Juga pada kelompok anak-anak punk yang tak sepenuhnya saya mengerti polah hidup dan aliran musiknya. Kecuali rasa ngeri bila mereka sudah menyerbu bus kota yang saya tumpangi dengan penampilan dan bau menyengat yang membuat saya terkadang sesak nafas dan ingin muntah. Konon mereka melakukan gerakan perlawanan. Anti kemapanan dan membuat ruang bagi diri sendiri dari cengkraman kekuatan mainstream.
Saya suka membaca dan mendengar kisah-kisah perlawanan. Apalagi yang dilakukan oleh mereka yang tertindas. Kehidupan di dunia ini memang pahit dan penuh dengan ketidakadilan. Dan itu harus dilawan. Diperjuangkan. Tapi bila ia berubah menjadi gerakan ekstrem yang eksklusif, lalu apa makna dari perjuangan tersebut?
”Orang hidup kan punya tujuan yang ingin dicapai,” jawab laki-laki itu saat saya tanya bagaimana orang bisa menjadi demikian militan.
Sebuah pernyataan yang benar belaka. Tapi bagaimana mungkin tujuan hidup seseorang bisa menghalangi orang lain yang punya tujuan hidupnya sendiri yang mungkin berbeda?
Saya sering gemas mendengar dan menyaksikan aksi kelompok-kelompok garis keras yang seringkali konyol dan selalu merasa benar sendiri.
Saya kadang juga merasa takjub sekaligus kasihan pada militansi kelompok-kelompok agama dalam perjuangan mereka yang katanya demi menegakkan amar makruf dan nahi munkar itu. Tidakkah mereka merasa capek dan lelah karena hari-harinya terus disibukkan dengan membuat daftar mencari-cari kesalahan dan dosa orang lain? Belum lagi ancaman bumi hangus yang sering mereka teriakkan terhadap orang-orang di luar lingkungan mereka dan harapan kavling syurga yang kelak mereka tempati atas ganjaran perjuangan mereka.
Bagaimana bila ternyata syurga yang mereka impi-impikan itu (dan neraka) ternyata merupakan fatamorgana dan fiksi belaka?
Katakanlah syurga yang dijanjikan itu benar adanya dan perjuangan kelompok-kelompok ini berhasil membentuk umat manusia yang sehaluan dengan mereka, akankah syurga masih bisa dinikmati untuk hidup santai dan berleha-leha?
(Saya membayangkan ia tidak lagi menjadi tempat yang nyaman karena telah penuh sesak dengan manusia-manusia yang telah insyaf dan beriman secara kaffah itu. Persis seperti tempat-tempat hiburan dan liburan yang sesak pengunjung di masa-masa peak season)
Jadi kenapa terus ngotot untuk memaksakan orang lain agar sehaluan dengan mereka?
Tidakkah lebih assoy dan enjoy hidup dalam keragaman? Sebagaimana para (bapak dan ibu) pendiri bangsa telah dengan cerdas rumuskan dalam semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika”? (yang sayangnya justru dengan sangat memikat digaungkan kembali oleh Presiden naturalisasi Indonesia-Amerika Barrack Obama :p)