Sultan Ali Mughayat Syah kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Salah ad-Din (1528-1537), anak tertuanya. Salah ad-Din memberikan perlawanan kepada penjajahan dengan menyerang Malaka pada tahun 1537, tetapi serangan ini mengalami kekalahan. Salah ad-Din kemudian diganti oleh Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahhar (1537- 1568), saudaranya. Pada periode kekuasaan Alauddin Ri'ayat Syah al-Kahhar Aru dan Johor berhasil ditaklukkan Aceh, dan Aceh kembali melawan penjajahan dengan menyerang Portugis di Malaka, dengan dibantu Dinasti Turki Utsmani. Alauddin Ri'ayat Syah selanjutnya digantikan oleh Sultan Ali Riayat Syah (1568-1573), kemudian Sultan Seri Alam, Sultan Muda (1604-1607), dan Sultan Iskandar Muda, gelar Mahkota Alam (1607-1636).
Aceh mengalami kemakmurannya yang terbesar di masa Sultan Iskandar Muda (1607-1637 M). Kekuasaannya meluas di sepanjang pantai timur dan barat Sumatera; menguasai ekspor merica. Tetapi, armada dan angkatan bersenjatanya mengalami kekalahan berat dari Malaka, suatu kemenangan terakhir bagi Portugis. Iskandar Muda memerintah dengan tangan besi. Istananya yang berkilauan emas membangkitkan kekaguman dan pujian orang-orang Barat, sebagaimana masjidnya yang bertingkat lima. Dari Aceh, Tanah gayo yang berbatasan telah di Islamkan, dan juga Minangkabau. Di masa pemerintahan menantunya dan mengganti Iskandar Muda, Iskandar Tsani, Aceh terus berkembang untuk beberapa tahun selanjutnya. Dengan lembut dan adil dia mendorong perkembangan agama dan melarang pengadilan dengan siksaan. Pengetahuan agama juga maju pesat pada masa itu.
Peran Kerajaan Aceh dalam Penyebaran Islam di Nusantara
Penyebaran Islam Lewat Penaklukkan-Penaklukkan Daerah Di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1511-1530), Aceh mulai melebarkan kekuasaannya ke daerah sekitarnya, bahkan kesultanan ini berhasil mengusir Portugis dari Pasai tahun 1524. Pada masa Sultan Iskandar Muda, ia berhasil melakukan konsolidasi berbagai wilayah kekuasaan Aceh, seperti Tamiang, Natal, Tiku, Pariaman, Pasaman, Salido, dan Indrapura. Tahun 1611 M, wilayah Aru dan Deli berhasil dikuasai. Tahun 1613 M,Johor berhasil di kuasai. Tahun 1617-1620, Bintan, Baning, Pahang, Kedah, dan Perak berhasil dikuasai. Tahun 1623-1625, Kerajaan Aceh berhasil menguasai Nias, Asahan, Inderagiri dan Jambi.
Penyebaran Islam Lewat Sufisme
 A.H. Johns berpendapat bahwa sufisme merupakan kategori fungsional dan perlambang dalam kesusastraan Indonesia antara abad ke-13 dan 18. A.H. Jones lewat hipotesisnya juga menekankan kepentingan dan keunikan pengajar sufi dalam penyebaran Islam ke Indonesia. Peran sufi yang menggunakan jalur tasawuf dalam proses Islamisasi sangat besar. Dalam sejarah sufisme terkadang seorang sufi berhasil meluaskan penyebaran Islam dengan dukungan raja-raja dalam mengajarkan ajaran mereka, hal ini pula yang terjadi di Kerajaan Aceh.
Penyebaran Lewat Lembaga Pendidikan dan Pengkaderan Ulama di Aceh
Penyebaran Islam juga menemukan jalannya melalui lembaga-lembaga pendidikan yang dikenal di Indonesia sebagai pesantren (meunasah atau dayah di Aceh). Siswa agama disebut santri, sementara gurunya disebut guru ngaji, kiai, atau ajengan. Murid diambil dari berbagai tempat dan setelah menyelesaikan studi mereka kembali ke tempat masing-masing untuk menjadi kiai dan mendirikan pesantren baru. Jadi, pesantren atau meunasah sebagai pusat pendidikan tradisional dianggap sebagai salah satu saluran bagi proses Islamisasi. Pesantren berhasil menjangkau ke wilayah-wilayah yang jauh, saat Pesantren memiliki beberapa santri yang berasal dari tempat-tempat jauh dan terpencil.
Penyebaran Lewat Karya-Karya Ulama Besar Aceh
Penyebaran dan pertumbuhan kebudayaan Islam di Indonesia selain dengan pendidikan di Pesantren (atau di Aceh disebut Dayah atau Meunasah) membentuk kader-kader ulama yang bertugas sebagai mubalig ke daerah-daerah yang lebih luas, juga dilakukan melalui karya-karya yang tersebar dan dibaca di berbagai tempat yang jauh. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menuliskan di Kerajaan Aceh pada abad ke 16 dan 17 ada produktivitas pada bidang filsafat, metafisik, sastra, dan teologi rasional yang tidak ada duanya jika dibandingkan dengan zaman lainnya di Asia Tenggara. Saat dunia pemikiran dalam bidang agama mengalami kebekuan karena digalakkannya taklid di pusat dunia Islam, di daerah Nusantara dunia pemikiran berkembang karena tradisi pemikiran baru mulai terbentuk, dan bagaimanapun akar tradisi pemikirannya berasal dari tradisi pemikiran di pusat dunia Islam tersebut sebelumnya.
 Ilmuwan terkenal pertama di Indonesia adalah Hamzah Fansuri, tokoh sufi yang berasal dari Fansur (Barus), Sumatera Utara. Karyanya yang terkenal berjudul Asrarul- ‘Arifin fi Bayan ila Suluk wa Al-Tauhid. Ada juga karya yang lain yatiu Syair Perahu, Syair Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Jawi, Syarab Al’Asyikin. Pemikiran tasawufnya dipengaruhi paham wahdat al-qujud Ibn ‘Arabi dan juga pemikiran tasawuf Al-Hallaj. Paham yang dikembangkan Hamzah Fansuri di Aceh ini dikenal dengan wujudiyah atau martabat tujuh. Syamsudin al-Sumatrani adalah murid Hamzah Fansuri. Syamsudin mengarang buku berjudul Mir’atul Mu’minim (cermin orang beriman), pada tahun 1601. Buku ini berisi Tanya jawab tentang ilmu kalam.