"Aamiin, terima kasih, Bu."
Ibu itu mengelus kepala putranya kemudian melanjutkan pekerjaannya.
"Oiya, ntar biar Arya aja yang nganterin ke warung-warung."
"Iya, Nak. Tapi warungnya bu Yani kamu lewatin aja, soalnya kemarin ibu denger keluarganya ada yang terpapar virus itu."
"Siap, Bu."
Setelah semua siap, ibu itu mulai melangkahkan kakinya tuk menjajakan jualannya. Sedangkan kedua anaknya ia tinggal di gubuk kecil mereka. Perlahan ia memasuki kompleks-kompleks di sekitar tempat tinggalnya.
"Kue-kue, jajanan pasanya, Buuuuuuu. Ada kue lumpur, cucur, ondhe-ondhe. Masih hangat, Buuuuuu."
Berulangkali ia teriakkan kalimat itu sambil kakinya terus melangkah  menapaki jalanan kompleks yang beberapa rumahnya tertutup rapat dengan tulisan "Isoman" di depannya. Ada juga gang yang ditutup karena banyak dari warganya yang terpapar virus itu.
Matahari tepat dipuncaknya, ketika sayup-sayup suara azan terdengar dari tempatnya berdiri. Ia berhenti sejenak, berteduh, dan meletakkan dagangannya yang beratnya tak banyak berkurang. Ia pandangi jajanan pasar buatannya yang sudah tak hangat lagi, ia menghela napas. Matanya nanar melihat dagangannya yang hanya berkurang beberapa. Sejenak ia memikirkan anak-anaknya dan harapannya beserta mendiang suaminya ketika memutuskan untuk membangun rumah tangga.
"Dek, nanti pengen punya anak laki-laki atau perempuan?"
"Terserah Yang Kuasa saja, Mas. Yang penting sehat."