Mohon tunggu...
Khoiru Syafaatin Noviana
Khoiru Syafaatin Noviana Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Bismillahirrahmanirrahim...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Shirath

24 Oktober 2022   10:14 Diperbarui: 24 Oktober 2022   10:56 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah taksi berhenti tepat di tempat parkir sebuah universitas negeri yang cukup terkenal di kota itu. Beberapa saat kemudian, tampak seseorang yang turun dari taksi tersebut. Seseorang dengan jilbab merah maroon yang menutupi kepalanya dan gamis merah muda yang menjuntai sampai telapak kakinya, tak lupa dengan tas selempang di bahunya. Beberapa saat ia terdiam setelah keluar dari taksi itu, melihat ke sekelilingnya, dan mencari-cari seseorang yang menjadi tujuan kedatangannya, bahkan ia tak menyadari bahwa taksi yang ditumpanginya sudah pergi begitu saja. Sampai ada sesosok yang melambaikan tangan kepadanya dengan senyum lebar tuk menyambut kedatangannya. Ia tertegun sejenak melihat sesosok yang sudah tampak jelas semakin mendekatinya, ada yang aneh. Sampai sesosok itu tepat di depan matanya.

"Rum!!" panggil sosok itu.

Kini ia memperhatikan betul-betul sosok yang sedang tersenyum di depannya, pandangannya antara ragu dan tidak percaya. Sampai sebuah kalimat keluar dari mulutnya, tanpa disadarinya,

"Kimya, kamu kenapa?"

--

"Aku akan ke Amerika, Kimya."

"Benarkah, Rum?? Kamu mendapatkan beasiswa itu?" tanya Kimya dengan melebarkan matanya, antara senang dan tidak percaya.

"Alhamdulillah, Allah swt. mengizinkanku sekolah di sana," jawab Rum dengan senyum mengembang di bibirnya.

"Yeeey, doa kita terkabul, Rum, kamu bisa sekolah di Amerika dan aku bisa mewujudkan mimpiku menjadi dokter," seru Kimya hampir berteriak karena terlalu senang mendengar kabar yang telah lama dinantinya.

"Sssssttt, kecilkan suaramu, Kimya," perintah Rum sembari menengok sekitar, melihat apakah ada yang terbangun mendengar suara mereka atau tidak.

Jam menunjukkan pukul satu dini hari, suasana teramat sepi, hanya terdengar suara mereka berdua dan beberapa hewan malam yang sedang melangsungkan aktivitasnya, mungkin hanya mereka berdua yang masih terbangun pada saat ini, ketika hampir semua santriwati sudah merebahkan tubuhnya, membawa jiwanya untuk melayang diantara berbagai mimpi kehidupan.

"Hehehe, maaf, aku terlalu senang mendengar kabar ini, Rum. Aku terharu, Allah swt. sangat baik kepada kita," ucap Kimya lirih dengan mata berkaca-kaca.

"Tapi, sebagaimana ada kesulitan sesudah kemudahan, ada pula sebaliknya. Di sisi yang lain, kita harus berpisah, Kimya."

Kimya menyadari arah pembicaraan Rum, dan mulai menundukkan pandangannya.

"Berjanjilah, Rum. Kamu tak akan pernah melupakan aku."

Rum mengulum senyumnya, menegarkan hatinya, kemudian merangkul sahabatnya, "Bahkan meskipun aku harus pergi selama bertahun-tahun dengan jarak ratusan pulau, inshaAllah kamu akan selalu aku ingat, Kimya dan juga pesantren ini yang telah mempertemukan kita.

Rum diam sejenak, sedangkan Kimya hanya menundukkan pandangnnya mengingat berbagai macam memori yang telah mereka lewati, bagaimana memori-memori itu terangkai dan membawa mereka sampai ke titik ini. Kemudian Rum melepaskan rangkulannya, dan Kimya mulai mengangkat wajahnya.

"Ingat, Kimya. Sejauh apapun kita pergi, jangan lupa tempat kembali, dan...."

"Jangan lupakan hatimu, eh hati kita deh," sambung Kimya tiba-tiba, seketika pandangan mereka beradu dan tawa mulai menghiasi wajah keduanya.

"Siiiip, pokoknya jangan pernah berubah, jadilah Kimya seperti yang aku kenal sekarang, okee?"

"Siap boskuuuh, kamu juga yaa."

"Tentu, dong. Pokoknya Kimya tak akan terlupakan, apalagi fisika, eh, hahahah,"

"Ssssst, jangan berisik tuan putri."

"Oiya deh hihihi."

Kimya menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya itu.

--

"Hei, Rum, kenapa malah bengong?"

"I, iya, kita mau kemana?" tanya Rum sembari menelan ludahnya.

"Ehm kamu udah makan belum? Kita cari tempat makan aja yuk?"

Rum agak terkejut mendengar perkataan sahabatnya itu, kemudian dengan perlahan ia menjawabnya,

"Sorry Kimya, aku sedang puasa,"

"Ealah, maaf deh kalau gitu, terus kemana dong?"

"Kita ke taman atau tempat-tempat yang nyaman buat berbincang aja."

"Okedeh, pasti banyak kan yang mau diceritakan ke aku, heheh, yuk."

Kemudian Kimya menggandeng tangan Rum dan meninggalkan tempat parkir itu. Di sisi lain, Rum masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan bertekad akan segera menanyakannya kepada Kimya, tentu dengan hati-hati agar tak melukai perasaan sahabatnya itu.

--

"Rum, kalau sudah lulus nanti kamu mau melanjutkan kemana?" tanya Kimya tiba-tiba sembari berusaha menjejeri langkahnya.

"Kamu apaan sih, orang kita baru tahun pertama juga," jawab Rum sembari berpura-pura memicingkan matanya ,"Belajar dulu tuh yang bener," sambungnya.

"Yeileh, kan kita harus mempersiapkan semuanya dari awal dong, daripada nanti pas mepet baru dipikirkan, inget kata-kata pak Hadi tadi."

"Iya,iya. Emang kamu mau kemana?"

"Ehmm, aku berharap, kelak aku bisa menjadi dokter agar bisa menyelamatkan banyak orang," kata Kimya sembari menatap jauh ke depan, seakan ia dapat melihat mimpinya menjadi kenyataan, tapi tiba-tiba, "Eh!!"

Rum menarik tangan Kimya yang tidak menyadari ada sepeda motor yang melaju kencang ke arah mereka berdua.

"Selamatkan diri kamu dulu tuh,"

"Heheh, makasih, Rum. Aku terlalu bersemangat tadi sampai tidak memperhatikan jalan, hahahah."

"Ini anak mau tertabrak motor malah tertawa," kata Rum sembari mencubit tangan Kimya, dan kemudian Rum ikut tertawa melihat tingkah sahabatnya itu

"Lah kamu mau kemana, Rum?" sambung Kimya setelah mengakhiri tawanya.

"Ehhhm aku berharap bisa melanjutkan ke luar negeri."

Sontak Kimya membulatkan matanya, "Benarkah?? Kamu keren, Rum"

"Itu rencanaku, tidak tau rencana Allah swt seperti apa."

"Tenanglah, Allah swt. akan membantu hamba-Nya yang berusaha."

"Aamiin, yang penting kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapainya, Kimya."

"Pokoknya semangat deh buat kita," kata Kimya sembari mengepalkan tangannya.

"Dan jangan lupa, ada ikhtiyar, ada tawakkal. Ada usaha tapi juga harus diimbangi dengan doa,"

"Tentunya dong, Ustadzah." Dan lagi, Rum mencubit tangan Kimya.

"Eh tak doakan kok malah dicubit," kata Kimya merajuk.

"Aamiin deh, tapi harus inget ya, kata-kata ustadzah kemarin, sejauh apapun diri kita, jiwa kita pergi jangan sampai melupakan tempat kembali dan juga hati kita,"

"Yap, pastinya dong, makanya harus pandai-pandai pilih jalan. Apalagi kamu yang mau pergi ke luar negeri," goda Kimya.

"Aamiin, inshaAllah, semoga Allah swt selalu meluruskan jalan kita, apalagi kalau kita sudah tidak di pesantren dan terjun ke dunia luar."

"Aamiin."

--

"Kamu gimana kuliahnya?" kata Kimya memulai pembicaraan.

"Alhamdulillah, bulan kemarin sudah wisuda, kamu?"

"Aku juga lancar-lancar aja, tahun depan tinggal co-ass,"

"Alhamdulillah kalau begitu."

Rum terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan apa yang sejak awal mengganjal di hatinya.

"Kimya, bolehkah aku bertanya sesuatu?"

"Tentu dong, apa sih yang tidak buat sahabatku?" goda Kimya.

"Maaf sebelumnya ya, tapi sejak kapan kamu melepas kerudungmu?"

Mendengar pertanyaan Rum, dengan tenang Kimya menjawab,"Owalah itu toh, ehm sejak kapan ya? Mungkin tahun kedua kuliah."

"Kenapa?" Tanpa basa-basi Rum langsung memburunya.

"Ehm gimana ya jelasinnya. Menurutku pakai kerudung itu nggak terlalu penting sih, apalagi aku sekarang tinggal di kota besar, panas dan nggak fashionable banget, dan aku juga lebih nyaman dan leluasa kalau nggak pake kerudung, heheh kamu kaget ya?"

Mendengar alasan Kimya, Rum mearasa kecewa, "Tapi pakai jilbab itu kan kewajiban, bukan pilihan?"

"Kamu nggak usah khawatir, Rum. Aku tahu kok jalanku, yang penting kan imanku tetap."

"Justru dengan kamu melepaskan hijab, menunjukkan bahwa imanmu sudah berkurang, Kimya."

Kimya tertegun mendengar perkataan sahabatnya itu sambil memikirkan alasan lain untuk menjawabnya.

"Yang penting aku juga nggak pindah agama kan? Dan tetap melakukan kewajibanku seperti sholat dan lainnya, dan inshaAllah aku akan memakai hijab lagi nanti kalau sudah siap, kalau sekarang terlalu sulit, Rum."

"Hijab itu kewajiban agama kita, Sahabatku. Identitas seorang Muslimah, dan kita adalah seorang muslimah. Selain itu, siapa yang menjamin hidup kita bisa bertahan sampai kita siap?" Pandangan mata Rum tepat beradu dengan mata Kimya, "Dan kalau kita memiliki tekad yang kuat untuk behijab dengan niat yang benar, inshaAllah akan selalu ditolong dan dimudahkan oleh Allah swt." sambung Rum.

Kali ini Kimya tak bisa menjawab apa-apa lagi. Memori masa lalu mulai memasuki pikirannya, ingatannya kembali pada saat-saat bersama Rum di pondok, tak terasa butiran bening mulai membasahi matanya.

"Maafkan aku, Rum, aku salah. Aku terlalu terobsesi mengejar dunia, menggapai cita-citaku sampai lupa akan tempat kembaliku."

Perlahan, Kimya menundukkan pandangannya, perasaan bersalah dan malu mulai menyelimuti pikirannya.

"Minta ampunanlah kepada Allah swt. Kimya, dan minta petunjuk-Nya agar diberikan jalan yang terbaik."

"Terima kasih, Rum atas nasehatmu. Aku malu padamu, kamu yang tinggal di Amerika, di tempat yang muslim menjadi minoritas, tetap bisa menjaga imanmu, sedangkan aku...."

Kimya tak bisa melanjutkan kata-katanya. Tetesan bening itu sudah sampai di pipinya.

"Berterima kasihlah kepada Allah swt. Kimya, mungkin aku adalah salah satu jalan Allah swt. untuk mengingatkanmu, yang penting kamu sekarang sudah sadar."

Rum kemudian pergi untuk beberapa saat, dan saat kembali, ia membawa sehelai jilbab berwarna putih yang kemudian dikenakannya di kepala sahabatnya itu.

"Ingat, Kimya jangan lupakan tempat kembali."

"Terima kasih, Rum."

"Kalau begitu, bagaimana kalau setelah ini kita berkunjung ke pesantren?"

Kimya terdiam sejenak mendengar ajakan sahabatnya itu.

"Kenapa? Apakah kamu punya acara lain?"

"Aku malu, Rum."

"Kenapa malu? Malahan hatimu akan semakin tenang dan semoga itu dapat meningkakan keimananmu, Sahabatku."

"Ehmm baiklah kalau begitu, yuk," kata Kimya sembari berdiri dari duduknya dan menyeka air matanya.

"Sekarang?" goda Rum.

"Berbuat baik tak perlu dituda-tunda, Sayangku, heheheh."

Kemudian mereka tertawa bersama sembari melangkah menuju tempat kembali mereka.

==========

Sekian kisah kali ini,

Wassalamu'alaikum wr wb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun