Mohon tunggu...
Syahara Bhatari Alamsyah
Syahara Bhatari Alamsyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ilmu Politik

Mahasiswi Ilmu Politik Universitas Padjajaran

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelaah Permasalahan yang Terjadi dalam Internal Partai Politik (Studi Kasus Partai PDIP dan Partai NasDem)

8 November 2022   22:34 Diperbarui: 8 November 2022   22:49 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Partai politik sering membuat pilihan kepemimpinan yang penting, seperti memilih eksekutif partai dan menetapkan tujuan kebijakannya, selama konferensi partai reguler. Seluruh eksekutif partai secara umum akan berusaha bersaing untuk mendapatkan berbagai jabatan krusial dalam pemerintahan, mirip dengan bagaimana para pemimpin partai yang tidak berkuasa biasanya setidaknya seolah-olah bersaing untuk peran presiden (Ibad & Musdalifah, 2020). 

Dalam demokrasi, orang sering bersekutu dengan satu atau lebih partai politik. Membayar iuran, berjanji untuk tidak bergabung dengan lebih dari satu partai secara bersamaan, dan kadang-kadang menyatakan dukungan untuk agenda partai dapat menjadi persyaratan untuk keanggotaan partai. Anggota partai politik sering diizinkan untuk memilih dalam pemilihan untuk memilih kepemimpinan partai dalam demokrasi. 

Anggota partai dapat menjadi landasan bagi para aktivis sukarelawan dan pendukung keuangan yang diandalkan oleh partai politik selama pemilihan. Institusi politik suatu negara dapat mempengaruhi seberapa banyak orang berpartisipasi dalam organisasi partai, dengan beberapa pemilihan umum dan struktur partai mendukung lebih banyak keterlibatan partai (Damayadi, 2020). 

Pada intinya politik secara umum adalah sistem untuk pemecahan masalah sosial. Kekuasaan dijatuhkan, dan keputusan dibuat atas nama penduduk. Politik kemudian juga akan menjadi sumber konflik di mana tidak dapat dihindari bahwa publik jarang duduk dalam kesepakatan yang utuh. 

Politik menghasilkan pemenang dan pecundang, dan kemenangan berhubungan dengan perolehan kekuasaan dan pemenuhan kepentingan dan nilai. Ini, pada gilirannya, dapat disajikan sebagai jumlah nol, atau pemenang mengambil semua. Politik tidak selalu disajikan sebagai tawar-menawar posisional (Romli, 2018). Hal ini tentu dapat dianalogikan secara substansial dalam permasalahan internal yang muncul dalam sebuah partai politik.

Permasalahan internal dalam partai politik dapat dilihat sebagai kepanjangan tangan yang natural terjadi dalam suatu sistem politik yang seperti dibahas diatas merupakan sistem pemecahan permasalahan sosial diantara masyarakat. 

Partai politik terdiri dari pengurus dan anggota yang notabene juga merupakan bagian dari masyarakat tentu memiliki aspirasi dan tujuan sosial politik mereka sendiri sehingga dalam sebuah partai politik yang diurus dan diikuti oleh banyak pengurus dan anggota itu sendiri bertemu dalam suatu forum diskusi maka gesekan antara kepentingan dan aspirasi sosial politik yang dimiliki oleh para anggota dan pengurus tentu akan menghasilkan konflik itu sendiri (Budiatri, dkk. 2018).

Konflik yang terjadi dalam forum internal partai politik kemudian dapat didefinisikan sebagai permasalahan internal partai politik. Secara konstruktif permasalahan internal dalam sebuah partai politik dibangun dalam konflik antar kepentingan politik atau konflik politik yang secara alami terjadi dalam forum internal terkait hal-hal fundamental dalam tujuan operasional partai politik itu sendiri.

Konflik politik bersifat konstruktif ketika tantangan di antara pihak-pihak bertemu dengan resolusi yang melebihi status quo. Kepentingan, nilai, dan kebutuhan para pihak dapat dinilai dari tiga kepuasan: proses, emosi, dan substansi. 

Dimensi proses mencakup fitur pengakuan dan inklusi. Pihak-pihak yang berkonflik kecewa ketika mereka ditolak aksesnya dan/atau merasa dibungkam dan puas ketika mereka memiliki kesempatan untuk mengajukan keluhan dan Permasalahan internal dalam sebuah partai politik akan menjadi permasalahan yang serius dan dapat mengancam persatuan organisasi partai jika terjadi dalam skala besar. 

Skala besar disini diartikan sebagai situasi internal partai politik dimana terdapat dua atau lebih kubu yang memiliki perbedaan pendapat dan aspirasi politik terkait visi serta tujuan dari partai politik tersebut.

Kubu-kubu ini kemudian akan mencoba untuk menggalang dukungan dari anggota- anggota yang memiliki aspirasi politik yang sama atau mirip dengan kubu mereka dan jika tidak ada resolusi konflik yang dapat menyatukan kubu-kubu tersebut dalam sebuah konsolidasi politik partai maka permasalahan internal partai skala besar akan terjadi. 

Dalam sejarah Indonesia misalnya, telah banyak peristiwa permasalahan internal dalam tubuh partai politik yang telah berkembang menjadi permasalahan internal yang cukup besar hingga menjadi urgensi nasional bagi partai politik terkait.

Aspirasi politik yang tidak jarang menjadi substansi utama dibalik terjadinya sebuah permasalahan internal dalam partai politik adalah dualisme kepemimpinan dalam sistem kepengurusan partai politik. Jenis permasalahan internal partai politik ini merupakan biasanya muncul dalam tubuh partai politik jika kepemimpinan atau kepengurusan partai politik incumbent atau yang sedang menjabat dianggap tidak memiliki legitimasi atau visi yang sesuai dengan ideologi partai.

Anggapan ini tentu saja berasal dari kubu yang memiliki asumsi bahwa aspirasi dan visi politik mereka sendiri akan dapat memiliki pengaruh yang lebih baik jika kubu mereka menjadi pengurus atau berada dalam kepemimpinan partai politik itu sendiri. Indonesia sebagai contoh merupakan negara demokrasi dengan sistem kepartaian multi partai yang tentu saja memberikan jalan untuk sebuah partai politik agar dapat beroperasional dalam cara yang juga mencerminkan asas dan prinsip demokrasi itu sendiri. 

Dalam proses demokrasi internal partai politik ini kemudian secara alami dapat menghasilkan sebuah konflik internal dalam tubuh partai politik, misalnya di Indonesia seperti yang terjadi pada Partai NasDem dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dimana terjadi permasalahan internal terkait kepengurusan partai politik dalam skala konflik yang cukup besar sehingga menghambat aktivitas dan kegiatan politik dari partai-partai itu sendiri (Yunicha & Cahyadi, 2016) (Sitompul, 2018).

Dampak negatif dari sebuah konflik internal dalam tubuh partai politik ini kemudian memberikan perhatian lebih lanjut perihal bagaimana partai politik juga memiliki fungsi sebagai penanganan konflik sosial di masyarakat, termasuk dalam tubuh atau internal organisasi mereka sendiri.

Fungsi partai politik sebagai penanganan atau pengatur konflik diartikan sebagai bagian dari proses demokrasi di suatu negara demokratis. Fungsi ini merupakan hal fundamental yang ditanamkan dalam pembuatan partai politik yang notabene merupakan wadah legal dari kegiatan politik masyarakat demokratis (Jondar, 2018). 

Jika konsep dan fungsi partai politik ini dimasukan ke dalam konteks permasalahan internal partai politik yang telah dibahas sebelumnya merupakan konflik sosial politik, maka dapat dilihat adanya hubungan antara fungsi partai politik sebagai penanganan atau pengatur konflik juga dapat diaplikasikan ke dalam permasalahan internal mereka. 

Hal ini memberikan perhatian penting mengenai kebutuhan akan terjadinya sebuah konflik, bagaimana konflik terutama dalam politik pasti akan terjadi akibat gesekan aspirasi politik, dan bagaimana partai politik dapat menyelesaikan permasalahan internal dalam organisasi mereka sesuai dengan fungsi partai politik tersebut sebagai penanganan atau pengatur konflik di masyarakat. Kepentingan untuk menyelesaikan konflik sesuai dengan fungsi partai politik sebagai penanganan atau pengatur konflik juga berkaitan erat dengan proses demokrasi di suatu negara demokratis.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, partai politik merupakan wadah bagi masyarakat demokratis untuk menuangkan aspirasi mereka dan secara aktif mencoba untuk mengabdi dalam pemerintahan yang juga demokratis (Jondar, 2018). 

Jika permasalahan internal dalam tubuh partai politik tidak dapat diselesaikan dengan baik oleh partai politik itu sendiri, maka partai politik itu juga dapat dikatakan gagal dalam memenuhi fungsi mereka sebagai wadah untuk memenuhi aspirasi politik masyarakat demokratis.

 Hal ini menambahkan lebih banyak kepentingan terhadap penyelesaian konflik terkait permasalahan internal partai politik karena adanya kepentingan yang lebih besar dari partai politik itu sendiri yang akan terhambat oleh permasalahan internal yang terjadi. 

Sistem multi partai seperti yang diterapkan di Indonesia merupakan sistem yang dibuat untuk dapat merangkul sebanyak mungkin golongan dan lapisan masyarakat yang tinggal di wilayah Indonesia, hal ini berarti bahwa jika ada permasalahan internal partai politik yang menghambat proses demokrasi dan representasi politik terutama bagi golongan atau lapisan masyarakat minoritas, maka partai politik tersebut telah gagal memenuhi salah satu aspek penting dalam demokrasi sistem kepartaian multi partai.

Partai politik merupakan salah satu aktor serta roda utama dalam berjalannya sistem demokrasi di suatu negara, termasuk di Indonesia. Eksistensi akan partai politik merupakan solusi dari adanya partisipasi secara aktif rakyat dalam setiap pembuatan kebijkan negara serta sebagai sarana penampung aspirasi dan jembatan antara rakyat dan pemerintah. Partai politik juga merupakan indikator utama dari tegaknya kedaulatan rakyat pada sistem demokrasi khususnya sistem demokrasi perwakilan pada suatu negara. 

Peran dari partai politik sendiri seiring perkembangannya semakin meluas dimana memiliki kewenangan mulai dari pemilihan presiden, DPR/DPRD, Gubernur/Bupati/Walikota, serta anggota DPR. Hal ini yang kemudian menyebabkan persaingan perebutan kekuasaan baik di legislatif maupun eksekutif tidak hanya dimulai dari pemilu melainkan didahului oleh perebutan kekuasaan di internal partai politik. Faktor seperti perebutan kekuasaan pada internal partai politik tidak jarang melahirkan berbagai konflik-konflik internal yang dapat berujung kepada perpecahan partai. 

Keberadaan akan konflik di dalam tubuh partai sendiri bukanlah hal yang asing dimana pada hakikatnya partai politik bukanlah organisasi yang homogen melainkan organisasi yang heterogen. Lahirnya konflik internal partai politik tidak lepas dari kegagalan para elit partai untuk meredam kepentingan masing-masing dalam berbagai perbedaan baik cara pandang dan idelogi mengenai isu atau kebijakan tertentu. 

Menurut Nazaruddin Sjamsuddin, Zulkifli Hamid, dan Toto Pribadi, perpecahan dalam tubuh partai politik sendiri dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya perbedaan ideologi dari pada anggotnya, perbedaan pelaksanaan kebijaksanaan, dan persaingan terkait kepemimpinan dalam partai. 

Dapat ditarik bahwa masalah pada kepemimpinan dalam memanajemen partai merupakan sumber dari segala konflik internal yang terjadi dalam partai politik. Kemunculan konflik dalam setiap organisasi merupakan hal yang tidak dapat dihindarkan sehingga dalam hal ini partai politik sangat memerlukan adanya menajemen konflik yang baik guna mengatasi ancaman konflik internal yang terjadi. 

Manajemen konflik sendiri merupakan cara yang dilakukan oleh pimpinan pada saat menanggapi konflik. Tujuan dari adanya manajemen konflik sendiri guna mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan (Dalam penanganan konflik internal pada partai politik sendiri telah ada regulasi yang mengatur yaitu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 yang mengatur berbagai cara atau tahapan penyelesaian perselisihan konflik antar partai politik.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada pada undang-undang tersebut, langkah atau tahapan pertama yang dilakukan partai dalam menangani permasalan konflik internal adalah melalui forum musyawarah internal partai yang merujuk sesuai dengan ketentuan AD/ART masing-masing partai.

Tahap selanjutnya yang dapat ditempuh jika melalui forum musyawarah internal partai konflik masih belum ditemukan penyelesaiannya adalah peradilan yang dilakukan oleh Mahkamah Partai Politik yang dibentuk oleh partai politik sendiri sesuai dengan ketentuan pada pasal 32 ayat 2 UU No. 2 Tahun 2011. 

Dalam partai politik terjadinya konflik internal disebabkan oleh beberapa hal, seperti tidak adanya kesamaan kehendak atau anggota partai politik yang tidak percaya terhadap pemimpinnya. Salah satu contoh partai politik yang mengalami konflik internal adalah Partai Nasional Demokrat (Nasdem). 

Partai Nasdem ini dideklarasikan oleh Surya Paloh pada tanggal 1 Februari 2010 sebagai suatu organisasi yang menginginkan terjadinya perubahan dan kemajuan bagi banga Indonesia. Partai Nasdem ini yang kemudian akhirnya dinyatakan oleh Kementerian Hukum dan HAM lolos sebagai partai politik pendatang baru yang bisa mengikuti Pemilihan Umum Pada Tahun 2014. 

Namun, pada saat itu Partai Nasdem sedang mengalami permasalahan internal berupa konflik kepentingan, yang di mana kekuasaan yang menjadi aktor utama penyebab terjadinya konflik tersebut.

Konflik internal tersebut dimulai dengan keluarnya Hary Tanoesoedibjo sebagai Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem, karena mempunyai perbedaan pemikiran dan tujuan dengan Ketua Umum Partai Nasdem yaitu Surya Paloh yang menyebabkan salah satunya mengundurkan diri dari Partai Nasdem. Tidak hanya itu, pengunduran juga dilakukan oleh beberapa Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) yang ada di provinsi- provinsi Indonesia, Ketua Dewan Pembina Nasional Demokrat, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X. 

Penyebab mundurnya para kader tersebut karena mereka tidak setuju pada hasil Kongres Partai Nasdem pertama pada tanggal 25-27 Januari Tahun 2013 yang mengangkat Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasdem. 

Terdapat beberapa dampak dari terjadinya konflik internal Partai Nasdem yaitu para kader yang ikut mengundurkan diri dari kepengurusan Partai Nasdem dianggap sebagai orang- orang yang mendukung Hary Tanoesoedibjo. Tetapi, Surya Paloh juga mempunyai pendukung yang jauh lebih banyak karena Surya Paloh tentunya sudah lama berkecimpung di dalam dunia politik dibandingkan dengan Hary Tanoesoedibjo. 

Salah satu fungsi dari partai politik adalah sebagai sarana pengatur dan pengendalian konflik, dan konflik internal yang terjadi dalam Partai Nasdem ini bisa mengurangi kepercayaan masyarakat pada Partai Nasdem sebagai partai baru pada saat itu.

Salah satu studi kasus yang kasus dari manajemen konflik yang dapat dikatakan cukup baik berada di partai PDI-P di Kota Batu. Konflik internal yang sering terjadi di partai PDI-P ini tidak memiliki dampak yang dapat membuat perpecahan serta membahayakan keberadaan partai tersebut. Menurut ketua DPC setempat, konflik internal yang terjadi dipartai PDI-P Kota Batu hanya sebatas perdebatan mengenai perbedaan pendapat antar anggota dalam forum misalnya. Bentuk konflik yang melibatkan kepentingan elit politik dan kepentingan politik di luar partai jarang terjadi. 

Hal ini dikarenakan lingkup yang hanya sebatas di Kota Batu dan bukan di lingkup pusat. Rendahnya keberadaan konflik internal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama dapat disebabkan oleh keberadaan dari visi dan misi juga anggaran dasar (AD) yang dimiliki oleh partai PDI-P yang kemudian menyebabkan konflik internal dapat terselesaikan dengan cepat, tepat, dan tegas sehingga keberadaan konflik internal yang berkepanjangan dapat dihindari. 

Faktor kedua dapat disebabkan dari jalinan alur komunikasi yang dibentuk dan terbentuk berjalan dengan sangat baik. 

Salah satu mekanisme penyelesaian konflik internal di partai PDI-P adalah melalui proses komunikasi politik yang baik antara kelompok yang bersangkutan dalam konflik. Peran komunikasi ini sangatlah penting dalam manajemen konflik yang dimiliki oleh partai PDI-P. 

Selain itu, penerapan demokrasi yang baik dalam tubuh partai juga dapat menjadi faktor yang menyebabkan minimnya konflik internal yang terjadi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai PDI-P di Kota Batu memiliki mekanisme penyelesaian konflik yang efektif.

Analisis perbandingan manajemen penanganan konflik antara Partai Nasdem dan PDIP, yang di mana sama-sama terdapat konflik kepentingan dalam internal partai politik tersebut yaitu adanya perbedaan pendapat. 

Dalam Partai Nasdem terjadinya perbedaan pendapat dan tujuan yang menyebabkan beberapa anggota partai mengundurkan diri, hal tersebut berdampak pada kepercayaan dari masyarakat menjelang Pemilu 2014 pada Partai Nasdem sebagai partai baru pada saat itu. Sedangkan, terjadinya konflik internal dalam Partai PDIP di Kota Batu tidak memiliki dampak yang dapat membuat perpecahan serta membahayakan keberadaan partai. 

Kemudian, penangan konflik yang dilakukan oleh kedua Partai tersebut sama-sama bisa menyelesaikan permasalahan konflik yang terjadi, dengan dilakukannya proses komunikasi politik yang baik, dilakukannya konsolidasi internal dalam partai untuk memperbaiki struktur kepengurusan partai yang baru, dan kemudian bisa menjalankan lagi program-program yang telah direncanakan.

Setelah memahami konsep struktural internal partai politik, dapat disimpulkan bahwa konflik atau permasalahan yang terjadi dalam forum internal partai politik adalah bersifat konstruktif ketika tantangan di antara pihak-pihak bertemu dengan resolusi yang melebihi status quo. 

Kepentingan, nilai, dan kebutuhan para pihak dapat dinilai dari tiga kepuasan: proses, emosi, dan substansi. Dimensi proses mencakup fitur pengakuan dan inklusi, pihak- pihak yang berkonflik kecewa ketika mereka ditolak aksesnya dan/atau merasa dibungkam dan puas ketika mereka memiliki kesempatan untuk mengajukan keluhan.

Substansi utama yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya partai politik adalah aspirasi politik khususnya dualism kepemimpinan yang ada di dalam system kepengurusan partai politik. 

Jenis permasalahan internal yang terjadi di dalam partai politik ini biasanya muncul dalam tubuh partai politik jika kepemimpinan atau kepengurusan yang sedang menjabat partai politik incumbent dianggap tidak memiliki visi atau legitimasi yang sesuai dengan ideologi partai yang adaa.

Anggapan ini muncul dari kubu yang memiliki asumsi bahwa visi dan aspirasi politik mereka sendiri akan dapat memiliki pengaruh yang lebih baik jika kubu mereka menjadi pengurus atau berada dalam kepemimpinan partai politik itu sendiri. yang berperan dalam menyelesaikan konflik internal itu bukan masalah ideologi partai, karena konflik didasarkan pada kepentingan elit partai.

Konflik, terutama konflik internal, tidak dapat dihindari, tetapi dapat dicegah, dan jika sudah terjadi, dapat dikendalikan jika suatu lembaga memiliki resolusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik. Konflik dapat menjadi lebih buruk jika penyelesaiannya tidak berjalan dengan baik. 

Ada beberapa metode yang terkait dengan manajemen konflik tetapi implementasinya akan sangat relatif. Konflik internal yang terjadi antar anggota partai tidak disebabkan oleh ideologi, melainkan oleh elit partai. Namun tetap saja, ideologi jelas akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan organisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun