Namaku Alun. Sebenarnya, orang tuaku memberiku nama Ahlu Nazar. Lidah orang kampung memanggilku Alun. Aku terima dengan senang hati. Lagi pula, Mamak dan Bapakku memanggilnya begitu.
Dulu, aku bersekolah di Madrasah Aliyah swasta, bukan negeri. Meskipun swasta, madrasahku memiliki murid yang cukup banyak. Mereka berdatangan dari berbagai kecamatan di sekitar kecamatan tempatku tinggal.
Kepala madrasahku seorang ustaz. Beliau seorang terpelajar, mumpuni dalam mengajar ilmu umum yang dikuasainya, pun ahli dalam ilmu agama. Tidak heran apabila kepala madrasahku sering diundang memberikan tausiyah, bahkan ceramah pada beberapa event, semisal Maulid Nabi, Halal bi Halal, Isra'Mi'raj, juga mengisi pengajian pada acara hajatan, terutama pernikahan.
Di kelas dua belas, madrasahku mengajukan program study tour ke Jogja. Biayanya sekitar satu juta lima ratus ribu rupiah. Hal itu aku ketahui setelah kami dikumpulkan di aula.Â
Kebanyakan siswa bersorak gembira.
"Kapan lagi, Men! Sebelum terima ijazah, perpisahan kita refreshing!" ucap Kahar.
"Lun, gimana kamu? Kok diam saja?" Boby bertanya sambil menepuk bahuku.
Boby menepuk bahu dan bertanya, mungkin karena melihat aku tidak berekspresi ketika Pak Harun mengumumkan program study tour itu.
"Iya, Lun. Kapan lagi kita bersenang-senang? Kalau pergi sendiri, yakinlah gak akan cukup uang segitu," imbuh Mamat.
Aku bergeming. Namun, sebagai seorang kawan, rasanya aku harus menghormati Boby dan Mamat yang telah memberi pertanyaan.