Pendahuluan: Jejer Indraprasta
Prabu Yudistira sedang mengadakan pasewakan agung. Seperti biasanya, dalam acara demikian dihadiri oleh seluruh menteri, kepala lembaga, dan instansi terkait. Sebetulnya juga dihadiri  oleh kepala-kepala daerah, namun kerajaan baru ini belum memiliki wilayah yang harus dipimpin kepala daerah.
 Raja menanyakan satu per satu kepada seluruh personil penanggung jawab proyek pembangunan istana Indraprasta, sampai di mana progres masing-masing pekerjaan.Â
Memang atas izin dari raja Astina, yaitu Prabu Drestarastra, Yudistira dan adik-adiknya diberikan konsesi tanah yang masih berupa hutan primer, di dalamnya berisi  berbagai satwa buas dan fauna beracun. Mereka kini sedang giat membangun di atas tanah itu sebuah ibukota kerajaan baru. Di tengah pertemuan itu, datang Raden Widura, adik dari raja Astina, rupanya membawa amanah penting dari raja yang harus disampaikan kepada Yudistira.
Membabat Hutan Membangun Ibukota
Dalam beberapa tahun Yudistira dan istri, adik-adik, serta ibunya hidup di hutan justru dijadikan sarana belajar untuk lebih baik. Ada banyak hal kehidupan di hutan yang  sudah tentu sangat berbeda dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya di dalam istana kerajaan. Namun dengan tekad bulat, demi meninggalkan konflik keluarga di dalam lingkaran dalam kerajaan, mereka menjalani hidup dan berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan alam terutama hutan.
Kegiatan mereka setiap pagi adalah mencari umbi-umbian untuk dimasak sebagai sumber energi yang berasal dari karbohidrat. Pengetahuan yang pernah diberikan oleh guru, yakni Resi Durna, saat masih tinggal di istana mendapatkan kesempatan untuk dipraktikkan di lapangan.Â
Dedaunan dimasak sebagai teman umbi-umbian pastinya memberikan rasa tak kalah dengan masakan istana.Â
Keterampilan mereka memainkan panah sangat berguna untuk berburu hewan dan dimasak sebagai lauk-pauk sumber protein. Tentu bumbu-bumbu alami tersedia melimpah tersebar di kawasan hutan.
Setiap hal pasti ada awalnya. Tidak mudah mengawali sesuatu, namun dengan tekad kuat membuat segala sesuatu dapat dilampaui. Tidaklah mudah memulai hidup di tengah hutan bermodalkan gaya hidup istana sebelumnya. Peran ibu Kunti yang selalu mendampingi mereka di dalam kehidupan baru ikut menjadi pendorong terbesar dalam menapaki kehidupan baru yang memang tidak semudah di istana.
Mumpung berada di alam bebas, kesempatan ini dipergunakan sebaik-sebaiknya untuk melatih dan mempraktikkan berbagai pengetahuan yang pernah diperoleh saat sekolah. Menjaga kekuatan dan kesehatan adalah hal mutlak untuk menjadi perhatian utama agar sanggup bertahan.Â
Pengetahuan ibu Kunti tentang jamu dan obat-obatan tradisional ala istana, di mana mereka mengandalkan bahan-bahan lama tersedia melimpah ruah di dalam hutan. Yang dibutuhkan adalah energi, usaha, dan kekuatan fisik untuk mencari dan mendapatkan berbagai tanaman itu.
Bantuan dari Widura, adik ipar Kunti, dan anak buahnya sangat berguna. Mereka sengaja memberikan bantuan berbagai peralatan untuk mempermudah melakukan berbagai aktivitas di hutan maupun di dalam gua tempat mereka tinggal.Â
Beberapa informasi penting berkenaan dengan istana disampaikan juga oleh mereka, sehingga mereka tidak buta sama sekali dengan keadaan yang terjadi di istana. Widura sangat bersimpati kepada adik ipar dan para keponakannya itu atas berbagai ujian dan cara mereka mempertahankan jati diri.
Duryudana cs belakangan sadar bahwa mereka telah gagal upaya dalam mencelakai Yudistira dan adik-adiknya dengan cara membakar di sebuah kompleks peristirahatan. Setelah beberapa tahun berlalu, sempat mereka mengirim utusan untuk memastikan bahwa Yudistira beserta adik-adiknya masih hidup setelah upaya jahat mereka.
Atas jasa Widura pula, yang mengusulkan kepada Prabu Drestarastra untuk memberikan konsesi kepada Yudistira sebuah hutan primer yang belum pernah diusahakan dan digunakan oleh kerajaan.Â
Setelah menimbang dan persetujuan dari para pejabat kerajaan serta dukungan dari Duryudana dan adik-adiknya, raja setuju memberikan sebuah hutan itu kepada Yudistira bersaudara.Â
Duryudana memandang itu lebih lebih baik, demi sekalian mengawasi gerak-gerik mereka. Siapa tahu ada kesempatan lagi untuk menjatuhkan atau melenyapkan mereka.
Hutan yang dari semula tidak dihuni, sekarang sedang berusaha dibuka dan dibangun berbagai prasaran dan sarana serta kompleks ibukota, bernama hutan Amarta atau Wanamarta. Sebelumnya tidak banyak orang yang berani memasuki hutan itu karena dianggap angker atau menyeramkan, wingit kata orang Jawa.Â
Bagi orang tidak berpengalaman yang berani-berani memasuik hutan, bisa dipastikan tidak akan bisa keluar lagi saking gelap dan membingungkan. Pepohonan sangat tinggi dan berdaun rimbun membuat suasana di bawahnya menjadi sangat gelap dan lembab, sukar untuk dilalui orang dengan berjalan kaki.
Anak buah Widura yang terbiasa membangun jalan sebelum memulai membuka lokasi penambangan memberikan bantuan sangat penting. Tanpa orang-orang lapangan yang sudah terbiasa menaklukkan ganasnya alam liar pekerjaan akan sangat sulit.Â
Saudara-saudara jauh pun tidak kalah dalam berpartisipasi mendukung dalam bentuk tenaga maupun sumber daya lain demi suksesnya pembukaan hutan menjadi sebuah kawasan yang bisa dihuni.Â
Kerja secara bersama-sama, gotong royong, kerja bakti, menjadi salah satu cara penting untuk memobilisasi seluruh kekuatan yang tersedia. Kepemimpinan yang memadai sangat menentukan bagi keberhasilan kegiatan besar ini.
Tidak mengherankan bahwa dalam beberapa tahun saja kawasan itu sudah terlihat sebagai sebuah wilayah yang layak dihuni manusia dan ditumbuhi bermacam tanaman yang bermanfaat sebagai bahan makanan sehari-hari.Â
Berkat sokongan banyak orang, baik saudara, teman, kenalan, atau hubungan lain yang diminta untuk mendiami beberapa lokasi sekitar istana membuat lebih hidup dan semarak.Â
Harapan pun timbul bagi orang-orang yang mendiami agar kelak daerah itu tumbuh dan berkembang menjadi kawasan yang ramai dan menjanjikan penghidupan lebih baik kelak.
Indra bisa dimaknai sebagai kesuksesan, kesentosaan, ilmu pengetahuan, bahkan kemasyhuran. Pekerjaan besar akan selesai dengan ilmu pengetahuan, kesentosaan yang terkandung di dalamnya kekuatan dan daya tahan. Hasilnya adalah kesuksesan dan kemasyhuran.Â
Mungkin itu yang dipikirkan oleh para penanggung jawab kerja besar membangun ibukota di dalam sebuah hutan primer, alas gung liwang-liwung, wingit kepati, jalma mara jalma mati, sato mara sato mati. Hutan yang sangat luas, sepi, angker, manusia masuk hutan akan mati, hewan pun demikian.Â
Mereka berikan sebutan ibukota ini sebagai Indraprasta, yang berada di dalam hutan Wanamarta, atau alas Marta, menjadi Amarta, sebagai sebutan untuk ibukota negeri atau kerajaan baru.
Taruhan Judi Terbesar
Widura sebagai salah satu personil lingkaran dalam kerajaan Astina, tidak bisa menolak saat diminta oleh Prabu Drestarastra untuk menemui Yudistira beserta adik-adiknya.
 Atas permintaan putra-putra raja, yakni Duryudana dan adik-adiknya, dia diminta mengundang Yudistira ke Astinapura untuk bergabung dalam dugem (dunia gembira) dan sambil bermain judi. Widura sebenarnya sangat gamang atas maksud ini, namun demi menghindari hal yang lebih buruk, dia bersedia menempuh perjalanan jauh dan sulit ke Indraprasta.
Permainan judi yang lumrah dan sangat merakyat waktu itu adalah permainan kartu ceki, koa, atau kartu Cina. Bentuk kartu agak memanjang. Sedikit lebih panjang dari kartu domino, dengan 3 pola gambar, yaitu koin, manik-manik, dan wajah yang berjumlah 30 kartu.Â
Ini berbeda dengan kartu remi yang berjumlah 52 kartu. Namun dalam suatu permainan bisa menggunakan sampai dengan 2-6 set kartu, berarti berisi 60-180 kartu. Ada beberapa jenis dan variasi permainan, salah satu adalah pemain harus mengumpulkan 3 pola gambar tersebut dengan poin terbanyak.
Siasat Duryudana agar raja menunjuk Widura sebagai utusan ke Indraprasta terbukti berjalan dengan baik. Terbukti Yudistira cs, meskipun awalnya tidak bersedia menerima undangan, namun karena bahasa dan menganggap Widura yang sudah memberikan banyak bantuan, akhirnya mereka bersedia datang.Â
Sebagai konsekuensi pastinya mereka harus mempersiapkan segala sesuatu untuk melakukan perjalanan jauh dalam rombongan, termasuk membagi tugas siapa yang bertanggung jawab menunggu dan mengurus istana yang masih dalam taraf pembangunan pada saat ditinggal pergi.
Terdorong rasa sayang terhadap putra-putranya, Ibu Kunti ikut pula bersama rombongan ke Astinapura untuk memenuhi undangan para keponakannya. Dewi Drupadi tidak tega melihat ibu dan suaminya pergi, meskipun harus menempuh perjalanan yang berat, ikut menemani di dalam rombongan. Beberapa urusan rumah tangga sudah diserahkan kepada para petugas yang sudah terbiasa mengelola urusan dalam keputren.
Sesuai hari yang telah diperkirakan, setelah menempuh perjalanan sulit dan panjang, rombongan dari Indraprasta pun tiba di istana Astinapura, ibukota kerajaan Astina. Upacara penyambutan dipimpin oleh raja beserta para pembesar sebagai penghormatan bagi kedatangan tamu yang sebenarnya masih kerabat dalam raja.Â
Setelah upacara resmi dan beberapa acara basa-basi, tamu rombongan disilakan untuk menuju penginapan di dalam lingkungan istana yang memang sudah dipersiapkan dengan baik.
Duryudana beserta saudara-saudaranya menyebut dirinya Kurawa, yang berarti keturunan dari dinasti Kuru penguasa Astina. Sementara itu Yudistira beserta adik-adiknya disebut dengan Pandawa, yaitu keturunan dari Prabu Pandu.
Acara sukan (dugem, dunia gembira) pun dimulai, masing-masing membuat kelompok (kalangan) terdiri dari 4 – 6 orang. Permainan kartu ceki pun dimulai, biasa saja sambil rokokan, kebal-kebul, cekikikan, sat-sut, bontang-banting kartu.Â
Tak lupa minuman penghangat teh, wedang jahe, ciu, bir pletok, arak, dan sebangsanya. Gending dan tarian-tarian pembuka acara sudah biasa disajikan yang sedikit bernuansa sakral, dan dilanjutkan dengan yang lebih ngebeat mengiringi tayuban, ledek, ronggeng.
Main kartu ceki seperti main kartu bridge, bisa menguras pemikiran karena dimainkan secara tim dan harus konsentrasi. Bagi para pemain yang terbiasa tentu tidak ada masalah seperti halnya para pecatur profesional.Â
Namun tetap saja membutuhkan alur pemikiran yang cukup njelimet. Sengkuni memberi kode kepada Duryudana untuk memulai mengeluarkan permainan dadu dan ia bertindak sebagai bandar.
Duryudana segera mengeluarkan peralatan permainan dadunya. Permainan ini sering disebut gluduk, klotok, kopyok, koprok, kelabang, atau cliwik. Ada 3 buah dadu pada masing-masing sisi di beri warna atau gambar berbeda, yaitu merah, kuning, hijau, tanda plus, bulatan, dan tanda minus. Ketiga dadu ditaruh di atas piring dan ditutup dengan penutup agar tidak terlihat.
 Setelah dikocok dan penutup dibuka, maka akan muncul simbol-simbol dari ketiga dadu pada permukaan atas. Para pemain tinggal menebak simbol-simbol dadu apa yang akan muncul pada permukaan atas.
Adik-adik Duryudana mencoba ikut main dengan memasang taruhan pada simbol-simbol tertentu. Setiap mereka memasang uang taruhan pada simbol dan setelah dadu dikocok keluar simbol sesuai tebakan, maka pemain mendapat hadiah sebesar uang taruhan.
 Jadi apabila mereka memasang uang satu kepeng pada simbol plus, dan dadu keluar simbol plus, maka uang taruhan diambil pemain ditambah satu kepeng dari bandar, jadi uangnya menjadi 2 kepeng. Apalagi bila mereka pasang di plus plus plus (+++) maka pemain mendapatkan 5 kali lipat uang taruhan.
Mahapatih Sengkuni segera meminta Yudistira dan Bima untuk bergabung ke arena itu dengan memasang taruhan kecil beberapa kepeng. Ternyata permainan ini tidak membutuhkan pemikiran njelimet seperti pada kartu ceki, cukup pasang, tunggu pembukaan dadu, dan menang, atau bisa jadi kalah. Di awal permainan mereka menang dengan mudah, entah karena kebetulan, atau karena mereka pintar.Â
Sengkuni tambah semangat memprovokasi kepada para pemain yang sedang berbahagia dengan kemenangan untuk memasang taruhan dengan uang lebih besar. Arjuna dan si kembar pun ikut bersemangat dan bergabung di arena itu.
Mulailah dijalankan trik dan intrik, akal bulus, untuk mengakali kepada para Pandawa. Paman Sengkuni menyarankan memasang taruhan besar, yakni istana kerajaaan sebagai taruhan. Bagi yang kalah harus menyerahkan istana kepada pemenang.Â
Entah sebab mabuk ciu atau tercampur dengan janji pemberian status hak milik tanh, bukan sekedar hak guna usaha saja, atau sebab kemenangan sebelumnya, Yudistira sepakat untuk mempertaruhkan istana Indraprasta. Namun apa daya, setelah dadu dibuka ternyata Yudistira kalah. Apa boleh buat istana yang masih baru dan sedang dalam pembangunan harus pindah tangan kepada Kurawa.
Berkat bujukan secara halus Arya Sengkuni, Yudistira tega menjadikan adik-adiknya sebagai taruhan. Ternyata, dia kalah dan terpaksa menyerahkan saudara-saudara kandungnya kepada Duryudana. Tidak berhenti di situ, Drupadi, istri Yudistira pun dipertaruhkan.Â
Duryudana mengutus Dursasana untuk menjemput Drupadi di apartemen tempat menginap untuk dijadikan taruhan. Apabila tebakan dadu Yudistira salah maka Drupadi harus membuka pakaian. Setelah dadu dibuka, rupanya tebakan salah, sehingga Drupadi harus membuka baju.Â
Dursasana menginginkan Drupadi membuka seluruh baju, namun dia tidak bersedia, sehingga terjadilah tarik-menarik antar keduanya sampai pakaian Drupadi sobek di sana-sini dan terbuka.
Sampai dengan akhir permainan, pihak Pandawa dalam keadaan habis-habisan, entek-entekan kata orang Jawa. Bagi Yudistira, mulai istana, istri, dan adik-adiknya sudah pindah kepemilikan ke tangan  Kurawa.
Melihat situasi demikian, Widura tidak tega sehingga menghadap Prabu Drestarastra untuk membujuk putra-putra agar mengembalikan Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa serta Drupadi kepada Yudistira. Tidak elok menggunakan manusia sebagai taruhan dalam sebuah permainan.Â
Karena titah ayahanda, Duryudana pun rela mengembalikan mereka, namun istana tetap menjadi menjadi hak para Kurawa. Dengan demikian mereka tidak bisa pulang kembali ke Indraprasta dan harus menjalani lagi hidup di alam liar sebagai rombongan gelandangan.
Tancep Kayon
Perbuatan berjudi oleh para penjudi tentu tidak masuk di akal dan sebuah kegilaan bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan. Â Mempertaruhkan harta benda yang seharusnya berharga, baik untuk melangsungkan hidup maupun manfaat lain adalah tidak berguna.Â
Tetapi bagi para penjudi tidak sesederhana itu. Faktor emosional dan tidak mampu memikirkan dampak dan akibat dari judi itu yang justru sedang menghinggapi mereka.
 Aman dahulu, pulang tinggal berpakaian dalam saja karena semua barang sudah habis dipertaruhkan, itu biasa saja bagi para penjudi. Entèk-entèkan, dadi kèrè. Seandainya Bulan dan Matahari diterima oleh lawan main, maka mereka akan pertaruhkan juga.
Penyakit masyarakat ini masih tumbuh dan merupakan warisan di berbagai kalangan maupun wilayah yang membuat sulit untuk diberantas. Apabila sekarang ini marak adanya judol (judi online) itu hanya sebuah metamorfosis saja dari permainan judi sebelumnya. Memang tidak mudah memberantas penyakit masyarakat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H