b. dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota.
Setelah semua persyaratan khusus tersebut terpenuhi, panitia pendirian rumah ibadah kemudian mengajukan permohonan kepada bupati/walikota cq. Dinas Tata Kota dan Pertamanan (DTKP) setempat untuk memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB) rumah ibadat.
Dari persyaratan pendirian rumah ibadat di atas terlihat dengan jelas dan gamblang bahwa memang SKB tersebut ditujukan untuk mempersulit pendirian rumah ibadat.
Sesuai konsideran menimbang dari SKB, tujuan "dipersulit" adalah demi menjaga ketertiban umum.
"Bahwa Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha...menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum," bunyi konsideran menimbang poin d SKB.
Letak inkonstitusionlitas
Bagi agama minoritas seperti Islam di Kupang atau Kristen di Bogor, misalnya, SKB tersebut amat sangat membatasi hak asasi beragama warga negara untuk mendirikan rumah ibadat.
Jika hanya ada 89 orang saja di wilayah setempat dijamin akan kesulitan mendirikan rumah ibadat.
Lah, jika dilarang mendirikan rumah ibadat, lantas di mana 89 orang itu beribadah? Di jalan?!
Apalagi fakta membuktikan toleransi warga Indonesia dalam hal pendirian rumah ibadah masih cukup rendah.
Sebanyak 68,2 % warga tidak setuju pendirian tempat ibadah agama lain di lingkungannya. Maka akan semakin sulitlah kaum agama minoritas mendirikan tempat ibadat.