Meski sampai sekarang saya masih belum puas dengan jawaban beliau tentang hal itu, tetapi sampai sekarang penulisan alkitab bahasa Jawa yang tengah kami kerjakan penulisan "dipun" sebagai awalan tetap dipisahkan dari kata kerja yang diikuti. Â Saya yang sudah memasuki tahun kelima menjadi pemimpin redaksi dan editor renungan harian bahasa Jawa, dalam pekerjaan mengedit karangan kiriman penulis, maka saya selalu memisahkan awalan "dipun" terhadap kata kerja yang diikutinya. Â Saya sedang berusaha memahami hal itu, barangkali karena tuntutan tulisan aksara Jawanya?
Rajin dan Teliti
Di dalam tim revisi alkitab PL-BJF, dibagi beberapa tugas. Â Pak Siman memiliki tugas sebagai pembaca ahli dan pembesut. Â Pembesut ini tugas final yang dikerjakan dalam editing dan revisi sebelum naskah diterbitkan menjadi sebuah buku. Â Tugas pembesut ini tentunya tugas yang bukan sembarangan. Â Ia harus memiliki pengalaman berbahasa Jawa yang baik, bahkan disebut ahli dan teologia yang kukuh. Â
Pak Siman itu mantan dosen bahasa Jawa di UKDW Yogyakarta. Â Beliau juga pernah aktif menulis renungan berbahasa Jawa di majalah bahasa Jawa Djaka Lodhang Yogyakarta. Â Beliau pernah menerjemahkan alkitab ke bahasa Jawa sehari-hari (padintenan) terbitan LAI yang digunakan sampai sekarang. Â Sebelumnya, beliau juga menjadi tim revisi Alkitab LAI Perjanjian Baru Bahasa Jawa Formal yang sudah diterbitkan LAI.
Saat pertemuan rutin di Salatiga, beliau biasanya datang di hari Minggu sore dengan berkendara travel dari Yogyakarta. Â Hari Senin hingga Jumat kami bekerja, duduk melingkar menatap tampilan LCD Projector yang menunjukkan ayat demi ayat kitab- kitab PL yang sedang kami bahas. Â Pagi hari Pak Siman bangun, kemudian akan berjalan mengitari Lapangan Pancasila Salatiga sekitar tiga-empat kali, kemudian akan mandi dengan air hangat yang telah disiapkan oleh pihak penginapan. Â Maklum Salatiga termasuk kota yang berhawa dingin. Â Pak Siman tidur di kamar lantai bawah, di depan kamarnya terletak aula wisma yang kadang-kadang, pada saat hari baik digunakan masyarakat untuk perhelatan pernikahan, sehingga istrirahat siang kadang terganggu.
Meski demikian, di malam hari usai pertemuan, beliau akan memanfaatkan waktu untuk memeriksa print out naskah yang telah dikirimkan LAI via pos kepada beliau. Â Dengan demikian, saat kami melakukan diskusi keesokan harinya beliau siap dengan masukan-masukan yang akan beliau berikan. Â
Oleh karena itu, setiap beliau menyampaikan pendapat, selalu kokoh dan memiliki dasar-dasar kebahasaan dan teologia yang jelas. Â Jika dalam diskusi beliau tidak bisa memasukkan usulan dan idenya, maka beliau hanya tersenyum dan kadang seperti yang disampaikan oleh rekan karibnya, Pdt. Em. Dr. Sutarno, beliau berkata,"Sing waras ngalah..."
Perjuangan Melestrasikan Bahasa dan Budaya Jawa
Saya pernah mewawancarai Pak Siman secara khusus dan wawancara itu dimuat di tabloid Caraka terbitan Sinode kami, Sinode Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ). Â Judul artikel wawancara itu: TANGGUNG GEREJA JAWA DALAM PELESTARIAN BUDAYA JAWA. Â Berikut ini cuplikan wawancara saya dengan beliau:
Saya: Wujud budaya Jawa sendiri sebenarnya bagaimana?