Karena tracklog jalur terhapus, kami tinggal mengandalkan teknik "goto", berjalan dari titik waypoint satu ke titik waypoint berikutnya, yang ternyata tidak mudah dilakukan di tengah rimba yang tutupan vegatasinya rapat disertai banyak akar berduri.
Tracklog jalur dalam GPS merupakan rangkaian titik-titik membentuk jalur yang direkam GPS dalam perjalanan sebelumnya. Para pendaki atau pelintas rimba tinggal mengikuti tracklog jalur tersebut. Sangat memudahkan perjalanan.
Saat tracklog jalur terhapus, yang tersisa hanya waypointnya saja. Sedangkan titik-titik yang menghubungkan antar waypoint, sehingga membentuk suatu jalur, sudah tidak ada.
Hikmahnya, lain kali sebaiknya para pelintas membawa GPS yang memorinya lebih besar, agar peristiwa serupa tidak terjadi.
Oh iya, saat itu perut sudah mulai keroncongan. Tapi tak satu pun di antara kami ingin makan siang. Jiwa kami terhimpit target waktu harus sampai ke puncak Gunung Tandikat sebelum magrib—agak riskan bermalam di Lembah Bunian saat hujan begini.
Sebelumnya, kami berempat sudah berbagi tugas, penulis dan Khaidir Rahman bergantian memimpin berjalan di depan untuk membuka jalur, Hendri Agustin memandu dengan GPS-nya, dan Deryanto Limanjaya membawa GPS yang merekam perjalanan sekaligus memasang stringline (rambu) sepanjang jalur yang kami lalui.
Mulai dari telaga Dewi, Khaidir Rahman berjalan di depan sebagai pembuka jalur dengan golok tebas di tangannya. Penulis berada paling belakang.
Baca juga:Â Lintas Sadel Singgalang-Tandikat, 10 Jam Nonstop, Melalui Lembah Bunian
Sampai di awal punggungan Gunung Singgalang, saat mulai turun punggungan atau setelah sekitar 2,5 jam perjalanan, Khaidir Rahman meminta posisinya diganti oleh penulis.
Penulis pun berpindah dari posisi paling belakang menjadi posisi di depan. Pada awalnya, tugas ini tidak begitu sulit. Tutupan vegetasi di punggung Gunung Singgalang memang cukup rapat, akan tetapi jalur tetap terlihat sedikit.