Kartini memang banyak dikenal, baik dalam dunia pendidikan maupun dunia umum. Karena tidak menutup kemungkinan, Kartini merupakan tokoh kontemporer dibanding tokoh-tokoh yang lain. Selain Kartini, kita mengenal Cut Nyak Dien, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Mutia, Fatmawati dan tokoh perempuan lainnya. Entah kita kurangnya literasi atau kurangnya minat untuk belajar sejarah ataupun kurang menghargai tokoh-tokoh terdahulu yang tidak kalah penting. Kita kurang diperkenalkan beberapa tokoh perempuan yang lahir dari kalangan kerajaan, padahal dari kalangan kerajaan banyak sekali menciptakan pemimpin perempuan yang tidak kalah hebantnya.
Contoh saja salah satunya yang gagah berani dari Jawa yaitu bernama Ratu Kalinyamat. Ia seorang raja perempuan yang bertempat tinggal di  Kalinyamat, suatu daerah di Jepara yang sampai sekarang masih ada. Kalinyamat kira-kira 18 kilo meter dari Jepara masuk ke pedalaman, di tepi jalan ke Jepara Kudus. Pada abad ke-16 Kalinyamat menjadi tempat kedudukan raja-raja di Jepara. Kalinyamat adalah nama suatu daerah yang juga dipakai sebagai nama penguasanya
Di kalangan bangsa Portugis, Ratu Kalinyamat merupakan sosok perempuan yang sangat pemberani. Bahkan referensi yang bersumber dari Portugis melukiskan Ratu Kalinyamat dengan nama lain yaitu De Kranige Dame atau seorang wanita yang gagah pemberani.
Selain itu, kebesaran Ratu Kalinyamat pernah ditulis oleh penulis asal Portugis bernama Diego de Couto sebagai Rainha de Jepara, senhora paderosa e rica yang mempunyai arti Ratu Jepara, seorang wanita kaya dan sangat berkuasa di Jepara.
Bagaimana bisa seorang perempuan sampai dijadikan simbolis kemudian dituliskan lagi dengan nama agung yang penuh apresiasi dari Negara lain kalau tidak ia memang membuat kesan bangsa tersebut.
Jadi bisa dibayangkan bagaimana gagah beraninya Ratu Kalinyamat pada zaman dahulu. Seorang perempuan yang menjadi Ratu serta gagah berani melawan Portugis yang pada saat itu menindas Bangsa Indonesia.
Abad ke 16 adalah abad yang paling menonjol untuknya, pada masa itu masa kepemimpinan yang cemerlang. Ia mulai menonjol ketika ada perebutan tahta dalam keluarga Kasultanan Demak, sebab ia menjadi acuan dalam memutuskan permasalahan. Ia adalah seorang putri dari Raja Demak ketiga yaitu Sultan Trenggana, sedangkan Sultan Trenggana adalah putra dari Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak.
Pada waktu itu ada tragedi politik yang menumpahkan korban banyak, terutama perebutan kekuasaan antara Arya Penangsang dengan Jaka Tingkir untuk menduduki tahta kerjaan Demak Bintara.
Bukan hanya perpolitikan untuk menguasai Demak, namun ada juga strategi perpolitikan untuk membunuh Arya Penangsang, yang itu muncul dari pengikut Jaka Tingkir. Kematian Arya Penangsang bukan dibunuh Jaka Tingkir, melainkan dibunuh dengan strategi politik yang dimainkan Ki Ageng Pamenahan, sehingga seolah-olah Arya Penangsang dibunuh oleh Panembahan Senopati yang sekaligus anak dari Ki Ageng Pamenahan sendiri, karena pada waktu itu, barang siapa yang bisa mengalahkan Arya Penangsa maka Jaka Tingkir akan memberikan hadiah berupa tanah Mataram. Itulah yang menjadi simbol transisi dari Demak ke Pajang kemudian ke Mataram. Â
Padahal sebelumnya, Ratu Kalinyamat melakukan tapa bernama Tapa Wuda Sinjang Rambut, artinya ia melakukan tapa dengan tubuh telanjang. Tapa tersebut dilakukan olehnya karena protes terhadap kekerasan yang dilakukan oleh Arya Penangsang. Penyebabnya adalah, Sultan Hadiri suaminya dan saudara laki-lakinya bernama Sunan Prawata berhasil dibunuh Arya Penangsang hanya demi kepentingan politiknya.
Namun di kalangan masyarakat, Tapa Wuda Sinjang Rambut ini masih menjadi perdebatan, artinya belum ada kesepakatan bahwa itu memang tapa telanjang atau hanya sebuah kiasan.