Pemberlakuan pidana penjara di Indonesia merupakan hukum peninggalan Kolonial Belanda yang bersifat punitif dan represif. Sifat ini tidak lain karena dipengaruhi oleh ajaran pemidanaan yang berlaku pada saat itu, yaitu retributif. Menurut teori retributif, hukuman diberikan karena pelaku kejahatan harus menerima hukuman itu demi kesalahan. Hukuman menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya. Dengan demikian, menurut teori ini hukuman layak diberikan kepada pelaku kejahatan atas pertimbangan bahwa pelaku kejahatan terbukti melakukan suatu kejahatan. Hukuman mengekspresikan bahwa pelaku kejahatan memiliki tanggung jawab atas pasal hukum yang dilanggarnya.Â
Sistem peradilan pidana memang berhasil menuntut dan memenjara seseorang, tetapi di lain pihak ia telah gagal menciptakan kehidupan bermasyarakat yang aman. Seharusnya korban kejahatan diperlakukan secara bermartabat, kemudian antara pelaku dan korban atau keluarganya harus dirukunkan kembali (reconciled). Pelaku tidak hanya harus dipertanggungjawabkan tetapi juga wajib diintegrasikan kembali dalam masyarakat.Â
Dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia, tentu saja pidana penjara sesuai Pasal 10 KUHP pun harus ditinjau kembali keberadaannya dalam konsep pemidanaan. Pembaharuan hukum pidana Indonesia haruslah memperhatikan hukum adat dan hukum Islam sebagai living law. Karena kedua sistem hukum living law Indonesia ini mengandung prinsip keadilan restoratif yang sangat tinggi dan telah teruji dalam menanggulangi kejahatan di masyarakat.
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa perampasan kemerdekaan atau kebebesan bergerak dari seorang terpidana dengan menempatkannya di lembaga pemasyarakatan. Pidana penjara merupakan jenis pidana yang paling banyak diancamkan kepada pelaku tindak pidana dalam Buku II KUHP. pidana penjara juga diancamkan terhadap tindak pidana yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP, baik dirumuskan secara tunggal maupun secara kumulatif-alternatif dengan sanksi pidana lainnya. Banyak sanksi pidana penjara diancamkan dalam KUHP maupun di luar KUHP dibandingkan dengan jenis pidana pokok lainnya, karena pidana penjara merupakan satu-satunya pidana pokok yang ada dalam KUHP yang memungkinkan diadakannya pembinaan secara terencana dan terarah terhadap terpidana, sedangkan jenis pidana pokok lainnya tidak memungkinkan adanya pembinaan dengan terhadap terpidana.Â
Walaupun demikian, pidana penjara dianggap masih diperlukan untuk menghadapi berbagai kejahatan yang semakin banyak ragam dan modusnya. Herbert L. Packer mengemukakan bahwa: (1) sanksi pidana sangat diperlukan, kita tidak hidup sekarang maupun di masa yang tanpa pidana; (2) sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera, serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya itu.
Pengaturan Pidana Penjara Dalam KUHP 1946
A. Pengaturan Pidana Penjara dalam KUHP Pasal 10 KUHP menetapkan jenis pidana yang diberlakukan di Indonesia terdiri atas:Â
a) Pidana pokok
     (1) Pidana matiÂ
     (2) Pidana penjaraÂ
     (3) KurunganÂ
     (4) DendaÂ
     (5) Pidana tutupan
b) Pidana tambahanÂ
     (1) Pencabutan hak-hak tertentuÂ
     (2) Perampasan barang-barang tertentuÂ
     (3) Pengumuman putusan hakim
Pasal 10 KUHP mengurut jenis pidana yang diancamkan kepada pelaku delik diurut dari yang terberat sampai teringan. Perbedaan pidana pokok dan pidana tambahan juga nampak jelas, bahwa: (1) pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok dengan pengecualian perampasan barang-barang tertentu diserahkan kepada negara; (2) pidana tambahan bersifat fakultatif, artinya apabila hakim yakin mengenai tindak pidana dan kesalahan terdakwa, maka hakim tidak harus menjatuhkan pidana tambahan, kecuali untuk Pasal 250 bis dan Pasal 275 KUHP yang bersifat imperatif, yakni hakim harus menjatuhkan pidana pokok bila tindak pidana kesalahan terdakwa terbukti. Akan tetapi dalam penerapannya, hakim boleh memilih salah satu dari pidana pokok dan pidana tambahan. Â
Pengaturan Pidana Penjara dalam KUHP 2023
Tujuan pidana menurut RKUHP mengalami perubahan sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 54 ayat (1) bahwa pemidanaan bertujuan untuk:Â
1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan mengegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;Â
2) Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;Â
3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
 4) Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pasal 54 ayat (2) menyebutkan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Sejalan dengan Pasal 54 yang sangat memperhatikan hak-hak terpidana, pada pedoman pemidanaan pun disebutkan bahwa pemidanaan sebagaimana tercantum dalam rumusan Pasal 55 ayat (1)Â wajib mempertimbangkan:Â
1) Kesalahan pembuat tindak pidana;Â
2) Motif dan tujuan melakukan tindak pidana;Â
3) Sikap batin pembuat tindak pidana;Â
4) Tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak direncanakan;Â
5) Cara melakukan tindak pidana;Â
6) Sikap dan tindakan pembuat sesuadah melakukan tindak pidana;Â
7) Riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;Â
8) Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;Â
9) Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;Â
10) Pemafaan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atauÂ
11) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Kemudian dijelaskan pada Pasal 55 ayat (2) bahwa:
 Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Konsep RKUHP masih menjadikan pidana penjara sebagai salah satu pidana pokok yang diancamkan kepada pelaku kejahatan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 65:Â
Pasal 65 Ayat (1) Pidana Pokok terdiri atas:Â
a. Pidana penjara;Â
b. Pidana tutupan;Â
c. Pidana pengawasan;
 d. Pidana denda; danÂ
e. PidanaÂ
Ayat (2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidanaÂ
Penjelasan pelaksanaan pidana penjara tercantum pada Pasal 69-75. Pada Pasal 69 dijelaskan bahwa :Â
                                               Pasal 69Â
(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari, kecuali ditentukan minimum khusus.Â
(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut.Â
(4) Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lenih dari 20 (dua puluh) tahun.
Dalam pokok Rancangan KUHP tidak lagi mengenal pidana kurungan, yang menurut pola KUHP biasanya diancamkan untuk tindak pidana "Pelanggaran". Jenis pidana tambahan dan tindakan di dalam konsep RKUHP mengalami perluasan, diantaranya adalah dirumuskan secara eksplisit jenis pidana tambahan berupa "pemenuhan kewajiban adat". Dirumuskannya jenis pidana adat, dimaksudkan untuk menampung jenis sanksi adat atau sanksi menurut hukum tidak tertulis. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI