e. Jono Cabuli Anak Temannya Sendiri
f. Biadab, Bapak Beranak 3 Cabuli Anak SMP
Dari enam contoh judul berita di atas isinya sama. Namun penulis sudah mulai menggiring pikiran kita untuk menyimpulkan sesuai rasa. Sebab diksi yang digunakan diolah oleh perasaan penulis. Dari situ kita bisa melihat bagaimana penulis atau pembuat berita memosisikan diri di kasus tersebut.
Keempat, tanda dusta diciptakan untuk menutupi tanda yang asli. sementara tanda yang asli adalah tanda yang maknanya sama di setiap kepala manusia.
Contoh: orang yang memiliki Ferrari (tanda) adalah orang yang kaya (petanda).
Mungkin semua orang sepakat dengan simbol tersebut. Jika sepakat itulah yang disebut dengan tanda asli. Walau pun kata Rolland Barthes tanda seperti ini seperti mitos. Mitos yang telah reinkarnasi di dunia modern.
Namun bagaimana jika ada orang miskin lalu meminjam mobil Ferrari digunakan untuk menutupi kemiskinan agar terlihat kaya sehingga mudah mendapatkan gebetan? Inilah yang disebut tanda dusta. Jika dalam hiruk-pikuk perpolitikan di tanah air bisa juga disebut pengalihan isu.
Terakhir, tanda palsu. Saya yakin kalian pernah mendengar pendapat atau kesimpulan dari orang lain yang hanya berdasar pada satu atau dua kejadian saja. Contoh istilah yang familiar adalah “kriminalisasi ulama”.
Saya akan bandingkan istilah di atas dengan narasi berikut.
Ada satu, dua jenderal, atau bahkan sepuluh polisi berpangkat yang ada di Indonesia dipecat tiba-tiba. Dipecat dengan alasan yang masih teka-teki atau tanpa alasan. Dengan adanya kejadian seperti ini apakah istilah “kriminalisasi polisi” relevan?
Istilah kriminalisasi ulama dan kriminalisasi polisi dalam kasus ini sama kedudukannya. Kata “kriminalisasi” memiliki makna yang sama tanpa ada batas penghormatan. Yang memiliki cita rasanya tersendiri adalah kata “ulama” dan “polisi”. Seolah pikiran kita mendengar kata “ulama” menjadi paten. Dalam arti tidak bisa diproses hukum. Sehingga jika ada salah satu ulama yang diproses secara hukum pikiran kita tidak sependapat.