan dan kecukupan. 

Penting bagi setiap individu untuk mempertimbangkan posisi mereka sendiri dalam interaksi antarpribadi dan berpartisipasi aktif dalam pembentukan masyarakat yang lebih adil dan penuh perhatian.

***

Kesimpulannya, perjalanan menuju pencapaian keadilan relasional, sebagaimana dicerminkan oleh karya Bengtson dan Nielsen, merupakan upaya kolektif dan individual. 

Hal ini memberi kita peluang untuk membayangkan sebuah masyarakat di mana kesetaraan, integritas, dan rasa hormat terhadap setiap individu bukan sekadar konsep abstrak namun merupakan kenyataan yang nyata. 

Mengadopsi metode inklusif dalam penyelenggaraan peradilan tidak hanya menandakan kemajuan dalam mengatasi berbagai tantangan di era kita, namun juga menandakan kemajuan yang signifikan dalam menumbuhkan masyarakat global yang lebih simpatik, perseptif, dan mencakup semua hal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun