Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Editor - Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

In Memoriam: Pdt. Em. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th, Pejuang Bahasa dan Kebudayaan Jawa itu Telah Tiada

6 Mei 2023   11:22 Diperbarui: 6 Mei 2023   22:51 1626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pdt. Em. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. (Sumber Gambar: dokumen pribadi)

Pertemuan itu kadang bersifat pertemuan besar yang dihadiri oleh wakil-wakil sinode yang gerejanya masih menggunakan alkitab bahasa Jawa seperti GKJ (Gereja Kristen Jawa), GITJ (Gereja Injili di Tanah Jawa), GKJTU (Gereja Kristen Jawa Tengah bagian Utara), GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan), GKSBS (Gereja Kristen Sumatra Bagian Selatan) dan Gereja Katholik, serta para ahli bahasa seperti: Dr. Sudaryanto (Universitas Widya Dharma Klaten) dan Dr. Yulia (Universitas Tidar Magelang). 

Pertemuan tim kecil hanya dihadiri oleh beberapa orang seperti: Pdt. Em. Dr. Soelarso Sopater (dari GKJ, sudah almarhum), Pdt. Edi Trimoedoroempoko, M.Div. (dari GKJ, sudah almarhum), Romo Dr. Hari Kustono (STT Filsafat Kateketik Kentungan Yogyakarta, sudah almarhum), Pdt. Em. Drs. Siman Widyatmanta, M.Th. (dari GKJ, almarhum), Pdt. Dr. Em. Sutarno (dari GKJ), Pdt. Daniel Iswanto, M.Th. (GKJTU), saya sendiri dan Pdt. Dr. Anwar Tjen (Konsultan LAI) yang saat ini digantikan oleh Dr. Tri Harmaji (Konsultan LAI).

Kamus dan Tatabahasa Berjalan

Setiap kali pertemuan, dalam memutuskan terjemahan yang baik, pasti akan diskusi soal teologi, tata bahasa (parama sastra), kata (tembung), dan pengalimatannya.  Dalam diskusi yang kadang juga seperti perdebatan, maka dibukalah hand book tafsir, alkitab bahasa Ibrani, Septuaginta, bahasa Inggris terutama versi RSV, terjemahan bahasa Indonesia baru, terjemahan bahasa Indonesia sehari-hari.  Kadang untuk memperjelas suatu kata, misal tanaman, nama burung-burung, peralatan Bait Allah dan lain-lain, kami membuka gambar-gambar yang terkait dengan apa yang sedang dibahas.

Jika pembahasannya soal kata-kata dalam bahasa Jawa berikut tata bahasanya, maka Pak Siman akan segera memberi keterangan, tanpa membuka kamus dan buku tata bahasa.  Kamus yang kemudian beliau buka adalah Kamus Baoesastra Djawa karangan W.J.S Poerwadarminta.  

Kalau saya sih, saya usahakan selalu membawa Kamus Baoesastra Djawa karangan W.J.S Poerwadarminta terbitan J.B. Wolters Uitgevers Maatschappij, Groningen, Batavia, 1939 itu; Kamus Bahasa Jawa, Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta, terbitan Kanisius 2001; Kamus Indonesia -- Jawa, Panitia Kongres Bahasa Jawa & Duta Wacana University Press 1991 dan beberapa kamus bahasa Jawa lainnya, kadang juga bawa buku ensiklopedia setiap kali rapat atau diskusi. 

Pak Siman, misalnya untuk menerangkan kata "butajengan" yang ditulis di Alkitab untuk sifat Tuhan, beliau langsung menerangkan bahwa "butajengan" itu adalah krama inggil, ngokonya "butarepan".  

Oleh beliau dijelaskan bahwa "butarepan" itu adalah sebuah ringkasan dari kata "rebut arep-arepan."  "Rebut arep-arepan" atau "rebut ajeng-ajengan" itu artinya berebut menjadi yang terutama. Itu semacam kalau ayam satu keturunan dalam generasi yang sama (sakpranakan) bertarung itu berebut  tua katanya.  Saya yang lulusan sekolah pedhalangan Habirandha Yogyakarta, semula mengira kata "butarepan" itu raksasa-raksasa yang berhadap-hadapan "buta-buta kang adu arep".  Wah!

Demikian juga ketika Pak Siman menerangkan arti kata "jakalara" yang digunakan untuk menerangkan pernikahan antara perjaka dan perawan.  Menurut beliau tembung "jakalara" itu dari dua kata "jaka" yang berarti jejaka dan "lara" yang bermakna perawan.  Kata lain untuk "lara" ini dalam bahasa Jawa "rara".  Oh, baru paham saya tentang hal itu.  Semula saya pikir, pernikahan "jakalara" itu adalah pernikahan yang dilakukan saat pengantin itu dalam penderitaan.  Waduh!

Beberapa kata yang oleh Pak Siman supaya kami singkiri antara lain adalah kata ganti orang ketiga "dheweke".  Kata "dheweke" oleh beliau disarankan supaya diganti dengan kata "wong iku" atau "wong mau."  Selain itu kata penunjuk "sawijining" juga 'disingkiri'.  Untuk menggantikan kata "suatu" maka Pak Siman lebih menyukai "sawenehe."  Kata "sawijining" menurut Pak Siman diperuntukkan untuk  hari atau waktu, misal "sawijining dina."  Untuk orang beliau menyarankan supaya digunakan kata "sawenehing", misal "sawenehing utusan." Meski kata beliau, tanpa "sawenehing" pun sudah jelas dan bisa dimengerti.

Pak Siman memisahkan penulisan "dipun" sebagai awalan dengan kata kerja yang diikuti.  Misalnya kata "dipun dhawuhi."  Saya pernah bertanya, mengapa demikian?  Karena dalam Ejaan Bahasa yang Disempurnakan, penulisan awalan dengan kata kerja yang diikuti, dirangkaikan.  Jika penulisan kata depan dengan kata benda, maka kata depan itu dipisahkan dengan kata benda yang diikutinya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun