Pesan itu datang dari kakakku nomor dua, Mbak Bety. Dialah satu-satunya di antara kami berlima yang sudah bersuami. Kakak pertamaku, Mbak Antik belum menikah. Demkian pula aku dan kedua adikku. Masih single.
"Dijawab apa, mbak?" tanya Dewi sambil berjalan mendekatiku.
"Biar saya saja yang jawab," tutur Endang sambil meminta HP yang dipegang Dewi.
"Tulis saja apa adanya," ucapku sambil membetulkan bulu mata palsu.
Tidak sampai tiga menit, Endang sudah selesai menuliskan jawabannya. Sebelum dikirim, ia memintaku untuk membaca terlebih dahulu. Aku tersenyum setelah membaca tulisan itu. Dewi penasaran ingin tahu. Ia baca perlahan tulisan di HP-ku.
Kami bertiga sudah di kamar 215 Gedung Graha Pemuda. Tamu istimewa harus datang lebih awal.
Pukul 09.45 aku sudah dijemput oleh seorang panitia resepsi untuk menuju ruang acara. Kedua adikku segera aku ajak mendampingi. Mereka sangat gembira. Senyumnya selalu tersungging.
Beberapa tamu undangan kulihat sudah berdatangan. Umumnya, mereka suami istri yang aku dapat pastikan adalah rekan-rekan dari orang tua mempelai. Biasanya seperti itu. Rasa ikut berbahagia ditunjukkan dengan kehadiran saat resepsi diadakan.
Satu demi satu rangkaian acara dapat aku pandu dengan lancar. Dalam resepsi itu aku melihat ada dua keanehan atau kejanggalan yang belum pernah aku lihat pada acara-acara resepsi sebelumnya.
Kejanggalan pertama, aku perhatikan ibu dari mempelai wanita sering melamun. Pandangannya hampa. Beberapa kali ia disenggol suaminya karena ada tamu yang mendekat untuk memberikan ucapan selamat.
Kejanggalan kedua, mempelai wanita duduknya agak menjauh dari mempelai pria. Dandanan mempelai wanita juga sangat tertutup. Ia memakai cadar. Hidung, mulut, dan pipinya tidak terlihat. Kedua matanya saja yang tampak.