PENDAHULUAN
Sumatera, sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, memiliki peran penting dalam sejarah kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Masuknya Islam ke Sumatera merupakan peristiwa yang tidak hanya berpengaruh pada dimensi agama, tetapi juga pada bidang sosial, politik, dan budaya masyarakat setempat. Proses Islamisasi di Sumatera berlangsung dalam kurun waktu yang panjang, dimulai sejak abad ke-13 dan terus berkembang hingga masa modern.
Sejak awal kedatangannya, Islam di Sumatera tidak hanya dibawa oleh para pedagang, tetapi juga oleh para ulama, yang memainkan peran penting dalam memperkenalkan ajaran Islam kepada masyarakat lokal. Kehadiran Islam ini beriringan dengan berkembangnya jaringan perdagangan internasional, terutama di kawasan pesisir yang menjadi pusat pertemuan berbagai budaya dan agama. Islam mulai diterima oleh masyarakat pesisir, dan secara bertahap menyebar ke wilayah pedalaman, membawa perubahan dalam tatanan sosial dan politik.
Sejarah masuknya Islam ke Sumatera tidak lepas dari peran penting kerajaan-kerajaan lokal yang turut mendukung penyebaran agama ini. Salah satu kerajaan yang terkenal dengan keberhasilan Islamisasinya adalah Kerajaan Samudra Pasai, yang tercatat sebagai kerajaan Islam pertama di Sumatera. Selain itu, kerajaan-kerajaan lain seperti Aceh, Minangkabau, dan Batak juga memiliki peran signifikan dalam proses ini. Peran aktif kerajaan-kerajaan ini dalam menerima Islam tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, tetapi juga memperkenalkan sistem hukum Islam dan nilai-nilai sosial yang menjadi bagian dari struktur pemerintahan mereka.
Pada saat yang sama, Islam membawa dampak besar terhadap kebudayaan masyarakat Sumatera. Islamisasi mempengaruhi banyak aspek kehidupan masyarakat, mulai dari sistem pendidikan, seni, hingga tradisi sosial yang berkembang. Peran pesantren dalam pendidikan Islam menjadi penting di Sumatera, terutama di daerah Aceh dan Minangkabau, yang terus berkembang hingga saat ini. Di sisi lain, pengaruh Islam juga tercermin dalam bahasa, sastra, seni, arsitektur, serta sistem pemerintahan yang lebih modern dan terorganisir berdasarkan ajaran-ajaran Islam.
PEMBAHASAN
Sejarah Masuknya Islam di Sumatera
Masuknya Islam ke Sumatera diperkirakan terjadi pada abad ke-13, meskipun ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Islam sudah mulai dikenal pada abad ke-7, seiring dengan berkembangnya jaringan perdagangan antara Timur Tengah dan Asia Tenggara. Salah satu bukti awal yang menunjukkan kedatangan Islam ke Sumatera adalah penemuan makam Islam di beberapa situs kuno, seperti di Barus (Sumatera Utara), yang diperkirakan sebagai pelabuhan penting pada masa itu.
Namun, Islam baru benar-benar berkembang secara signifikan di Sumatera pada abad ke-13 dan ke-14. Keberhasilan Islam memasuki wilayah Sumatera banyak dipengaruhi oleh peran pelabuhan-pelabuhan utama, seperti Barus, Aceh, dan Malaka. Pelabuhan-pelabuhan ini bukan hanya sebagai pusat perdagangan, tetapi juga sebagai pusat pertemuan berbagai budaya dan agama. Pedagang Muslim dari Gujarat (India), Arab, dan Persia membawa Islam melalui jalur perdagangan yang menghubungkan Asia Tenggara dengan Timur Tengah dan India.
Aceh, yang dikenal sebagai pusat perdagangan internasional, menjadi salah satu wilayah pertama yang menerima Islam secara luas. Kerajaan Samudra Pasai yang terletak di pesisir utara Sumatera juga memainkan peran penting sebagai kerajaan Islam pertama di Sumatera yang mendominasi wilayah ini pada abad ke-14.
Pada abad ke-13, proses Islamisasi mulai berjalan lebih intensif di wilayah Sumatera, terutama di kawasan pesisir. Hal ini didorong oleh berkembangnya hubungan dagang antara kerajaan-kerajaan Islam di India, Timur Tengah, dan pesisir Sumatera. Pelabuhan-pelabuhan besar seperti Aceh, Barus, dan Malaka menjadi pusat penyebaran agama Islam, mengingat kedudukan mereka yang strategis sebagai tempat persinggahan bagi para pedagang Muslim. Dalam konteks ini, Aceh, yang dikenal sebagai pusat perdagangan internasional, menjadi wilayah pertama yang menerima Islam secara luas (Wijaya, 2024).
Peran penting lainnya dalam proses Islamisasi di Sumatera adalah Kerajaan Samudra Pasai, yang terletak di pesisir utara Sumatera. Kerajaan ini tercatat sebagai kerajaan Islam pertama yang berdiri di Sumatera pada abad ke-14. Samudra Pasai memainkan peran sentral dalam memperkenalkan Islam ke wilayah sekitarnya, berkat hubungan perdagangan dengan pedagang Muslim dari India, Arab, dan wilayah lainnya (Zulfiqar, 2020). Keberhasilan Samudra Pasai dalam mengadopsi Islam sebagai agama negara turut mempercepat penyebaran ajaran ini ke wilayah lain di Sumatera, seperti Aceh, Minangkabau, dan Batak.
Pentingnya peran pelabuhan dan kerajaan dalam penyebaran Islam di Sumatera menunjukkan bahwa Islam tidak hanya diperkenalkan melalui jalur perdagangan, tetapi juga dengan bantuan institusi kerajaan yang mengadopsi ajaran Islam dan mengintegrasikannya dalam sistem pemerintahan mereka. Dengan cara ini, Islam berkembang lebih sistematis di Sumatera, terutama di wilayah utara seperti Aceh dan Samudra Pasai (Nur, 2019).
Peran Pelabuhan-Pelabuhan Utama
Pelabuhan-pelabuhan utama di Sumatera, seperti Barus, Aceh, dan Malaka, memainkan peran yang sangat penting dalam penyebaran Islam, baik sebagai pusat perdagangan maupun sebagai titik awal penyebaran budaya dan agama. Barus, yang terletak di pesisir barat Sumatera, merupakan salah satu pelabuhan tertua yang sudah dikenal sejak abad ke-10. Sebagai jalur utama perdagangan internasional, Barus menghubungkan berbagai wilayah di Asia Tenggara dengan India, China, dan Timur Tengah. Sebagai pelabuhan penghubung, Barus tidak hanya membawa komoditas perdagangan seperti rempah-rempah dan emas, tetapi juga ideologi dan agama, termasuk Islam. Banyak pedagang Arab, Persia, dan India yang singgah di Barus dan berinteraksi dengan penduduk setempat, memperkenalkan Islam melalui hubungan dagang dan sosial.
Selain Barus, Aceh juga memainkan peran yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Sumatera dan kawasan sekitarnya. Pada abad ke-16, Aceh berkembang menjadi salah satu kerajaan Islam terkuat di Asia Tenggara, berkat dukungan perdagangan yang berkembang pesat dan peran serta ulama-ulama besar. Kerajaan Aceh Darussalam, yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah, menjadi pusat kebudayaan dan keilmuan Islam. Aceh bukan hanya dikenal karena kekuatan militernya, tetapi juga sebagai pusat penyebaran ilmu pengetahuan, yang menarik perhatian banyak ulama dan cendekiawan Islam dari berbagai penjuru dunia, termasuk India, Persia, dan bahkan Turki. Melalui kerajaan ini, Islam menyebar lebih jauh ke wilayah pedalaman Sumatera, menjangkau daerah-daerah yang sebelumnya belum terpengaruh oleh agama tersebut.
Selain sebagai pusat politik dan kebudayaan, Aceh juga menjadi pusat dakwah Islam yang penting di kawasan Asia Tenggara. Selain Sultan Aceh yang mendukung penyebaran agama Islam, banyak ulama yang datang ke Aceh untuk mengajarkan Islam, baik melalui pendidikan formal di pesantren-pesantren maupun melalui dakwah langsung kepada masyarakat. Salah satu contoh penting dari hal ini adalah peran Syeikh Abdurrauf al-Singkili, seorang ulama besar dari Aceh, yang berkontribusi besar dalam menyebarkan ajaran Islam di wilayah Sumatera dan sekitarnya. Melalui pengaruhnya, Aceh menjadi contoh bagi wilayah-wilayah lain di Nusantara dalam hal penerimaan Islam sebagai agama yang membawa kedamaian dan kemakmuran.
Di sisi lain, pelabuhan Malaka, meskipun terletak di Semenanjung Malaya, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penyebaran Islam di Sumatera, mengingat kedekatannya dengan wilayah pesisir Sumatera. Pada abad ke-15 dan ke-16, Malaka menjadi pelabuhan yang sangat penting dalam jalur perdagangan internasional, dan keberadaannya sangat strategis sebagai penghubung antara India, China, dan dunia Islam. Malaka menjadi tempat berkumpulnya pedagang dari berbagai bangsa, termasuk Arab, Persia, India, dan Cina, yang membawa serta ajaran Islam. Kedekatan Malaka dengan pelabuhan-pelabuhan Sumatera, seperti Aceh dan Barus, mempermudah arus penyebaran agama Islam ke wilayah-wilayah pesisir Sumatera lainnya.
Penyebaran Islam di Malaka juga tidak terlepas dari peran Kesultanan Malaka yang menjadikan Islam sebagai agama resmi negara pada abad ke-15. Sultan Muhammad Shah dan penggantinya, Sultan Mansur Shah, dikenal sebagai pemimpin yang mendukung Islamisasi di kawasan tersebut, yang akhirnya meluas ke daerah pesisir Sumatera, termasuk ke wilayah Riau dan Jambi. Melalui perdagangan dan hubungan sosial yang erat, pengaruh Islam dari Malaka dengan cepat menyebar ke pulau-pulau di sekitar Selat Malaka, dan membawa serta berbagai tradisi dan kebudayaan Islam yang kemudian mengakar kuat di wilayah pesisir Sumatera.
Secara keseluruhan, pelabuhan-pelabuhan utama di Sumatera---seperti Barus, Aceh, dan Malaka memiliki peran yang sangat besar dalam penyebaran Islam ke kawasan Nusantara. Melalui jaringan perdagangan internasional, interaksi sosial, dan dukungan dari para pemimpin dan ulama, Islam berkembang pesat di wilayah ini, menjadi agama dominan di Sumatera dan membuka jalan bagi Islamisasi yang lebih luas di Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya. Keberhasilan penyebaran Islam di Sumatera juga menunjukkan bagaimana agama dan budaya dapat menyebar melalui jalur perdagangan dan hubungan antarbangsa, serta pentingnya peran pelabuhan-pelabuhan strategis dalam proses tersebut.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyebaran Islam
Pengaruh Kerajaan-kerajaan lokal
Kerajaan-kerajaan lokal di Sumatera, seperti Kerajaan Samudra Pasai di bagian utara, Aceh di bagian utara, dan Minangkabau di bagian tengah, memegang peranan penting dalam proses Islamisasi. Kerajaan Samudra Pasai, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Sumatera, memainkan peran utama dalam penyebaran Islam melalui kekuasaan politik dan agama. Setelah Islam diterima di Samudra Pasai, penyebarannya ke daerah lain, termasuk Aceh, Minangkabau, dan daerah pesisir lainnya, semakin meluas.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai
Jika dilihat dari Kronika Pasai (Hill, 1960) Kerajaan Samudera Pasai didirikan pada tahun XIII oleh, raja pertamanya yang bernama Meura Silu pada akhir abad ke 13. Dia merupakan seorang putra dari pernikahan antara Meurah Gajah dan Puteri Betung. Nama kakek dari ayahnya yaitu Raja Ahmad dan dari ibunya yaitu Raja Muhammad. Kakek Meurah Silu adalah seorang raja yang bersaudara di Samarlanga. Setelah kakeknya meninggal Meurah Silu dengan saudaranya pergi dari Samarlanga menuju Biruan. Mereka tinggal secara masing masing, disana mereka berdiam dilokasi yang dekat dengan sungai.
Suatu hari Silu sedang melakukan suatu hal di sungai, ia menemukan beberapa gelang-gelang yang terbuat dari emas dan perak, seketika hal tersebut menjadi orang yang kaya raya dan memiliki banyak pengikut. Dengan 2 hal tersebut, menjadikan modal bagi Silu membangun sebuah pemerintahan melalui Kerajaan Samudera, Meurah Silu mendapatkan gelar Sultan Malik As-saleh atau biasa disebut Malikussaleh setelah ia memeluk agama lslam. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, asal usul dari nama Samudra dipercaya digunakan saat Meurah Silu melihat seekor semut raksasa yang memiliki ukuran setara dengan kucing. Pada masa itu, orang orang yang belum memeluk agama islam menangkap semut tersebut dan memakannya. Sehingga dinamakanlah tempat itu laut yang bermakna samudera. Sementara nama Pasai berasal dari Kerajaan Pasai yang merupakan kerajaan baru setelah Samudera yang diberikan oleh Meurah Silu kepada puteranya, Malikus Zahir.
 Dalam beberapa pemberitaan selanjutnya nama dua kerajaan tersebut sering digabungkan sehingga disebutlah Samudera-Pasai. Namun, beberapa orang meyakini jika kata Samudra diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti laut dan Kata Pasai dipercaya berasal dari bahasa Persia yaitu Pasee atau Parsee, hal itu didukung sebab banyak datangnya saudagar muslim Persia-India yang datang ke Indonesia.Letak GeografisLetak geografis Kerajaan Samudera Pasai berada di wilayah pedalaman. Pusat Kerajaan Samudera Pasai pada akhir abad 13, berlokasi sekitar pantai utara Sumatra, di sekitar wilayah Lhoksemawe, pusat tersebut ditinjau dari administrasi pemerintahan.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai pada abad 14, tepatnya pada masa kejayaannya, diapit dua sungai di pantai utara ceh yaitu Sunagi Pasai dan Sungai Peusangan. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwasannya luas dari wilayah Kerajaan Pasai sebenarnya lebih luas hingga muara Sungai Jambu Anyer yang berada di sisi selatan. Sehingga dapat disimpulkan letak jika Kerajaan Samudera Pasai berada dekat dengan sungai, yang hulu sungainya berada di Daratan Tinggi Gayo.
Islamisasi Kerajaan Samudera PasaiSebelum Islam hadir di Indonesia, tradisi dan budaya yang ada di Pulau Sumatera berada dbawah pengaruh agama Hindu dan Buddha, hal ini didukung dengan keberadaan kerajaan Sriwijaya, pada masa itu agama Buddha berkembang berdampingan dengan berkembangnya agama Hindu. Seorang pengelana dari Cina pada abad ke-7 bernama I-Tsing, mengatakan bahwa kerajaan Sriwijaya menjadi tempat yang tepat untuk belajar agama Buddha.Waktu pasti Agama Islam masuk ke Pasai masih belum diketahui, akan tetapi peninggalan arkeologis dapat memberitahu kapan islam sudah ada, di dalam peninggalan arkeologis tersebut menunjukkan bahwa raja pertama, yang disebutkan pada Hikayat Raja-Raja Pasai,yaitu Meurah Silu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 hijriyah atau 1297 Masehi.
 Meskipun begitu, Animisme masih ada pada masa berkembangnya Agama Islam, bahkan budaya dari India masih terasa, hal tersebut dilaporkan oleh Marco Polo, bahwasannya Basman dan Samara atau Samudera masih terjadi penyembahan terhadap berhala di tahun. Ditinjau dari Hikayat Raja-raja Pasai, kemungkinan Merah Silu memeluk agama Islam adalah setelah ia mimpi bertemu dengan Rasulullah. Di dalam mimpinya, Nabi Muhammad meminta Meurah Silu untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Lalu, Nabi Muhammad meludah ke dalam mulut Merah Silu supaya ia bisa mengucapkan syahadat. Setelahnya, Nabi memberikan Malik As Saleh sebagai nama islam Meurah Silu. Pengaruh dari mimpi yaitu Meurah Silu mampu membaca Al-Quran meskipun tidak belajar terlebih dahulu.Penyebaran Agama Islam di wilayah Kerajaan Samudra Pasai dan sekitarnya sangat identik dan terikat erat dengan kegiatan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh para saudagar kaya yang datang, mereka tidak hanya ahli berdagang, melainkan menguasai dimensi sosial yang ada di wilayah Kerajaan Samudera Pasai, para saudagar tersebut umumnya berasal dari Timur Tengah.
Dalam kisah lain menjelaskan, Samudera Pasai diislamkan oleh seorang Syeikh Ismail, yang datang langsung Makkah, ia di perintahkan oleh Sharif Makkah mengikuti hadits Rasulullah agar pergi berjihad berupa mengislamkan Samudera. Peran Kerajaan Kerajaan Samudera Pasai sebagai Kerajaan Islam juga memberikan pengaruh yang cukup berdampak bagi penyebaran Agama Islam, dengan adanya kekuasaan Islam mempermudah adanya wadah bagi belajar agama yang nantinya akan menumbuhkan sifat semangat bagi para penduduk dalam menyiarkan Agama Islam ke seluruh penjuru, tak hanya itu dalam sejarah melayu dengan adanya kekuasaan islam, agama islam dapat leluasa melakukan acara keagamaan, seperti perayaan hari raya keagamaan. penerapan hukum berdasarkan agama islam juga mampumenerapkan kehidupan yang harmonis dan memberikan pandangan baik kepada non muslim. Cara selanjutnya yang dikenal mampu memperluas Agama Islam adalah perang. Sebenarnya cara perang dalam memperluas agama mampu memberikan dampak buruk bagi semua pihak, terlebih jika salah satu pihak sedang berada di posisi lemah. Namun saat itu Samudera Pasai bukanlah kerajaan yang lemah, hal tersebut didukung dengan wilayah kekuasaan yang luas, dan ketahanan yang kuat.
Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh
 Kerajaan Aceh Darussalam diduga berdiri pada penghujung abad ke-15 melanjutkan Kerajaan Lamuri, dan dipimpin oleh Sultan Muzaffar Syah (1465-1497 M). Menurut Anas Machmud, Sultan Muzaffar Syah adalah sosok yang mendirikan kota Aceh Darussalam. Pada masa pemerintahan, Sultan Muzaffar Syah Aceh mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan karena ada pergeseran kegiatan perdagangan yang terjadi dari Malaka menuju Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis (1511 M). Namun demikian, H.J. de Graaf dan Denys Lombard dalam kutipannya terhadap Tome Pires menyebut bahwa sultan kerajaan Aceh yang paling mula adalah Sultan Ali Mughayat Syah. Menurut H.J. de Graaf, Kerajaan Aceh berdiri pada awal abad ke 16 dengan adanya penyatuan dua kerajaan kecil, Lamri dan Aceh Dar al-Kamal. Penguasa besar pertama Kerajaan Aceh adalah Ali Mughayat Shah (1497-1528 M) , ia berhasil merampas Pasai dari tangan Portugis tahun 1524 M, dan sejak saat itu ia meletakkan dasar-dasar kekuasaan Aceh.3 Ali Mughayat Syah berhasil melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Keberhasilannya dalam menguasai beberapa wilayah dan menggabungkannya menjadi Kerajaan Aceh Darussalam, itulah yang menyebabkan ia dianggap sebagai pendiri kekuasaan Aceh sesungguhnya.
Sultan Ali Mughayat Syah kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Salah ad-Din (1528-1537), anak tertuanya. Salah ad-Din memberikan perlawanan kepada penjajahan dengan menyerang Malaka pada tahun 1537, tetapi serangan ini mengalami kekalahan. Salah ad-Din kemudian diganti oleh Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahhar (1537- 1568), saudaranya. Pada periode kekuasaan Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahhar Aru dan Johor berhasil ditaklukkan Aceh, dan Aceh kembali melawan penjajahan dengan menyerang Portugis di Malaka, dengan dibantu Dinasti Turki Utsmani. Alauddin Ri'ayat Syah selanjutnya digantikan oleh Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), kemudian Sultan Seri Alam, Sultan Muda (1604-1607), dan Sultan Iskandar Muda, gelar Mahkota Alam (1607-1636).
Aceh mengalami kemakmurannya yang terbesar di masa Sultan Iskandar Muda (1607-1637 M). Kekuasaannya meluas di sepanjang pantai timur dan barat Sumatera; menguasai ekspor merica. Tetapi, armada dan angkatan bersenjatanya mengalami kekalahan berat dari Malaka, suatu kemenangan terakhir bagi Portugis. Iskandar Muda memerintah dengan tangan besi. Istananya yang berkilauan emas membangkitkan kekaguman dan pujian orang-orang Barat, sebagaimana masjidnya yang bertingkat lima. Dari Aceh, Tanah gayo yang berbatasan telah di Islamkan, dan juga Minangkabau. Di masa pemerintahan menantunya dan mengganti Iskandar Muda, Iskandar Tsani, Aceh terus berkembang untuk beberapa tahun selanjutnya. Dengan lembut dan adil dia mendorong perkembangan agama dan melarang pengadilan dengan siksaan. Pengetahuan agama juga maju pesat pada masa itu.
Peran Kerajaan Aceh dalam Penyebaran Islam di Nusantara
Penyebaran Islam Lewat Penaklukkan-Penaklukkan Daerah Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530), Aceh mulai melebarkan kekuasaannya ke daerah sekitarnya, bahkan kesultanan ini berhasil mengusir Portugis dari Pasai tahun 1524. Pada masa Sultan Iskandar Muda, ia berhasil melakukan konsolidasi berbagai wilayah kekuasaan Aceh, seperti Tamiang, Natal, Tiku, Pariaman, Pasaman, Salido, dan Indrapura. Tahun 1611 M, wilayah Aru dan Deli berhasil dikuasai. Tahun 1613 M,Johor berhasil di kuasai. Tahun 1617-1620, Bintan, Baning, Pahang, Kedah, dan Perak berhasil dikuasai. Tahun 1623-1625, Kerajaan Aceh berhasil menguasai Nias, Asahan, Inderagiri dan Jambi.
Penyebaran Islam Lewat Sufisme
 A.H. Johns berpendapat bahwa sufisme merupakan kategori fungsional dan perlambang dalam kesusastraan Indonesia antara abad ke-13 dan 18. A.H. Jones lewat hipotesisnya juga menekankan kepentingan dan keunikan pengajar sufi dalam penyebaran Islam ke Indonesia. Peran sufi yang menggunakan jalur tasawuf dalam proses Islamisasi sangat besar. Dalam sejarah sufisme terkadang seorang sufi berhasil meluaskan penyebaran Islam dengan dukungan raja-raja dalam mengajarkan ajaran mereka, hal ini pula yang terjadi di Kerajaan Aceh.
Penyebaran Lewat Lembaga Pendidikan dan Pengkaderan Ulama di Aceh
Penyebaran Islam juga menemukan jalannya melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dikenal di Indonesia sebagai pesantren (meunasah atau dayah di Aceh). Siswa agama disebut santri, sementara gurunya disebut guru ngaji, kiai, atau ajengan. Murid diambil dari berbagai tempat dan setelah menyelesaikan studi mereka kembali ke tempat masing-masing untuk menjadi kiai dan mendirikan pesantren baru. Jadi, pesantren atau meunasah sebagai pusat pendidikan tradisional dianggap sebagai salah satu saluran bagi proses Islamisasi. Pesantren berhasil menjangkau ke wilayah-wilayah yang jauh, saat Pesantren memiliki beberapa santri yang berasal dari tempat-tempat jauh dan terpencil.
Penyebaran Lewat Karya-Karya Ulama Besar Aceh
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia selain dengan pendidikan di Pesantren (atau di Aceh disebut Dayah atau Meunasah) membentuk kader-kader ulama yang bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah yang lebih luas, juga dilakukan melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menuliskan di Kerajaan Aceh pada abad ke 16 dan 17 ada produktivitas pada bidang filsafat, metafisik, sastra, dan teologi rasional yang tidak ada duanya jika dibandingkan dengan zaman lainnya di Asia Tenggara. Saat dunia pemikiran dalam bidang agama mengalami kebekuan karena digalakkannya taklid di pusat dunia Islam, di daerah Nusantara dunia pemikiran berkembang karena tradisi pemikiran baru mulai terbentuk, dan bagaimanapun akar tradisi pemikirannya berasal dari tradisi pemikiran di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.
 Ilmuwan terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, tokoh sufi yang berasal dari Fansur (Barus), Sumatera Utara. Karyanya yang terkenal berjudul Asrarul- ‘Arifin fi Bayan ila Suluk wa Al-Tauhid. Ada juga karya yang lain yatiu Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Syarab Al’Asyikin. Pemikiran tasawufnya dipengaruhi paham wahdat al-qujud Ibn ‘Arabi dan juga pemikiran tasawuf Al-Hallaj. Paham yang dikembangkan Hamzah Fansuri di Aceh ini dikenal dengan wujudiyah atau martabat tujuh. Syamsudin al-Sumatrani adalah murid Hamzah Fansuri. Syamsudin mengarang buku berjudul Mir’atul Mu’minim (cermin orang beriman), pada tahun 1601. Buku ini berisi Tanya jawab tentang ilmu kalam.
Nuruddin Al-Ranini adalah Ulama yang produktif menulis. Al-Raniri berasal dari India, keturunan Arab Quraisy Hadramaut. Ia tiba di Aceh tahun 1637 M. Al-Raniri dikenal sebagai orang yang sangat giat membela ajaran Ahlussunah Waljamaah. Ahmad Daudi menuliskan bahwa karya Al-Raniri yang terdata secara jelas berjumlah 29 buah, yang meliputi berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu sejarah, tasawuf, fikih, hadis, akidah, dan sekte-sekte agama. Di antara karyanya adalah Al Sirath Al Mustaqim berisi uraian tentang hukum, Bustan al Salatin berisi sejarah dan tuntunan bagi para penguasa dan raja, Asrar al Insan fi Ma’rifati al-Ruh wa al-Rahman yang merupakan karya dalam ilmu kalam, Tibyan fi Ma’rifat al-Adyan berisi perdebatannya dengan kaum wujudiyah, dan al-Lama’ah fi Takfir man Qala bi Khalq al-Qur’an yang juga merupakan bantahan terhadap Hamzah Fansuri bahwa al-Qur’an itu makhluk. Ulama penulis lainnya yang juga berasal dari Kerajaan Aeh adalah Abdurrauf Singkil yang mendalami ilmu agama di Mekah dan Madinah. Dia menghidupkan kembali ajaran tasawuf yang sebelumnya dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui tarekat Syattariyah yang diajarkannya, walaupun dengan metaphor yang berbeda.
Paham sufisme di Jawa diserap dari kesusasteraan Melayu (Aceh) karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin Al-Sumatrani, Abdurrauf Singkil dan juga Nuruddin al-Raniri. Melalui karya-karya ulama Aceh itu, pahan wujudiyah tersebar ke Jawa melalui penyebaran tarekat Syattariyah, murid-murid Abdurrauf Singkel. Diantaranya adalah Abdul Muhyi, pengarang kitab Martabar Kang Pittu (Martabat yang Tujuh), seorang wali yang dikeramatkan di daerah Priangan dan dari daerah ini tarekat Syattariah menyebar ke Cirebon yang menjadi pusat kesultanan. Dari pengaruh Cirebon ini kemudian pujangga-pujangga Surakarta mengubah karya-karya serat suluk yang kaya akan ajaran etika dan tasawuf, seperti Ronggowarsito dengan karyanya Wirid Hidayat Jati.
Peran Aceh Sebagai Pintu Gerbang ke Tanah Suci
Selain peranan-peranan di atas dalam menyebarkan Islam ke Nusantara, Kerajaan Aceh berperan pula sebagai pintu gerbang ke tanah suci bagi para penziarah dan pelajar yang menuju ke Mekah, Madinah dan pusat-pusat pengetahuan di Mesir serta bagian-bagian lain dari kesultanan Turki, Sehingga tak heran bila Aceh dijuluki sebagai ‘Serambi Mekah’. Kerajaan Aceh memiliki hubungan diplomatic dan kerja sama yang baik dengan kota-kota pelabuhan Muslim yang lain di Nusantara. Kerajaan Aceh juga menjadi tempat pertemuan ulama dan intelektual Muslim dari berbagai wilayah Melayu dan Timur Tengah.
Peran Ulama dan Penyebar Islam
ï‚·Ulama seperti Syekh Abdurrauf al-Singkili (seorang ulama dari Singkil, Aceh) memiliki peran besar dalam pengajaran Islam di Sumatera. Syekh Abdurrauf adalah salah satu ulama besar yang berjasa dalam mengembangkan Islam di Aceh dan wilayah Sumatera lainnya. Dengan pendidikan agama yang sistematis melalui pesantren, para ulama berhasil mentransformasi masyarakat setempat dan menjadikan Islam sebagai agama dominan.
ï‚·Syekh Burhanuddin Ulakan (Sumatera Barat): Beliau adalah salah satu tokoh yang menyebarkan Islam di Minangkabau. Syekh Burhanuddin banyak mengajarkan tasawuf di wilayah Sumatera Barat dan dikenal dengan ajarannya yang lembut dan damai, sehingga Islam diterima dengan baik oleh masyarakat Minangkabau.
ï‚·Sultan Malik as-Saleh (Samudera Pasai, Aceh): Sultan Malik as-Saleh adalah pendiri Kesultanan Samudera Pasai, kerajaan Islam pertama di Nusantara. Beliau memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di wilayah Aceh dan sekitarnya. Kerajaan Samudera Pasai menjadi pusat pendidikan dan perdagangan Islam yang maju dan dihormati.
ï‚·Hamzah Fansuri: Ulama dan sastrawan asal Aceh ini menyebarkan Islam melalui karya-karyanya dalam bentuk syair-syair tasawuf. Hamzah Fansuri memperkenalkan konsep-konsep Islam yang dalam, seperti ilmu tasawuf, dan memperkaya literatur Islam di Nusantara.
Kesimpulan
Proses masuknya Islam ke Sumatera adalah peristiwa bersejarah yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama perdagangan, peran kerajaan lokal, serta kontribusi ulama dalam menyebarkan ajaran Islam. Islamisasi yang dimulai pada abad ke-13 dan ke-14, berkembang pesat di pelabuhan-pelabuhan utama seperti Aceh, Barus, dan Malaka, kemudian merambah ke seluruh wilayah Sumatera.
Dampak dari Islamisasi sangat terasa dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari perubahan sistem sosial, hukum, hingga kebudayaan. Islam tidak hanya mempengaruhi agama, tetapi juga membawa perubahan dalam struktur pemerintahan dan kehidupan sosial. Meskipun proses Islamisasi berbeda-beda di setiap wilayah, seperti di Aceh, Minangkabau, dan Batak, Islam tetap menjadi kekuatan besar yang membentuk identitas budaya Sumatera hingga saat ini.
Daftar Pustaka
Ismail, S. (2021). Sejarah Masuknya Islam di Sumatera. Jakarta: Pustaka Al-Qalam.
Tahir, M. (2022). Islam dan Perdagangan di Sumatera pada Abad ke-14: Sebuah Kajian Historis. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Universitas Gadjah Mada.
Zulfiqar, M. (2020). Peran Kerajaan Samudra Pasai dalam Penyebaran Islam di Sumatera. Bandung: Penerbit Kharisma.
Sulaiman, A. (2023). "Pengaruh Islam terhadap Sistem Sosial di Aceh pada Abad ke-16". Jurnal Sejarah Kebudayaan Islam, 8(1), 55-72.
Rahman, F. (2021). Dari Barus hingga Aceh: Sejarah Islam di Sumatera. Medan: Universitas Sumatera Utara Press.
Syarifuddin, I. (2023). "Peranan Ulama dalam Islamisasi Sumatera: Sebuah Tinjauan Historis". Jurnal Studi Islam dan Peradaban, 12(2),
Kresten, Carool, 2018. Mengislamkan Indonesia, Sejarah Peradaban Islam di Nusantara. Tangerang Selaran: Penerbit Baca.
Ali, M. F., & Rahim, I. S. Islam di Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual dan Gerakannya. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H