Mohon tunggu...
Syafiudin
Syafiudin Mohon Tunggu... Editor - Blogger Indonesia

Strukturpola

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Sujud untuk Jaksa

13 Desember 2018   15:45 Diperbarui: 13 Desember 2018   15:52 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wollohu a'lam bisshowab.." ucap Kiai Sadeli dalam menutup pengajian kitab kuning ba'da subuh di pagi itu. Namun, ada sedikit yang berbeda di pagi itu. Kiai Sadeli yang kesehariannya nampak berwibawa, dengan kopyah hitam yang selalu menjadi mahkota di kepalanya, entah kenapa pada penutupan pengajian pagi itu, beliau terlihat begitu gelisah, seakan ada suatu beban berat yang difikirkannya. Begitulah seorang Kiai, walaupun dengan keadaan hati sedang begitu hancur, namun tetaplah harus terlihat tegar saat memimpin suatu pengajian di hadapan para santrinya.

Pepatah  mengatakan'' Sepandai -pandainya orang menyimpan bangkai, maka akan tercium juga baunya'', demikian pula Kiai Sadeli. Sepandai apapun beliau menyimpan beban di dalam benaknya, namun akhirnya terkuak pula. Kegelisahan Kiai Sadeli yang beliau pendam sekian lama ternyata bermula pada kejadian dua bulan lalu. Kejadian itu menimpa salah satu seorang santri yang begitu beliau sayangi. Agus itulah seorang santri yang setiap hari selalu membayang-bayangi hati Kiai Sadeli, Agus adalah satu-satunya santri yang menjadi kebanggaan beliau. Saat ini, hanya sebuah do'a yang sanggup mewakili beliau untuk menyertai Agus. Karena sudah hampir tiga bulan seorang santri yang amat beliau sayangi itu mendekam di dalam sebuah penjara.

Meskipun beberapa media massa sudah mengabarkan bahwa Agus telah melakukan tindak pidana pencurian sebuah handphone di suatu jalan dan ditangkap oleh polisi, namun banyak orang yang tak percaya bahwa hal itu benar adanya. Agus adalah pemuda terpandang dikalangan desa dan pesantren, sulit untuk menerima hal semacam itu, jika teringat kepribadiannya  yang setiap harinya aktif kuliah dan mengajar di pesantren.

Semenjak kejadian itu, ibu Agus sering sakit-sakitan. Bapaknya yang hanya seorang buruh pabrik, hanya dapat menyisihkan beberapa uang untuk menghidupi seorang anaknya yang sedang berada dalam penjara. Begitupun Kiai Sadeli dan keluarga pesantren lainnya. Mereka sangat merasa bersalah dan merasa kehilangan seorang santri yang begitu mereka sayangi. Bahkan tak jarang Kiai Sadeli bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.

"Apakah itu benar dilakukan oleh santriku?"

"Apakah polisi itu tidak salah orang?"

Dua pertanyaan itu yang selalu hadir di hati Kiai Sadeli manakala beliau mengingat Agus. Beliau begitu yakin bahwa Agus tidak mungkin mencuri hak orang lain. Dihati Kiai Sadeli, Agus adalah pemuda yang menjaga betul kehalalan terhadap segala yang ia miliki. Namun semuanya sudah jelas terjadi, Kiai Sadeli hanya bisa berdo'a dan meyakinkan hati bahwa semua ini adalah ujian Tuhan kepada santrinya.

Tiga bulan berlalu. Kiai Sadeli belum sekalipun mendapatkan kesempatan untuk menjenguk seorang santrinya yang berada di dalam penjara, dua minggu yang lalu keluarga Agus datang ke pesantren memberi kabar bahwa Agus baik-baik saja, dan kasus Agus sudah hampir di sidangkan. Dengan kabar itu,setidaknya hati Kiai Sadeli dapat tenang, meskipun beliau setiap harinya masih terbayang oleh sosok Agus. Semenjak hari itu, Kiai Sadeli selalu mendo'akan Agus di sela do'a di berbagai acara yang dipimpinya.

"Kriiiing.."

"Kriiiiing.."

Terdengar suara handphone Kiai Sadeli yang selalu beliau letakkan di ruang tamu, tentu saja agar beliau tak tersibukkan oleh handphonenya.

'"Assalamualaikum..?"

"Waalaikum salam.."

"Siapa?"

"Pak, Alhamdulillah, saya sudah pulang pak, saya Agus."

" Alhamdulillah....."

''Bagaimana kabar kamu gus?

"Alhamdulillah pak, saya masih di selamaatkan oleh sama Gusti Allah, cukup sekian pak, jam 10 nanti saya pulang. Wassalamualaikum..."

"Waalaikum salam."

Mendengar suara santrinya dari telepon yang memberi kabar bahwa dirinya sudah bebas dari penjara, Kiai Sadeli segera menunaikan sujud syukur atas pertolongan tuhan terhadap santrinya tersebut. Tak berselang lama, Kiai Sadeli lansung memberi tahu kepada seluruh keluarga pondok pesantren mulai dari Bu Nyai,Mbah Nyai dan lain sebagainya. Dengan kabar gembira tersebut, akhirnya mereka memutuskan untuk esok hari segera mendatangi rumah Agus, sekaligus bersilaturrahmi kepada kedua orang tua Agus.

Sesampainya di depan rumah Agus, Kiai Sadeli yang terbiasa memakai sendal jepit, beliau lansung turun dari mobil mendahului keluarganya dan berjalan cepat menuju pintu rumah santri yang amat beliau sayangi itu, tentu saja karena kerinduan yang beliau rasakan berbulan-bulan yang lalu.

 Akhirnya tanpa mengucap salam, Kiai Sadeli lansung memanggil nama Agus di depan pintu rumahnya.

 "Gus?"

"Agus?"

"Agus?"

Tiga panggilan Kiai Sadeli rupanya belum juga terjawab, beliau berusaha menenangkan hatinya. Pintu rumah yang masih tertutup rapat, lantai yang kotor, ditambah sebuah gembok besar yang mengunci pintu rumah, membuat hati Kiai Sadeli bertanya-tanya. Bu Nyai beserta rombongan yang menemani beliaupun akhirnya bertanya kepada salah satu tetangga yang berdekatan dengan rumah Agus. Nampak seorang ibu tua yang sedang duduk diseberang jalan, rupanya ibu tua itu sudah mengamati kedatangan rombongan keluarga Kiai Sadeli sejak tadi, ibu tua itu seakan menyimpan suatu hal yang ingin untuk diungkapkan.  Bu Nyai pun memberanikan diri untuk bertanya kepada ibu tua itu.

"Bu.. Permisi.."

"Iya, ada perlu apa anda datang kemari?"

"Sebenarnya kami kesini ingin bersilaturrahmi ke rumah keluarga Agus. Tapi kami mendapati rumahnya tertutup rapat, apakah keluarga Agus sedang berpergian bu?" tanya Bu Nyai kepada ibu tua itu.

Ibu tua itu hanya terdiam, seakan ada suatu hal yang sengaja ingin dia tutupi, Namun ibu tua itu lantas berkata:

"Keluarga Agus sudah nggak disini bu."

Kiai Sadeli terkejut dan keheranan mendengar jawaban ibu tua itu. Padahal beberapa bulan yang lalu keluarga pesantren masih bersilaturrahmi disini.

"Lalu kemana Bu?" sahut Kiai Sadeli seketika itu.

"Saya nggak tahu pak, Lha wong rumahnya sudah di jual untuk membiayai kasus Agus."

"Maksud ibu?" tanya Kiai Sadeli keheranan.

"Rumahnya sudah kosong pak, soalnya sudah dijual."

"Dijual untuk apa bu?"

"Rumahnya di jual untuk nyuap jaksa di persidangan pak, jaksa Agus minta 80 juta dengan hukuman dibawah satu tahun. Karena orang tua Agus mengejar kelulusan kuliah Agus, jadi rumahnya dijual pak biar Agus bisa lekas keluar dari penjara dan lulus kuliah."

Jawab ibu tua itu.

Mendengar penjelasan dari ibu tua itu, Kiai Sadeli terkejut bukan main, seakan ada batu besar dari langit yang jatuh menimpanya. Beliau hanya terdiam dan berkata di dalam hatinya. "Ya Allah... Bukankah mereka juga hamba Mu?"

Padahal menurut pendapat beberapa ahli hukum yang sudah dikunjungi oleh Kiai Sadeli, mereka berpendapat bahwa kasus Agus adalah suatu kasus ringan, dengan hukuman 1 tahun penjara, dan bisa menjadi  3 bulan dengan pembelaan dari jaksa, tentunya pembelaan ini dengan uang. Tapi apakah harus sebanyak ini? ataukah ketidaktahuan orang tua Agus tentang hukum justru menjadi kesempatan jaksa untuk mendapatkan banyak uang ?

Siang itu, Kiai Sadeli beserta keluarganya tak mendapati alamat baru keluarga Agus, dengan perasaan sedih, Kiai Sadeli dan keluarganya kembali ke pesantren untuk melaksanakan tanggung jawabnya. Di tengah perjalanan pulang, Kiai Sadeli teringatkan sebuah wejangan dari gurunya dahulu, bahwa salah satu cobaan terberat seorang Kiai bukan bagaimana kau beribadah kepada tuhanmu, bukan bagaimana kau membela kebenaran agamamu, namun cobaan terberat bagi seorang Kiai adalah membiarkan dunia berlansung apa adanya. Karena wollohu a'lam bisshowab (tuhan lebih mengetahui segala yang samar). Mengingat wejangan itu, Kiai Sadeli menghela nafas dalam- dalam, beliau kuatkan hatinya untuk menerima takdir tuhan yang menimpa salah satu santrinya itu.

Malam itu, Kiai Sadeli beserta para santrinya berkumpul untuk melaksanakan sholat hajat berjama'ah  ditambah sebuah satu sujudan. Dan sakralnya, sebelum satu sujud itu dilaksanakan, Kiai Sadeli tiba-tiba berdiri dan berkata kepada para santri:

"Sujud kita ini, kita peruntukkan kepada para jaksa negeri ini, semoga Tuhan memberi mereka hidayah, sehingga mereka bisa sadar dan mengerti terhadap tanggung jawab besar mereka."

" Amin Ya Allah...." ucap para santri serentak menyambung do'a dari Kiai Sadeli.

Dengan hati yang benar-benar khidmat, ditambah suasana malam yang begitu hening, satu persatu dari mereka bersujud dan bersimpuh memohon kepada Tuhan agar seluruh Jaksa di negeri ini bisa jujur dan bertanggung jawab atas kuasa yang dimilikinya.

Akankah sujud Kiai Sadeli beserta para santrinya mampu membuat para jaksa di negeri ini benar-benar sadar akan tanggung jawab mereka di negeri ini?  

Sidoarjo, 13 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun