"Ada apa rupanya?" tanya Ryan dengan sikap seperti biasa, angkuh.
"Alun tidak mau ikut study tour," jelas Mamat kepada ketiga teman seangkatanku itu.
"Heh, Alun. Ini program gak boleh gagal ya. Kalau kamu nggak ikut, nggak ikut aja. Awas kalau kamu ngajak yang lain tidak ikut sehingga study tour ini urung dilaksanakan," ancam Bram.
Setelah Bram bicara ia ngeloyor pergi. Ryan dan Toni segera mengikuti.
Aku hanya diam. Meskipun aku dancam, aku tidak takut. Namun, menghindari keributan, aku harus menahan diri.
"Oke, Lun. Aku cabut, ya!"Â
Mamat dan Boby pun meninggalkanku sendirian.
Aku menarik napas. Teman-teman yang memiliki kondisi sepertiku di Madrasah ini cukup banyak. Hampir lima puluh persen murid seangkatanku di Madrasah Aliyah ini berasal dari golongan orang tidak mampu.
Aku pun mendekati teman-teman 'senasib' dan kami bersepakat untuk tidak mengikuti study tour.
Murid-murid seperti Bram, Ryan, dan golongan anak-anak orang kaya, terus mengintimidasi untuk tetap ikut. Bahkan mereka mengancam jika kami memboikot tidak ikut study tour.
Aku sendiri, tidak pernah takut dengan ancaman mereka. Oleh karena itu, aku memberanikan diri datang ke ruang kepala madrasah.