Makin ke bawah, mendekati Lembah Bunian, jalur makin sering tak terlihat. Rambu jalur juga lebih sering tak terlihat.
Kondisi ini membuat perjalanan melambat. Tiap sebentar kami harus berhenti untuk mengecek arah waypoint dalam GPS. Selanjutnya, kami menerabas semak belukar menuju waypoint berikutnya.
Dalam kenyataannya, sering kali kami berjalan melenceng dari waypoint yang dituju. Jadilah jalur meliuk-liuk, melengkung, kadang harus berbalik arah. Ini cukup menguras tenaga dan menghabiskan waktu.
Matahari makin condong di arah barat menandakan hari mulai beranjak sore, sementara kami masih berkutat di Lembah Bunian, yang jaraknya ke arah puncak Gunung Tandikat masih cukup jauh.
Kami makin jarang melihat waypoint dalam GPS. Penulis lebih banyak mengandalkan insting untuk menemukan jalur, melihat tanda-tanda jejak, ranting yang dipotong, dan sebagainya.
Sambil berjalan, penulis, yang berjalan di depan, mesti memisahkan antara tanda-tanda jejak manusia (pendaki sebelumnya) dengan jejak binatang, yang membentuk jalur semu, yang bila tak cermat dapat menyesatkan kami.
Pada saat-saat tertentu, di mana tanda-tanda sangat sulit ditemukan, kami terpaksa berhenti sejenak untuk berdiskusi. Dalam keadaan begini, walaupun tracklog GPS terhapus, tapi tetap cukup membantu untuk mengarahkan kembali ke waypoint yang benar.
Menjadi jelas bahwa dalam keadaan begini fungsi GPS sangat menentukan. Bisa dibayangkan andai tanpa GPS sama sekali, mungkin bisa saja menemukan jalur yang benar, tapi membutuhkan waktu yang lebih lama lagi.
Akhirnya, pukul 14.30 WIB kami menemukan kembali jalur yang cukup jelas. Berikut rambu yang terpaku di batang pohon. Perasaan jadi lega.
Kami memutuskan berhenti sejenak untuk makan siang. Kami pun makan dengan cepat. Seberes makan, perjalanan dilanjutkan. Jalur sudah mulai sedikit menanjak, tandanya kami sudah menuju puncak semu Gunung Tandikat.