Mohon tunggu...
Surya Al Bahar
Surya Al Bahar Mohon Tunggu... Jurnalis - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri surabaya

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Aktif di organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Komisariat Unesa dan PAC. IPNU Kecamatan Glagah. Selain itu, kesehariannya sering menulis puisi, cerpen, dan opini untuk konsumsi sendiri dan aktif di beberapa kelompok diskusi, salah satunya kelompok diskusi Damar Asih. Selain di kompasiana, ia juga sering mengabadikan tulisannya di blog pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dari Topo Wudo hingga Gelap Mencari Penerangan

23 Desember 2019   15:09 Diperbarui: 23 Desember 2019   15:22 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: dewisundari.com

Tulisan ini saya peruntukkan untuk memperingati hari ibu yang serentak diperingati setiap tanggal 22 Desember. Ada dua terminologi yang saya pikirkan, yaitu antara Ibu dan ke-ibuan pasti memiliki pembahasan yang sedikit berbeda. Sama halnya dengan Indonesia dan ke-Indonesiaan, manusia dan ke-manusiaan, dan lainnya.

Terminologi semacam itu jelas memiliki wilayah makna berbeda. Secara sederhananya, ibu merupakan orang yang mengandung, melahirkan, merawat, dan membesarkan kita sampai saat ini, sampai Tuhan mempunyai keputusan lain untuk memanggilnya.

Namun di sepanjang perjalanan tersebut, ibu tidak pernah lelah menjadi sosok perempuan yang senantiasa menantikan perkembangan tiap anak-anaknya. Lain lagi dengan keibuan, keibuan bisa dimaknai dari sifat keibuan, sifat yang melekat pada ibu.

Bukan hanya dimiliki oleh seorang perempuan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan, sosok laki-laki bisa berubah menjadi sosok keibuan ketika memang keadaan sudah membutuhkan.

Karena sifat keibuan ini bisa hinggap di manapun. Ketika sosok tersebut bisa dianalogikan mengganti peran seorang ibu, kemudian munculah sifat keibuannya, artinya sama persis menyerupai bagaimana seorang ibu, otomatis ia memiliki sifat keibuan pada dirinya.

Kelompok feminisme lebih memaknai hari ibu adalah hari perempuan, di mana dengan hari ibu ini jangan sekali menyembunyikan makna perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Bahwa tidak selamanya perempuan itu 3M (Macak, manak, masak), melainkan lebih dari itu. Perempuan harus bisa mengambil peran di segala bidang, baik pendidikan, sosial, poliik, pemerintahan, dan sebagainya. Keadilan gender di tempat apapun harus diperjuangkan agar perempuan memiliki nilai lebih dalam pandangan masyarakat.

Masyarakat pun setidaknya perlu pemahaman awal bagamimana keadilan gender itu, kemudian di mana posisi perempuan yang sehaarusnya, serta apa yang harus dilakukan perempuan untuk memulai hal tersebut.

Banyak sekali tokoh penting perempuan yang dibuat sebagai simbolisme nilai para perempuan untuk memicu semangat memperjuangkan keadilan di mata sosial. Kita sudah sering mengenal tokoh perempuan bernama RA. Kartini.

Siapa yang tidak ingat Kartini, setiap tanggal 21 April kita sering memperingatinya sebagai hari Kartini, bahkan di dalam kalender Indonesia, Kartini merupakan salah satu tokoh nasional yang diperingati hari kelahirannya, selain Nabi Muhammad SAW dan Nabi Isa as.

Kartini merupakan tokoh Jawa dari Jepara, anak dari Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang Bupati Jepara dan pada tanggal 12 November 1903 Kartini diperistri Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.

Semasa kecil, Kartini cukup beruntung, selain ia putri bangsawan, ia juga mempunyai kakak bernama Sosrokartono yang ahli di bidang bahasa. Maka dari itu ketika Kartini berumur 12 tahun, ia sudah diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School).

Di sekolah itu, Kartini belajar bahasa Belanda, kemudian selang beberapa waktu setelah Kartini selesai sekolah, berhubung ia sudah bisa berbehasa Belanda, maka ia sering mengirim surat untuk teman-teman korespondensinya di Belanda.

Salah satu temannya bernama Rosa Abendanon. Di sisi lain Kartini sering berkirim surat untuk teman-temannya di Eropa, ia juga sering membaca majalah lokal atau surat kabar Semarang yang bernama De Locomotief, diasuh oleh Pieter Brooshooft.

Selain itu, ia juga suka membaca pengetahuan-pengetahuan berat yang mencangkup ilmu dan kebudayaan, apalagi terkait dengan majalah wanita Belanda yang berjudul De Hollandsche Leile.

Dari situ bisa dikatakan kalau pemikiran-pemikiran Kartini mulai berubah tentang perempuan. Baru setelah Kartini wafat, dari surat-surat itu, ada inisiatif dari Abendanon untuk mengumpulkan surat-surat yang pernah dikirim Kartini untuk teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang artinya "Dari kegelapan menuju cahaya" atau umumnya kita lebih mengenal "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Pemikiran emansipasi wanita menjadi daya tarik sendiri bagi kaum-kaum perempuan di tengah-tengah memperjuangkan keadilannya. Konsep emansipasi wanita harus bisa terlepas dari pengengkangan yang bersifat merendahkan, kemudian harus bisa mengubah stigma masyarakat tentang kedudukan wanita di lingkungannya, baik sosial, hokum, politik, karir, dan lainnya. Emansipasi wanita pada masa Kartini lebih dikrucutkan lagi pada keadilan wanita untuk berpendidikan.

Akan tetapi yang paling menonjol, itu pun bisa dilihat dari surat-suratnya, bahwa ia tertarik menjadi kaum muda Eropa. Kaum muda yang bebas menetukan kebebasannya, kaum muda yang bebeas menentukan pilihannya masing-masing. Kaum wanita pada masanya, terutama di Jawa, dalam pandangan Kartini diibaratkan sepeti dalam penjara yang terkungkung oleh adat istiadat pada saat itu. Lebih tepatnya terkurung adat istiadat Jawa yang membuat peghambat kemajuan perempuan. Yang ia ingin, wanita mempunyai kebebasan menuntut ilmu dan belajar, agar ia bisa mengembangkan diri dan menemukan siapa dirinya.

Mengapa Kartini sampai diperingati hari kelahirannya sampai saat ini? Jawabannya adalah karena nilai-nilainya masih berkembang di era modern ini. Berkat Kartini, kaum-kaum perempuan bisa menikmati rasanya berpendidikan. Namun saat ini bukan hanya pendidikan yang menjadi dasar perempuan bergerak, tapi ada beberapa hal lain yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu sinisme anatar kaum perempuan sendiri. Terkadang perjuangan kaum feminisme terkendala oleh kaum perempuan sendiri.

Hal itu tampak pada anggapan-anggapan miring masyarakat terhadap kaum feminis, antara perempuan satu dengan perempuan lain tidak disadarkan pada niat untu memperjuangkan keadilannya, melainkan sibuk menilai satu sama lain, itu yang harus diperhatikan.

Selain itu media juga tidak kalah penting, topik pemberitaan mengenai perempuan harus juga bisa diselaraskan dan dibahasakan yang jangan selalu memojokkan kaum perempuan.

Yang berkembang saat ini adalah, ketika salah satu perempuan terkena kasus, maka topik yang diambil untuk diberitakan pasti menyudutkan pihak perempuan. Apalagi kalau sudah menyangkut tentang pelecehan pada kaum perempuan.

Kartini memang banyak dikenal, baik dalam dunia pendidikan maupun dunia umum. Karena tidak menutup kemungkinan, Kartini merupakan tokoh kontemporer dibanding tokoh-tokoh yang lain. Selain Kartini, kita mengenal Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Mutia, Fatmawati dan tokoh perempuan lainnya. Entah kita kurangnya literasi atau kurangnya minat untuk belajar sejarah ataupun kurang menghargai tokoh-tokoh terdahulu yang tidak kalah penting. Kita kurang diperkenalkan beberapa tokoh perempuan yang lahir dari kalangan kerajaan, padahal dari kalangan kerajaan banyak sekali menciptakan pemimpin perempuan yang tidak kalah hebantnya.

Contoh saja salah satunya yang gagah berani dari Jawa yaitu bernama Ratu Kalinyamat. Ia seorang raja perempuan yang bertempat tinggal di  Kalinyamat, suatu daerah di Jepara yang sampai sekarang masih ada. Kalinyamat kira-kira 18 kilo meter dari Jepara masuk ke pedalaman, di tepi jalan ke Jepara Kudus. Pada abad ke-16 Kalinyamat menjadi tempat kedudukan raja-raja di Jepara. Kalinyamat adalah nama suatu daerah yang juga dipakai sebagai nama penguasanya

Di kalangan bangsa Portugis, Ratu Kalinyamat merupakan sosok perempuan yang sangat pemberani. Bahkan referensi yang bersumber dari Portugis melukiskan Ratu Kalinyamat dengan nama lain yaitu De Kranige Dame atau seorang wanita yang gagah pemberani.

Selain itu, kebesaran Ratu Kalinyamat pernah ditulis oleh penulis asal Portugis bernama Diego de Couto sebagai Rainha de Jepara, senhora paderosa e rica yang mempunyai arti Ratu Jepara, seorang wanita kaya dan sangat berkuasa di Jepara.

Bagaimana bisa seorang perempuan sampai dijadikan simbolis kemudian dituliskan lagi dengan nama agung yang penuh apresiasi dari Negara lain kalau tidak ia memang membuat kesan bangsa tersebut.

Jadi bisa dibayangkan bagaimana gagah beraninya Ratu Kalinyamat pada zaman dahulu. Seorang perempuan yang menjadi Ratu serta gagah berani melawan Portugis yang pada saat itu menindas Bangsa Indonesia.

Abad ke 16 adalah abad yang paling menonjol untuknya, pada masa itu masa kepemimpinan yang cemerlang. Ia mulai menonjol ketika ada perebutan tahta dalam keluarga Kasultanan Demak, sebab ia menjadi acuan dalam memutuskan permasalahan. Ia adalah seorang putri dari Raja Demak ketiga yaitu Sultan Trenggana, sedangkan Sultan Trenggana adalah putra dari Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak.

Pada waktu itu ada tragedi politik yang menumpahkan korban banyak, terutama perebutan kekuasaan antara Arya Penangsang dengan Jaka Tingkir untuk menduduki tahta kerjaan Demak Bintara.

Bukan hanya perpolitikan untuk menguasai Demak, namun ada juga strategi perpolitikan untuk membunuh Arya Penangsang, yang itu muncul dari pengikut Jaka Tingkir. Kematian Arya Penangsang bukan dibunuh Jaka Tingkir, melainkan dibunuh dengan strategi politik yang dimainkan Ki Ageng Pamenahan, sehingga seolah-olah Arya Penangsang dibunuh oleh Panembahan Senopati yang sekaligus anak dari Ki Ageng Pamenahan sendiri, karena pada waktu itu, barang siapa yang bisa mengalahkan Arya Penangsa maka Jaka Tingkir akan memberikan hadiah berupa tanah Mataram. Itulah yang menjadi simbol transisi dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram.  

Padahal sebelumnya, Ratu Kalinyamat melakukan tapa bernama Tapa Wuda Sinjang Rambut, artinya ia melakukan tapa dengan tubuh telanjang. Tapa tersebut dilakukan olehnya karena protes terhadap kekerasan yang dilakukan oleh Arya Penangsang. Penyebabnya adalah, Sultan Hadiri suaminya dan saudara laki-lakinya bernama Sunan Prawata berhasil dibunuh Arya Penangsang hanya demi kepentingan politiknya.

Namun di kalangan masyarakat, Tapa Wuda Sinjang Rambut ini masih menjadi perdebatan, artinya belum ada kesepakatan bahwa itu memang tapa telanjang atau hanya sebuah kiasan.

Ia berjanji mau keluar dari tempat pertapaannya di Danaraja setelah Arya Penangsang mati terbunuh dan itu sudah dikomunikasikan dengan Jaka Tingkir, maka setelah Arya Penangsang mampu dikalahkan pasukan Jaka Tingkir, Ratu Kalinyamat bersedia keluar dan mengakhiri pertapaannya.

Nama asli Ratu Kalinyamat adalah Retna Kencana, Kalinyamat adalah nama gelar setelah ia dilantik menjadi penguasa Jepara. Penobatan ini ditandai dengan sengkalan tahun (candra sengkala) Trus Karya Tataning Bumi yang diperhitungkan sama dengan 10 April 1549. Jika mengambil sumber dari Portugis yang ditulis oleh Meilink-Roelofsz menyebutkan bahwa Jepara menjadi kota pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa dan memiliki armada laut yang besar dan kuat pada abad ke-16.

Bukti lain yaitu sumber yang didapat dari musafir Portugis yang bernama Fernao Mendez Pinto (1510-1583), ia menerangkan ketika ia datang di Banten pada tahun 1544, datang lah utusan Raja Demak, seorang wanita bangsawan tinggi bernama Nyai Pombaya. Besar kemungkinan yang dimaksudkan adalah Ratu Pembayun (Ratu kalinyamat yang sebagai putri sulung Sultan Trenggana).

Ratu Kalinyamat merupakan sosok raja perempuan Jawa yang sangat diperhitungkan keberadaannya. Jepara pada masa Ratu Kalinyamat mempunai kualitas yang sangat berkembang pesat dari sebelumnya. Awal mula dari tindakan penyerahan diri yang ditandai dengan tapa, kemudian setelah dendamnya dibalas oleh Jaka Tingkir, akhirnya ia keluar menjadi pemimpin Jepara yang sangat gagah pemberani dan disegani para kalangan di kanca internasional.

Dari sektor ekonomi, Ratu Kalinyamat mampu mengembalikan stabilitas ekonomi yang semula menurun karena Demak pada masa Adipati Unus mengalami kekalahan waktu melawan Malaka di laut, sehingga menyebabkan Jepara nyaris hancur, akan tetapi untungnya sektor eknomi bagian laut bisa dikatakan masih stabil, namun tetap dalam perbaikan.

Tapi setelah Ratu Kalinyamat beberapa tahun berkuasa, ia masif melakukan konsolidasi ekonomi, sehingga pada abad 16, perdagangan Jepara semakin membaik dari daerah sebrang laut. Dari situ Ratu Kalinyamat bukan hanya terkenal menjadi penguasa politik, melainkan juga penguasa perdagangan.

Selain di bidang ekonomi, Ratu Kalinyamat pun bermain dalam bidang hubungan internasional. Hal itu dibuktikan dengan pada tahun 1550, Raja Johor mengirim surat kepada Ratu Kalinyamat dan mengajak untuk melakukan perang suci melawan Portugis yang saat itu kebetulan sedang lengah dan menderita berbagai macam kekurangan.

Akhirnya Ratu Kalinyamat dengan Raja Johor berhasil menguasai Malaka dengan mengirim 200 buah kapal armada persekutuan Muslim, 40 buah di antaranya berasal dari Jepara. Armada itu membawa empat sampai lima ribu prajurit, dipimpin oleh seorang yang bergelar Sang Adapati. Sifat berani Ratu Kalinyamat ini tampak dalam perjuangannya yang gigih dalam menentang kekuasaan bangsa Portugis.

Dan juga ia adalah salah seorang raja perempuan yang melakukan penyerangan dua kali kepada Portugis di Malaka, yaitu pada tahun 1551 dan tahun 1574.

Banyak sekali hubungan diplomasi Jepara dalam bidang ekonomi, terutama di Ambon, Aceh dan kota-kota strategis laut kebanyakan. Selain hubungan ekonomi, ia juga tidak segan-segan dimintai tolong ketika adasuatu kerajaan yang sedang mengalami perselisihan konflik di wilayah kekuasaannya.

Tidak hanya itu, pada tanggal (15/4/19) kemarin, Ratu Kalinyamat diusulkan menjadi pahlawan nasional. Seperti berita yang dilansir oleh news.detik.com, dengan alasan bahwa Ratu Kalinyamat memiliki gagasan besar dalam poros maritim, karena ide-ide yang dicetuskan pada masanya, perihal tentang kemaritiman sudah melampaui zamannya.

Dua tokoh Jepara ini memiliki sumber nilai yang sangat bisa dibuat bahan belajar. Meskipun mereka terdapat dalam dimensi waktu yang berbeda, tapi yang diperjuangkan adalah bagaimana mendapatkan sesuatu dengan benar. Artinya seorang perempuan jangan hanya bisa berdiam diri pada kualitas diri yang stagnan, melainkan harus berkelanjutan.

Tidak ada salahnya perempuan mengambil peran di segala bidang, karena memang ada yang bisa dikerjakan laki-laki, ada juga yang hanya bisa dikerjakan perempuan. Jadi hidup itu dinikmati dan saling melengkapi. Perempuan harus berjuang untuk apa yang ia mau.

Sudah ada dua tokoh yang dilustrasikan di atas. Sebenarnya masih ada beberapa tokoh perempuan lain. Bahkan sebelum Ratu Kalinyamat pun ada pemimpin perempuan pada masa kerajaan Majapahit, ia dikenal dengan nama Tribuana Tungga Dewi Jaya Wisnu Wardani. Kemungkinan masih ada banyak lagi selain tokoh-tokoh tersebut.

Tapi tetap keadaanlah yang membuat manusia itu berjuang, andai kita dihidupkan pada masa lampau dengan gambaran seperti itu, apakah kita mampu menjadi sosok-sosok seperti mereka, penuh tauladan dan nilai perjuangan untuk kehidupan. Sebuah pertanyaan besar?

Lamongan,

23 Desember 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun