Harus diakui memang tak mudah bagi kaum minoritas berjuang untuk kebebasan menjalankan agama dan beribadah sesuai dengan agamanya itu.
Tantangan terberat justru berasal dari aparat negara itu sendiri. Sungguh ironis. Di banyak tempat, alih-alih aparat negara berpihak pada konstitusi, ini malah berpihak pada warga yang diskriminatif, intoleran atau bahkan rasis; berpihak pada massa anarkis.
Secara hukum warga yang dirugikan bisa saja melakukan upaya gugatan atas SK-SK dan Instruksi Kepala Daerah yang melanggar HAM, tidak adil, dan diskriminatif tersebut ke pengadilan setempat.
Sedangkan terhadap peraturan perundang-undangan selevel Perda yang membatasi HAM beribadah dan mendirikan tempat ibadah, dapat pelaporan ke Mendagri, pendesakan peninjauan ulang melalui prosedur legislatif (legislative review), dan/atau peninjauan kembali (judicial review) ke Mahkamah Agung.
Untuk tindak pidana berupa kekerasan dari warga setempat atau ormas keagamaan, warga minoritas yang dirugikan tersebut dapat melapor ke kepolisian setempat.
Permasalannya memang aparat negara cenderung tidak melek HAM. Terasa sangat sulit memperjuangkan pemenuhan HAM di negeri ini.
Maka jangan heran, jemaat GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia seperti frustasi menghadapi prosedur hukum dan tekanan massa yang luar biasa.
Namun demikian, upaya hukum dan politik walau pun berat tetap harus dilalui demi tegaknya supremasi hukum, akal sehat, dan masa depan anak cucu kita nanti. Relakah anak cucu kita dibesarkan dalam iklim lingkungan yang diskrimatif, intoleran dan rasis? Karena itu hayo lawan!!!(*)
Artikel terkait: Heran, Apa Masalahnya Rumah Ibadah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H