Mohon tunggu...
Khoiru Syafaatin Noviana
Khoiru Syafaatin Noviana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Bismillahirrahmanirrahim...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harapan dari Kolong Jembatan

24 Oktober 2022   14:47 Diperbarui: 24 Oktober 2022   15:08 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara mesin-mesin kendaraan berlalu lalang, meski matahari belum sepenuhnya menampakkan kehadirannya. Riuh rendah kehidupan di sebuh kota besar mulai dimulai, meski gelap masih menyelimuti, dan bintang masih enggan pergi. 

Pun disebuah gubuk kecil di salah satu sudut kolong jembatan di kota itu, gubuk yang hanya terbuat dari tumpukan kardus bekas, tanpa atap karena sudah otomatis beratap beton-beton besar penyangga ribuan kendaraan yang hilir mudik berseliweran. Mungkin dari permukaan hanya terlihat seperti jembatan biasa, tapi disitulah kehidupan beberapa keluarga dipertaruhkan. 

Tepat ketika matahari menyempurnakan kehadirannya, suasana gubuk itu mulai ramai dengan tangisan bayi dan teriakan seorang ibu yang masih tampak muda  memanggil-manggil anaknya, bercampur dengan deru mesin-mesin kendaraan kota.

"Aryaa, ayo keluar jaga adikmu!!!" teriak ibu itu, sementara dalam gendongannya sesosok bayi perempuan yang belum genap berusia satu tahun menangis, menumpahkan semua keinginannya dalam tangisan.

"Iya, Bu!" jawab sesosok laki-laki belasan tahun yang berjalan menuju ke arah ibu itu.

Kemudian, bayi perempuan itu diambil alih oleh anak laki-laki yang dipanggil "Arya" itu. Perlahan, ditatapnya penuh kasih adik semata wayangnya, kemudian ia berusaha menghiburnya dengan menirukan berbagai macam suara hewan yang beberapa saat kemudian berhasil menghentikan tangisannya.

Sementara ibu itu pergi ke dapur untuk menyelesaikan urusan yang sudah sejak dini hari ditekuninya. Memasak berbagai macam jajanan pasar, itulah rutinitas setiap paginya untuk kemudian dijajakan ke pasar ataupun ke sekeliling kompleks terdekat, dengan berjalan kaki tentunya.

Akan tetapi, semenjak adanya kerusuhan yang disebabkan virus yang mematikan itu, jualannya semakin hari semakin sepi dan begitu juga pendapatannya yang semakin menurun serta beberapa kebijakan dari pemerintah yang membatasi ruang geraknya. Hal ini tidak serta merta menyurutkan langkahnya untuk mengumpulkan asa dan merajut masa depan kedua anaknya. Meski ia harus hidup sendiri setelah sebulan lalu suami yang menjadi pondasi keluarganya menutup lembaran kehidupannya dengan gejala yang katanya berasal dari virus mematikan yang sedang mewabah itu, tapi ia tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Dan di gubuk kecil di sudut kolong jembatan kota inilah ia membangun keluarga kecil bersama kedua anaknya, setelah sebelumnya rumah mereka diambil paksa oleh rentenir yang mengaku bahwa sang suami memiliki hutang pada rentenir itu. Dan ia hanya pasrah ketika rentenir dan anak buahnya mengobrak-abrik isi rumahnya dan mengeluarkan barang-barangnya. Memang, kehidupan di kota tak seindah angannya dulu ketika memutuskan pindah dari desa. Pada akhirnya ia memutuskan membangun gubuk kecil itu karena uang peninggalan suaminya hanya tinggal hitungan hari untuk menghabiskannya itupun hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok saja.

" Arya, bantu ibu membungkus kue-kue ini!" teriak ibu itu setelah selesai membereskan peralatan memasaknya.

Kemudian, anak laki-lakinya itupun datang dengan menggendong adik perempuannya yang sedang memegang boneka Jerami dan memainkannya.

"Ini dititipkan ke warung-warung lagi, Bu??"

"Iya, sebagian. Tapi sebagian lagi ibu berjualan keliling."

"Tidak apa-apa, Bu? Takutnya ntar ada polisi yang patroli kaya minggu lalu."

"Tidak, sekarang kayaknya udah nggak seketat minggu lalu."

"Kalau begitu Arya juga mau ngasong lagi ya, Bu?"

Mendengar perkataan anak laki-lakinya, ibu itu terhentak dan menghentikan pekerjannya. Wajahnya berubah, raut kesedihan mulai tampak dari wajahnya. Menyadari hal itu, sang anak pun mulai mengalihkan topik pembicaraan.

"Bu, kemarin bu RT bilang kue lumpur yang baru ibu buat itu enak, besok-besok bisa ditambah lagi buatnya," kata anak itu sambil menelan ludahnya dan mencoba tersenyum.

"Maafkan ibu ya, Nak. Ibu belum bisa membelikanmu HP untuk sekolah online." Perlahan ibu itu menatap putranya.

Sang anak yang menyadari keadaan itu, berusaha menegarkan dirinya, dicobanya untuk mengulum senyum meskipun dalam hatinya kerinduan untuk belajar semakin menjadi-jadi. Setidaknya ia masih bisa menunggu sampai pandemi ini selesai dan sekolah di buka kembali, meskipun ia harus tertinggal jauh dari teman-temannya, tapi ia tak akan sanggup melihat ibunya sedih apalagi selalu merasa bersalah atas keadaan yang menimpanya.

"Tidak apa-apa, Bu. Arya masih bisa belajar kok, ntar kalau pandeminya udah selesai juga Arya bisa melanjutkan sekolah, Arya kan anak pandai," ucap anak itu berusaha menenangkan ibunya.

"Terima kasih, Nak. Semoga kelak kamu bisa mencapai cita-citamu."

"Aamiin, terima kasih, Bu."

Ibu itu mengelus kepala putranya kemudian melanjutkan pekerjaannya.

"Oiya, ntar biar Arya aja yang nganterin ke warung-warung."

"Iya, Nak. Tapi warungnya bu Yani kamu lewatin aja, soalnya kemarin ibu denger keluarganya ada yang terpapar virus itu."

"Siap, Bu."

Setelah semua siap, ibu itu mulai melangkahkan kakinya tuk menjajakan jualannya. Sedangkan kedua anaknya ia tinggal di gubuk kecil mereka. Perlahan ia memasuki kompleks-kompleks di sekitar tempat tinggalnya.

"Kue-kue, jajanan pasanya, Buuuuuuu. Ada kue lumpur, cucur, ondhe-ondhe. Masih hangat, Buuuuuu."

Berulangkali ia teriakkan kalimat itu sambil kakinya terus melangkah  menapaki jalanan kompleks yang beberapa rumahnya tertutup rapat dengan tulisan "Isoman" di depannya. Ada juga gang yang ditutup karena banyak dari warganya yang terpapar virus itu.

Matahari tepat dipuncaknya, ketika sayup-sayup suara azan terdengar dari tempatnya berdiri. Ia berhenti sejenak, berteduh, dan meletakkan dagangannya yang beratnya tak banyak berkurang. Ia pandangi jajanan pasar buatannya yang sudah tak hangat lagi, ia menghela napas. Matanya nanar melihat dagangannya yang hanya berkurang beberapa. Sejenak ia memikirkan anak-anaknya dan harapannya beserta mendiang suaminya ketika memutuskan untuk membangun rumah tangga.

"Dek, nanti pengen punya anak laki-laki atau perempuan?"

"Terserah Yang Kuasa saja, Mas. Yang penting sehat."

"Mas pengen anak-anak kita menjadi anak-anak sukses kelak, mas akan berusaha keras menyekolahkan anak-anak kita sampai sarjana!" kata laki-laki itu dengan senyum dan pandangan mata ke depan penuh harapan.

"Aamiin, Mas. Nggak apa-apa kalau nanti kita hidup sederhana dan adek harus ikut bekerja, yang penting anak-anak kita bisa sekolah," kata perempuan di sebelahnya sembari menggenggam tangannya.

"Adek nggak usah bekerja, biar mas aja yang bekerja, adek di rumah saja mengurus anak-anak."

Perempuan itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, tergambar kebahagiaan dari sorot matanya.

Dan sorot mata itu kini berubah, sorot mata penuh kesedihan dan rasa bersalah, karena harapan separuh hantinya belum bisa ia perjuangkan. Tak terasa butiran bening mulai keluar dari kelopak matanya bersamaan dengan cucuran keringat yang daritadi membasahi dahinya.

"Buuuk, aku laper." Tiba-tiba terdengar rengekan dari belakang. Perempuan itu menoleh, dilihatnya seorang perempuan dengan baju lusuh sedang menggandeng anak perempuan yang merengek sambil sambil memegang perutnya sedang tangan yang satunya lagi sebuah tongkat ia pegang yag ia gunakan untuk membantunya menapaki jalan yang hanya terlihat gelap di matanya.

"Iya, Nak. Tunggu bapakmu pulang ya, nanti dibawakan makanan." Kata perempuan itu.

Perempuan itupun mendekati ibu dan anak itu, perlahan ditanyainya ibu itu dengan halus.

"Permisi, Bu. Mohon maaf kalau boleh saya tahu, bapaknya anak-anak ini kemana ya, Bu?"

Ibu itu terdiam sejenak, sedangkan sang anak semakin keras rengekannya. Kemudian ibu itupun menunduk dan mulai berbicara.

"Bapaknya kecelakaan, Mbak, sudah tiada. Tapi bagaimana lagi, saya sudah tidak punya uang, dan kondisi saya seperti ini."

Perempuan itu tersentak, Ternyata ada yang nasibnya lebih kurang beruntung daripada dirinya.

"Lalu, ibu tinggal dimana?" tanya perempuan itu kemudian.

"Dimana-mana, mbak. Kadang di emperan toko, kadang di bangku taman." Jawab ibu itu dengan senyum kecut.

Perempuan itu diam sejenak, sedangkan anak perempuan itu semakin bertambah kencang rengekannya membuat ibu itu berusaha keras untuk menenangkannya. Sesaat kemudian, ibu itu berjalan menuju tempat ia meletakkan dagangannya, diambilnya sebuah kantong plastik dan dimasukkannya beberapa jajanan pasar ke dalam kantong plastik itu, kemudian ia kembali menuju ibu itu dan menyerahkan kantong plastik itu.

"Terima kasih banyak, Mbak," kata ibu itu sembari menerima kantong plastik dari perempuan itu.

Perempuan itu tersenyum, kemudian terdiam sejenak.

"Bu, kalau besok-besok ibu butuh makanan lagi, ibu duduk di bangku ini saja, inshaAllah saya setiap hari lewat sini."

Ibu itu terkejut dan sangat berterima kasih kepada Tuhan, ternyata masih ada orang baik yang mau mambentunya pada masa pandemi seperti ini.

"Kalau begitu saya pergi dulu ya, Bu."

Perempuan itu kemudian beranjak pergi meninggalkan ibu dan anak itu. Mengangkat kembali dagangannya dan mulai bekeliling lagi dengan meneriakkan kalimat yang sama. Ia bersyukur kepada Tuhan, ternyata masih banyak anugrah yang Dia berikan kepadanya dan anak-anaknya. Masih banyak pula orang-orang yang ternyata mempunyai nasib yang tidak lebih baik baik dari dirinya apalagi di masa sekarang ini. 

Ia tersenyum sejenak dan kemudian bertekad untuk semakin semangat bekerja dan selalu bersyukur atas pemberian Tuhan kepada dirinya dan keluarga kecilnya serta harapan untuk kehidupan masa depan yang semakin baik lagi.

============================

Sekian cerpen kali ini 

Semoga bermanfaat...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun