Semenjak menggunakan gas untuk memasak, Guru Eko dan keluarga semakin takut menyalakan lilin. Jadi, tidak ada satu batang lilin pun di rumah keluarga guru itu.
Derai gerimis mulai terdengar pertanda hujan mereda. Namun, itu tidak lama. Sesudahnya hujan kembali turun dengan deras. Perlahan, sang kepala rumah tangga itu berjalan menuju peraduan di kamar depan. Kamar yang hanya terisi jika anak-anak mereka pulang.
Untuk membunuh sepi, sisa baterai yang ada ia gunakan untuk berkirim pesan dan berbalas WA. Itu pun tidak selancar jika lampu PLN terang benderang. Jika lampu 'mati', sinyal seluler penuh namun data internet sulit terkirim.
"Ah, tidur saja. Siapa tahu tengah malam nanti lampu hidup kembali. Dalam kegelapan semoga mata lekas terpejam," gumam guru bernama Eko itu.
Matanya pun semakin terasa berat. Antara sadar dan tidak, tiba-tiba terdengar seperti suara ketukan. Beberapa kali. Ada suara berat mengiring ketukan mengucapkan sepotong salam.
"Assalaamu'alaikum!"
"Tok tok tok ..., assalaamualaikum!"
Perlahan Guru Eko turun dari ranjang. Setelah kembali terdengar suara yang membuat hatinya deg-degan, ia buka korden jendela ruang tamu dan menyorotkan lampu hape keluar.
"Aku Hendra, Mas," aku sang pemilik suara.
Segera pemilik rumah mengenali suara yang tidak lain adik temannya yang sudah dianggap seperti saudara sendiri.