"Mas pengen anak-anak kita menjadi anak-anak sukses kelak, mas akan berusaha keras menyekolahkan anak-anak kita sampai sarjana!" kata laki-laki itu dengan senyum dan pandangan mata ke depan penuh harapan.
"Aamiin, Mas. Nggak apa-apa kalau nanti kita hidup sederhana dan adek harus ikut bekerja, yang penting anak-anak kita bisa sekolah," kata perempuan di sebelahnya sembari menggenggam tangannya.
"Adek nggak usah bekerja, biar mas aja yang bekerja, adek di rumah saja mengurus anak-anak."
Perempuan itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya, tergambar kebahagiaan dari sorot matanya.
Dan sorot mata itu kini berubah, sorot mata penuh kesedihan dan rasa bersalah, karena harapan separuh hantinya belum bisa ia perjuangkan. Tak terasa butiran bening mulai keluar dari kelopak matanya bersamaan dengan cucuran keringat yang daritadi membasahi dahinya.
"Buuuk, aku laper." Tiba-tiba terdengar rengekan dari belakang. Perempuan itu menoleh, dilihatnya seorang perempuan dengan baju lusuh sedang menggandeng anak perempuan yang merengek sambil sambil memegang perutnya sedang tangan yang satunya lagi sebuah tongkat ia pegang yag ia gunakan untuk membantunya menapaki jalan yang hanya terlihat gelap di matanya.
"Iya, Nak. Tunggu bapakmu pulang ya, nanti dibawakan makanan." Kata perempuan itu.
Perempuan itupun mendekati ibu dan anak itu, perlahan ditanyainya ibu itu dengan halus.
"Permisi, Bu. Mohon maaf kalau boleh saya tahu, bapaknya anak-anak ini kemana ya, Bu?"
Ibu itu terdiam sejenak, sedangkan sang anak semakin keras rengekannya. Kemudian ibu itupun menunduk dan mulai berbicara.
"Bapaknya kecelakaan, Mbak, sudah tiada. Tapi bagaimana lagi, saya sudah tidak punya uang, dan kondisi saya seperti ini."