”Sekarang dia dah enak. Tinggal di Jerman. Dapet istri orang sono...”
Saya hanya diam mendengarkan.
Awan masih muram. Hujan masih deras mengucur. Kami masih ngobrol tak tentu arah. Menanyakan asal usul, tempat tinggal, sampai...
”Saya juga dulu sempet jadi timer di perempatan Jalan Baru,” potongnya saat saya katakan bahwa saya tinggal di Kampung Rambutan. Jalan Baru merujuk pada jalan dekat Terminal Kampung Rambutan tempat bus dan angkutan dalam dan luar kota hilir mudik masuk.
“Saya dulu nakal, Mbak. Sekarang mah dah mendingan. Ada keluarga soalnya.. ” Ia terus bercerita.
”Istri saya dua lho, Mbak...”
Saya terkesiap. Kalau saja kalimat terakhir itu diucap oleh seorang pengusaha muda yang sukses mungkin saya tak bereaksi apapun. Paling hanya akan mengumpat dalam hati, ”Dasar laki-laki!”
Tapi kalimat itu baru saja keluar dengan entengnya dari mulut seorang penjaga toko dengan penampilan yang sama sekali tak meyakinkan.
Awalnya saya malah menyangka ia masih membujang. Usianya sempat saya kira tak beda jauh dengan saya. Dengan rambut sedikit gondrong, kulit agak gelap, tubuh yang jauh dapat dikatakan sebagai atletis, dan seragam batik yang dikenakannya, ia pantas berlaku sebagai pemuda yang baru menetap di Jakarta dari suatu daerah dipelosok Jawa sana.
”Kuat ya Bang punya istri dua?” tanya saya heran mengacu pada penghasilannya yang paling tak seberapa.
”Ya pintar-pintar ngebagilah...”