"Loh, dari mana saja kamu, Sayang," jawab Marno. Ia tidak lagi memangil Marni dengan sapaan Nduk.
Marni yang hampir emosi, mendengar namanya dipanggil dengan sapaan Sayang, hatinya berbunga-bunga. Seperti yang ia harapkan ketika baru sampai di tempat karnaval ini.
"Mas Marno dari mana saja, sih. Kan aku tadi mau ngajak minum es teh," keluh Marni.
"Mas juga sama. Mas cari-cari ke mana-mana kamu tidak ada," alasan Marno. Sebenarnya ia menyembunyikan sesuatu. Ia takut istrinya marah. Marno tahu, istrinya sangat pencemburu.Â
"Mas, ...," bisik Marni sambil memegang lengan sang suami.
Marni sedang asyik menyaksikan karnaval yang menampilkan drama penculikan Sukarno sebelum ia membacakan naskah Proklamasi Kemerdekaan.
"Apa? Lihat tuh, dramanya bagus banget," jawab Marno tanpa mengacuhkan istrinya.
"Aku minta maaf," kata Marni. Mendengar perkataan Marni, Marno pun segera menoleh.
"Minta maaf kenapa?"
"Tadi, lo. Waktu aku ngajak Mas Marno beli es, aku salah gandeng tangan orang. Tapi suwer, orangnya jelek. Wajahnya penuh jerawat." cerita Marni.
Marno tertegun. Sejatinya, ia pun tadi salah gandeng tangan orang.Â