Proses rasionalisasi yang dia amati kini terlihat dalam digitalisasi sistem hukum dan birokrasi, yang meningkatkan efisiensi namun juga menimbulkan tantangan baru dalam hal akses dan keadilan.Â
Disisi lain, pandangan Hart mengenai hukum sebagai sistem yang saling berkaitan dan kritik terhadap positivisme klasik penting untuk dipertimbangkan, terutama saat mengatasi isu moral dan etika dalam hukum modern. Hubungan antara hukum dan moralitas yang diajukan Hart mengingatkan kita bahwa hukum harus mencerminkan keadilan sosial, bahkan ketika keduanya tidak selalu sejalan.Â
Dalam konteks ini, pemikiran keduanya mengajak kita untuk mempertimbangkan bagaimana hukum dapat beradaptasi dengan dinamika sosial yang terus berubah, serta pentingnya memahami konteks budaya dalam penerapan hukum.
Pemikiran Mark Weber dan HLA Hart untuk menganalisis perkembangan hukum di Indonesia!
Dari sudut pandang Weber, tindakan sosial menjadi penting dalam menganalisis bagaimana masyarakat Indonesia berinteraksi dengan hukum. Tindakan sosial yang beragam, baik yang bersifat rasional, afektif, maupun tradisional, memengaruhi penerimaan dan penerapan hukum di berbagai lapisan masyarakat.Â
Misalnya, hukum adat yang masih kuat di beberapa daerah menunjukkan bahwa tindakan tradisional tetap berperan dalam struktur hukum nasional.Â
Proses rasionalisasi yang diamati Weber juga tampak dalam upaya reformasi hukum di Indonesia, di mana sistem hukum berusaha beralih dari praktik tradisional menuju pendekatan yang lebih sistematis dan formal. Namun, tantangan muncul ketika rasionalisasi ini bertemu dengan nilai-nilai lokal yang masih sangat kental.
Sementara itu, pemikiran Hart tentang hukum sebagai sistem yang saling berkaitan sangat relevan dalam konteks hukum Indonesia yang kompleks. Hukum di Indonesia tidak hanya terdiri dari peraturan perundang-undangan, tetapi juga mencakup norma-norma sosial, etika, dan moralitas yang beragam.Â
Kritik Hart terhadap positivisme klasik juga penting untuk menganalisis bagaimana hukum di Indonesia sering kali tidak mencerminkan moralitas masyarakat, terutama dalam kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa hukum harus dipahami tidak hanya sebagai alat untuk mengatur perilaku, tetapi juga sebagai refleksi nilai-nilai sosial yang ada.
Legitimasi kekuasaan yang diungkapkan Weber juga dapat digunakan untuk menganalisis penerimaan masyarakat terhadap hukum yang diberlakukan. Di Indonesia, legitimasi ini seringkali tergantung pada seberapa jauh hukum dianggap adil dan sesuai dengan nilai-nilai masyarakat.Â
Dalam konteks ini, penting untuk mempertimbangkan bagaimana hukum dapat beradaptasi dan merespons tuntutan masyarakat, sehingga tidak hanya bersifat top-down, tetapi juga dapat mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H