***
Saya pusing. Mudah sekali laki-laki memutuskan untuk mengawini perempuan lebih dari seorang. Dengan beragam alasan. Dengan beragam kapasitas dan profesi yang mereka miliki. Tak perlu sekaliber Hamzah Haz yang biaya hidupnya sempat difasilitasi negara untuk punya istri banyak. Saya juga teringat pada tetangga saya yang supir cabutan atau pedagang kambing musiman yang biasanya kelimpahan rezeki hanya pada Hari Raya Kurban. Mereka pun ternyata beristri dua.
“Nakal ya saya mbak?” Ia tampak memahami kepusingan saya.
”Dulu lebih lagi. Namanya anak kolong. Saya kan tinggal di Halim. Sekarang mah udah mulai sadar.”
Saya tertawa saja. Mencoba tak menghakimi.
“Emang gaji berapa?” Saya mencoba merasionalisasi.
“Ya kalo ini ma kecil mbak. Sebulan 400 (ribu).”
”Terus kerja lain?”
”Kalo malem saya masih jadi timer. Itu gede, Mbak. Seratus ribu setengah jam juga bisa kalo mau. Tapi itu uang panas, Mbak. Saya gak kasih buat kluarga. Bisa kualat disumpahin supir-supir nanti. Mereka rata-rata kan gak rela ngasih uang itu. Buat senang-senang aja.Yang 400 ribu itu aja buat istri. Dibagi dua.”
”400 ribu itu bersih?”
”Bersih. Sehari saya dikasih transport 50 ribu. Kalo rame bisa 150 ribu. Tapi itu buat saya aja lho. Yang lain paling 20-30 ribu. Saya sama bos mah udah begini mbak,” ia mengaitkan dua telunjuk pada jari kanan dan kirinya.