***
Eksplorasi keadilan relasional melalui lensa prinsip egaliter dan kecukupan menandai evolusi penting dalam pemahaman kita tentang keadilan masyarakat.Â
Pendekatan ganda ini, yang disoroti oleh Bengtson dan Nielsen, menggarisbawahi keterbatasan model universal dalam mengatasi berbagai dinamika kesenjangan dan diskriminasi.Â
Dengan mengedepankan gagasan kerangka pluralistik, individu-individu tersebut menjelaskan arah menuju keadilan yang lebih komprehensif dan fleksibel. Keadilan ini mengakui keragaman kondisi manusia dan rumitnya karakter diskriminasi.
Relasional egalitarianism dan sufficientarianism, sebagai entitas yang terpisah, menawarkan perspektif yang berbeda mengenai keadilan---yang satu menekankan kesetaraan dalam hubungan, sedangkan yang lain berfokus pada memastikan setiap orang mempunyai cukup uang untuk menjalani kehidupan yang bermartabat.Â
Namun, sintesis teori-teori ini oleh Bengtson dan Nielsen mengusulkan pendekatan keadilan yang lebih holistik, pendekatan yang mengakui pentingnya kesetaraan dan kecukupan dalam membina hubungan sosial yang adil.Â
Pendekatan ini menantang paradigma tradisional dengan menyatakan bahwa keadilan tidak dapat sepenuhnya dicapai melalui kacamata kesetaraan saja, namun memerlukan pertimbangan kecukupan untuk mengatasi akar penyebab ketidakadilan.
Pemanfaatan metodologi pluralistik dalam bidang peradilan mempunyai dampak yang luas terhadap kebijakan dan implementasi sosial.Â
Hal ini menyiratkan bahwa upaya yang diarahkan untuk melawan bias, rasisme, dan disparitas harus bersifat multifaset, disesuaikan dengan kebutuhan akan perlakuan yang adil dan pentingnya menjamin kecukupan bagi semua individu.Â
Perspektif ini memerlukan evaluasi ulang terhadap program-program sosial, kerangka hukum, dan praktik kelembagaan untuk memastikan program-program tersebut mencerminkan nilai-nilai egaliter dan kecukupan.
Lebih jauh lagi, dimensi relasional dari metodologi ini menggarisbawahi pentingnya dinamika antarpribadi dalam mencapai keadilan.Â