Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi memiliki dampak positif begitu banyak yaitu semakin mudahnya manusia dalam melakukan aktivitas hidupnya.Â
Dalam hal teknis, perkembangan itu patut kita apresiasi atas perkembangan dunia modern saat ini, tapi bukan berarti kita tidak memiliki permasalahan.Â
Dunia sedang dihadapkan  pada persoalan yang sangat menentukan perihal kelangsungan hidup manusia dan alam, yaitu persoalan krisis lingkungan. Kita melihat bagaimana sebuah bencana alam terus terjadi sehingga memberikan dampak yang sangat besar pada semua makhluk hidup.Â
Pada catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan pada tahun 2023 terjadi 5.400 bencana di Indonesia dengan 99,35% masuk kategori bencana Hidrometeorologi dan 0,65% kategori bencana geologi.Â
Bencana Hidrometeorologi adalah sebuah bencana yang diakibatkan aktivitas cuaca seperti siklus hidrologi, curah hujan, kelembapan, temperatur, dan angin. Penyebab bencana hidrometeorologi adalah cuaca ekstrem dan perubahan iklim. (BPBD.Bogorkab.go.id).
 Bencana kategori hidrometeorologi seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir  dan lain-lain. Bencana ini mengakibatkan banyak korban yang dirugikan seperti 275 meninggal, 5.795 luka-luka dan 8.491.288 mengungsi (bnpb.go.id). Melihat bencana yang terjadi, terlihat ada persoalan krisis lingkungan yang harus segera menemukan obat mujarab untuk mengakhirinya.
Permasalahan ParadigmaÂ
Krisis lingkungan disebabkan juga karena faktor paradigma terhadap alam, manusia telah merawat sebuah paradigma yang keliru yaitu sebuah paradigma yang memandang manusia sebagai pusat segalanya atau sering disebut paradigma antroposentris.Â
Antroposentris sebuah paradigma yang menggambarkan manusia sebagai penguasa tunggal dan alam sebagai objek yang harus dieksploitasi dan dihabisi, identitas antroposentris yaitu penekanan pada rasionalitas dan pada hal-hal yang sifatnya empiris dan bukan pada sebuah sistem organisme yang utuh antara manusia dan alam.
 Rasionalitas diperkenalkan oleh seorang filsuf modern yaitu Rene Descartes dengan pernyataan yang terkenal Corgito, Ergo Sum "Aku berpikir, maka aku ada". Pandangan itu membawa kita pada perceraian pikiran dan materi sehingga kita memandang alam sebagai sistem mekanis.Â
Pandangan Cartesian telah menyentuh pada persoalan organisme hidup, yang dianggap sebagai mesin atas bagian-bagian yang terpisah (Capra, 2019:27).
Persoalan lingkungan hidup ini sangat menarik karena menyangkut sebuah tempat tinggal, lingkungan hidup dipahami sebagai oikos dari bahasa yunani artinya habitat tempat tinggal.Â
Oikos yang dipahami bukan hanya sekedar dipahami sebagai tempat tinggal manusia, tetapi oikos dipahami sebagai keseluruhan alam semesta dan seluruh interaksi saling pengaruh yang terjalin di dalamnya. Di antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan dengan keseluruhan ekosistem atau habitat yang saling terjalin (Keraf, 2014:42).
Perubahan paradigma yang mengakibatkan manusia mengalami krisis persepsi dalam memandang alam.Â
Sebuah paradigma dalam memandang alam sebagai  mesin-mekanik yang hanya pemberi kepuasan dan pemenuhan kebutuhan manusia, paradigma merupakan faktor dominan yang sangat berpengaruh. Paradigma ini dipelofori oleh filosof Rene Descartes yang merupakan pelopor pemikiran mekanistik-dualistik (Russel, 2002:737-745)
. Dalam perubahan paradigma, Capra menggambarkan paradigma ini sebagai perubahan dari paradigma yang mendominasi budaya  barat Selama beberapa ratus tahun dan sekaligus membentuk masyarakat barat modern.Â
Serta mempengaruhi secara mendalam untuk dunia pada umumnya, kita perlu beralih kepada paradigma yang memandang alam sebagai bagian dari sistem yang tidak bisa dipisahkan.Â
Yaitu peralihan paradigma Cartesian dan Newtonian yang mekanistis menuju kepada paradigma baru yang lebih sistematis-organis dan holistik ekologis (Keraf, 2012:51).
Paradigma Masyarakat AdatÂ
Kekeliruan paradigma yang memandang hanya manusia sebagai makhluk hidup di bumi, merupakan paradigma yang keliru.Â
Kita harus melihat paradigma yang seimbang supaya bisa saling menguntungkan antar makhluk hidup, bukan merugikan bahkan mengancam kehidupan.Â
Paradigma yang melihat tidak hanya manusia sebagai makhluk hidup, merupakan paradigma yang dirawat oleh sebagian masyarakat kita yaitu masyarakat adat.
 Kita yang selalu mengikrarkan diri sebagai manusia modern perlu belajar pada masyarakat adat yang telah membawa alam kepada keseimbangan.
Ternyata mempelajari kehidupan masyarakat adat merupakan hal yang penting karena masyarakat adat telah menghasilkan beragam pemecahan terhadap berbagai masalah manusia, sebuah pemecahan yang berbeda dengan manusia modern (Diamond, 2018:10).Â
Pemecahan masalah yang dilakukan masyarakat adat bisa terlihat, seperti bagaimana membesarkan anak, menjaga kesehatan, dan penyelesaian perselisihan.Â
Bahkan masyarakat adat punya banyak variasi dalam menilai problem kehidupan, untuk itu kita harus melihat masyarakat adat sebagai paradigma baru.
Masyarakat adat melekat pada nilai-nilai yang telah diwariskan neneng moyang, sebagai ajaran yang harus diamalkan.Â
Ajaran yang melekat pada masyarakat adat selalu memandang alam sebagai satu kesatuan yang utuh, pelajaran untuk manusia mengenal batas karena tidak semua komponen alam harus dieksploitasi.Â
Karlina Supelli mengatakan masyarakat adat selalu dekat dengan alam, memandang hutan bukan sekedar sumber mata pencaharian melainkan hutan dipandang sebagai acuan bagi rasa merasa akan kosmos, sejarah muasal, tata hukum dan tunjuk ajar perilaku yang terus diamalkan dan dirawat sampai sekarang(Karlina Supelli dalam Pidato Kebudayaan).
Kesadaran akan alam sudah seharusnya dijalankan tidak terbatas pada masyarakat adat saja, melainkan oleh semuanya untuk mengatasi krisis multidemsional.Â
Di Indonesia banyak sekali masyarakat adat yang memiliki pandangan hutan sebagai hal yang sakral, misalnya masyarakat adat Baduy.Â
Masyarakat Baduy sampai sekarang terus merawat lingkungannya, sehingga keseimbangan ekosistem terawat dengan baik. Masyarakat Baduy memiliki paradigma ekosentris yaitu sebuah pandangan bahwa alam sebagai oikos yang utuh, sehingga perlu dirawat.
Paradigma Masyarakat Baduy
Masyarakat adat Baduy salah satu masyarakat adat yang masih memegang teguh pada peraturan adat, khususnya yang berkaitan dengan pelestarian alam.Â
Meskipun masyarakat adat Baduy terbagi menjadi dua bagian yaitu, masyarakat adat Baduy luar dan Baduy dalam.Â
Pembagian ini terlihat pada pola kehidupan sehari-hari, Baduy dalam sebagai kelompok yang masih memegang teguh pada peraturan adat sedangkan Baduy luar agak sedikit longgar meskipun dua-duanya memiliki keyakinan yang sama.Â
Masyarakat Baduy memiliki pedoman yang harus dipegang teguh oleh setiap warga masyarakat adat Baduy, pedoman itu disebut dengan Pikukuh Sapuluh dan Pikukuh Karuhun.
Pada pikukuh karuhun merupakan pedoman bukan hanya untuk masyarakat Baduy saja melainkan masyarakat luar yang melakukan kunjungan ke Baduy harus menaati pikukuh karuhun.Â
Isi dari pikukuh karuhun tersebut misalnya Dilarang masuk kedalam hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya, dan Dilarang menggunakan teknologi kimia, seperti menggunakan pupuk, dan obat pemberantas hama penyakit dan meracuini ikan.Â
Pedoman tersebut sebagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat adat Baduy sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang meliputi seluruh makhluk hidup di dalamnya.
Kita perlu melihat etika dengan corak paradigma masyarakat adat Baduy karena bagaimanapun juga etika merupakan ilmu yang berbicara mengenai tindakan. Ada harapan dengan penanaman nilai-nilai etika terhadap alam, dapat melahirkan sebuah pandangan yang akan melahirkan sikap bahwa menjaga lingkungan merupakan kewajiban manusia sebagai yang diamanahkan dan harus dilaksanakan. Pikukuh atau pedoman yang membersamai masyarakat Baduy, memerintahkan manusia untuk tidak membuat kerusakan di bumi, berarti Baduy memiliki sebuah paradigma yang sangat menekankan akan pentingnya penyelematan, perawatan dan pelestarian lingkungan hidup.
Masyarakat Baduy pada pengelolaan alam memiliki sifat konservasi yang sangat baik berkaitan mengelola dan memanfaatkan alam.Â
Terbangunnya sebuah pandangan hidup untuk melakukan pelestarian terhadap lingkungan terlihat dari cara penilaian terhadap alam seperti adanya amanah buyut (pesan moyang) yang masih dipegang teguh sampai sekarang.Â
Amanah buyut merupakan sarana untuk menjaga keseimbangan dengan alam, keseimbangan tersebut bisa terbangun ketika masyarakat Baduy mampu harmonis dengan alam.Â
Sebagaimana pesan dari amanah buyut amanah buyut yang berbunyi, "lojor teu meunang di potong, pondok teu meunang di sambung" (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung).
 Selain itu ada juga petatah-petitih lain yang mengajarkan untuk tidak melakukan perusakan terhadap alam yaitu "Gunung ulah dilebur, lebak ulah dirusak" (Gunung tidak boleh dihancurkan, Lembah tidak boleh dihancurkan).
 Itu hanya Sebagian konsep yang terdapat di amanah buyut yang mengajarkan sebuah prinsip untuk tidak melakukan perusakan terhadap alam, tidak melakukan perubahan terhadap alam biarkan alam mengatur dirinya sendiri.
Saat dimana manusia memperlihatkan keserakahannya yaitu setiap gunung dikeruk, aliran sungai tercemar, hutan terus dibabat, keanekaragaman hayati terancam dan masih banyak daftar perusakan lingkungan yang dilakukan manusia.Â
Keserakahan itu melahirkan beragam bencana yang menimpa manusia, yang diawali dari paradigma yang keliru yaitu melihat alam sebagai dunia kosong yang harus dieksploitasi.Â
Melihat bencana alam yang terus mengalami peningkatan penulis mengajak untuk kita bisa melihat kembali Baduy sebagai sebuah paradigma baru yang harus kita jalankan. Perbaikan cara pandang kita terhadap alam merupakan salah satu jalan yang harus kita tempuh untuk perbaikan masalah lingkungan.
Lingkungan dengan segala permasalahannya merupakan akibat dari permasalahan moral manusia terhadap alam, karena itu sangat berkaitan dengan perilaku manusia.Â
Sehingga kita bisa simpulkan bahwa krisis ekologi global ini merupakan berawal daripada krisis moral, yang itu terjadi secara global. Sehingga, kita perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya (Keraf, 2010:1).Â
Moralitas terhadap alam sangat penting, perbaikan itu dengan cara manusia memandang alam sebagai yang hidup bukan melihat alam sebagai mesin yang harus dihabiskan.Â
Atas segala permasalahan yang terjadi mudah-mudahan kita bisa kembali kepada paradigma yang sehat yaitu sehat untuk lingkungan dan juga sehat untuk manusia.
Mengatasi krisis lingkungan yang terjadi dengan mengubah paradigma dari Antroposentris menuju pada paradigma yang holistik atau ekosentris.
 Selain itu harus ada sinergitas dan kemauan dari seluruh lapisan masyarakat, karena untuk membangun keharmonisan ekosistem dan untuk mengakhiri krisis lingkungan. Secara bersamaan menuju masyarakat yang berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H