”Masih. Meski sekarang ruang geraknya makin terbatas. Tapi mereka banyak dan macam-macam. Namanya juga kelompok underground. Tertutup dan ketat. Sekali kamu masuk, susah untuk keluar. Harta dan nyawa total untuk kelompok ini.” Ia menjelaskan.
“Trus dapat dananya dari mana tu?” Saya benar-benar penasaran.
“Macam-macam,” suaranya tampak agak ragu menjelaskan lebih jauh.
“Ada kayak iuran dari anggota gitu?” Saya memancingnya.
“Ada yang disebut infaq. Yang wajib 2,5%. Kayak zakat gitu. Tapi ada juga yang rela kasih lebih. Hartanya total untuk kelompok.”
”Sampe segitunya ya..” Saya takjub dengan jawabannya terakhir.
“Eh aku kok jadi cerita ke kamu ya? Padahal gak boleh ya.” Tiba-tiba ia tampak menyadari kesilapannya. Mungkin juga disebabkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang terus saya ajukan.
”Eh jangan ditulis tentang ini ya.” Tampaknya ia mulai cemas.
“Ya buat sharing gak papa kan? Buat pembelajaran. Lagian aku gak akan detil ungkap narasumber tulisan-tulisanku...” Saya mencoba menenangkannya.
***
Underground. Kata ini mengingatkan saya pada sebuah film gila yang pernah dibuat Emir Kusturica. Sebuah film lawas yang berkisah tentang gerakan bawah tanah yang dilakukan sekelompok orang ditengah kejatuhan Yugoslavia dan faham komunisme dari serbuan tentara Nazi Jerman.