Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Djoko Pekik, Kritik Pedas, dan Kekuatan Ekspresi Personalnya Menonjol

14 Agustus 2023   17:57 Diperbarui: 15 Agustus 2023   17:04 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

d. Lukisannya memiliki metafora kuat. Sehingga bagi pengamat yang kurang jeli, tidak melihat hal tersirat di balik bentuk visualnya.

e. Visualisasinya khas. Lukisannya banyak didominasi warna coklat kemerahan dan hitam. Itu ditampilkan dengan teknik sapuan kuasnya yang kasar, sehingga memunculkan nilai tekstural yang khas.

f. Judul-judul lukisannya selalu menarik, mudah diingat, dan juga khas; menambah kekuatan pesan yang dibawakan.

Empat lukisan yang mengesankan Subroto adalah: 1. Keretaku Tak Berhenti Lama, 2. Gonjang-ganjing Kawula Jogja, 3. Berburu Celeng, dan 4. Go to Hell Crocodile

Kesalahan Struktur Anatomis?

Meski Subroto Sm mengakui bahwa lukisan Djoko Pekik yang berjudul “Berburu Celeng” sangat fenomenal, tetapi ada beberapa hal yang dikritisinya.  Menurutnya di balik fenomena popularitasnya lukisan ini, ada satu catatan menarik perhatian Subroto Sm, yaitu: letak kedua kaki dua orang yang memanggul celeng! 

“Mengherankan, tubuh celeng yang berat itu tidak jatuh, walaupun tubuh celeng itu ternyata terletak di sebelah kanan kedua pemanggul. Ini sebuah kesalahan struktur anatomis si celeng dengan kaki kedua pemanggul!  Inilah kekurangan sekaligus kelebihan sebuah lukisan yang bersifat 2D, karena dalam hal ini tidak berlaku hukum gravitasi sebagaimana dalam seni patung atau arsitektur,” demikian Subroto Sm.

Suatu saat hal ini pernah dikonfirmasi ke Djoko Pekik, menurut Subroto Sm, Djoko Pekik mengatakan bahwa dia sendiri baru menyadari kesalahan tersebut, dengan mengatakan "Iya, ya? Ya wis ben, sing nonton ora ngematke kok!" ("Iya, ya? Ya biarin, yang melihat tidak memperhatikan kok!")

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun