“Aku suka tulisan-tulisan kamu,” suara laki-laki membuka percakapan jarak jauh dengan saya suatu malam sementara saya tengah membunuh malam dengan berbagai aktifitas agar bisa tidur.
“Oh ya?” Saya meresponnya dengan senang. Meski tak terlalu terkejut. Saya telah melakukan analisis SWOT atas diri saya sendiri. Saya tau kelebihan, kelemahan, dan potensi yang ada pada diri saya. Beberapa tulisan menjadi favorit saya, meski banyak juga yang bila saya baca ulang membikin malu diri saya sendiri.
”Aku mau jadi fan kamu.” Dia melanjutkan.
Percayalah. Dia bukan laki-laki pertama dengan kalimat terakhir itu.
”Tapi aku gak tau profil penggemarku ini.” Balas saya sambil membuka-buka laman profil laki-laki yang rela menghabiskan pulsa buat saya malam itu. Identitasnya tak begitu jelas. Di jejaring sosial dunia maya yang sangat tenar ini orang bisa bikin akun dengan beragam identitas dan tujuan. Menjual barang dan diri.
”Memang sengaja. Ada yang harus aku sembunyikan.”
”Oh.. penggemar misterius ya?” Saya menggodanya. Berfikir ia sengaja menyembunyikan identitasnya demi rasa aman terhadap rasa curiga pasangannya.
Saya kenal betul perilaku ini. Sebagai anggota klub ”high quality single” saya biasa dicemburui para pasangan. Cemburu dengan kebebasan saya. Cemburu bila pasangan mereka berakrab-akrab dengan saya.
Kami terus ngobrol. Hal remeh temeh menyangkut aktifitas sehari-hari sampai topik yang berat dan serius mengenai kondisi bangsa ini.
”Menurut kamu gimana tu revolusi Iran?” Ia bertanya saat saya mengeluh tentang kemuakan saya pada prilaku para elit politik sementara tak ada perubahan yang berarti yang terjadi pada negeri ini.
”Ah aku tak tertarik pada perubahan dengan membawa-bawa ideologi agama. Malah repot. Apalagi kalau sudah masuk halal haram.” Saya menjawab sinis.