Mohon tunggu...
Suprihadi SPd
Suprihadi SPd Mohon Tunggu... Penulis - Selalu ingin belajar banyak hal untuk dapat dijadikan tulisan yang bermanfaat.

Pendidikan SD hingga SMA di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Kuliah D3 IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY) dilanjutkan ke Universitas Terbuka (S1). Bekerja sebagai guru SMA (1987-2004), Kepsek (2004-2017), Pengawas Sekolah jenjang SMP (2017- 2024), dan pensiun PNS sejak 1 Februari 2024.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pernikahan Kedua

23 April 2024   08:33 Diperbarui: 23 April 2024   08:41 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pernikahan Kedua

Entah kebetulan atau memang sudah takdir, aku dilahirkan dengan empat saudara laki-laki. Kakekku sangat bangga dengan keadaan ini. Pada saat aku dilahirkan, ayahku memberi nama Yudi. Dalam akta kelahiran nama lengkapku Yudistira.

Aku tidak keberatan diberi nama dengan nama tokoh pewayangan. Justru aku harus bangga karena keempat adikku, semuanya diberi nama dengan tokoh-tokoh berhati mulia dalam cerita Mahabharata.

Kakekku selalu membanggakan keluarga kami dengan istilah keluarga Pandawa. Adikku bernama Bima, Permadi, Nakula, dan Sadewa. Dalam cerita Mahabharata, Nakula dan Sadewa adalah saudara kembar. Namun, dalam keluargaku, Nakula satu tahun lebih dahulu dilahirkan daripada Sadewa.

Saudara kandung ayahku ada empat. Satu di antara mereka sangat kurang cocok dalam berbagai hal dengan keluarga kami. Oleh kakek, keluarga itu dijuluki keluarga Korawa. Kami sebenarnya kurang setuju dengan sebutan itu. Nama adalah doa. Dengan menjuluki saudara ayah sebagai Korawa, seolah-olah ada doa keluarga itu seperti tokoh keluarga Korawa yang jahat.

"Kakak Yudi, apakah sudah mendengar kalau adik Permadi akan menikah lagi?" tanya adikku Bima pada suatu sore.

Saat itu keluarga besar kami baru saja mengadakan arisan. Sebagian besar saudara dan kemenakan kami sudah pulang. Adikkku Bima belum pulang karena istrinya ikut membantu beres-beres di dapur.

"Nama adalah doa," ucapku pendek.

"Dalam cerita Mahabharata, nama lain Permadi adalah Janaka atau Arjuna. Tokoh ini terkenal suka menikah," lanjutku menjelaskan.

"Kita doakan istri keduanya seperti Srikandi!" tutur Bima yang aku yakin paham juga terhadap cerita klasik dari India itu.

Tokoh Srikandi adalah tokoh yang pemberani. Dalam era saat ini, nama Srikandi sering disematkan kepada wanita yang berjasa dalam bidang tertentu, khususnya bidang olah raga panahan. Pada cerita Mahabharata versi India maupun versi Jawa Kuna, Srikandi memang jago memanah.

"Masalahnya, wanita yang akan dinikahi Permadi berasal dari keluarga istri Paman Yuda," ucap adik Bima dengan wajah sedih.

Paman Yuda adalah saudara ayahku yang dijuluki kakek sebagai keluarga Korawa. Nama Yuda sering diplesetkan menjadi Duryudana, tokoh keluarga Korawa. Padahal nama Paman Yuda di akta kelahirannya adalah Yuda Pratama.

"Kalau keduanya saling mencintai dan istri pertama Permadi menyetujui, apa salahnya? Bukankah itu syarat yang berlaku?" tanyaku menyelidik.

Bima terdiam beberapa saat. Sebelumnya aku mendengar selentingan, bukan itu masalahnya. Maksudku bukan kerena calon istri kedua adalah keluarga dari istri Paman Yuda. Bukan itu pokok persoalannya.

"Sebenarnya, masalah yang menjadi beban bagi Permadi adalah soal uang antaran atau uang panai," tutur Bima selanjutnya.

"Karena masalah uang mahar itu lantas dibuatlah skenario kalau mereka tidak berjodoh karena dari dua kubu yang berseteru, begitu?" tanyaku sedikit emosi. 

Bima memandangku dengan heran. Ada perubahan pada wajah adikku itu. Rona wajah yang semula menunjukkan rasa sedih telah berubah menjadi ketakutan.

Mengetahui perubahan pada wajah adikku, segera aku turunkan nada suaraku. Aku tidak ingin terlihat galak atau pemarah. Sebagai kakak tertua harus berusaha menjadi pengayom bagi semua adik-adikku.

"Begini. Kita harus berhati-hati dalam menghadapi persoalan ini. Permadi harus kita ajak berunding. Informasi apa yang telah ia terima. Kemudian, saudara-saudara kita yang lain memperoleh informasi seperti apa. Akhir-akhir ini banyak hoax!" ucapku dengan penekanan pada kata terakhir.

"Waduh, kenapa tadi waktu arisan tidak kita bahas masalah ini?" ucap Bima sambil garuk-garuk kepala.

"E ... jangan mencampuradukkan kegiatan," kataku, "Acara arisan, ya, arisan. Untuk membahas persoalan Permadi yang akan menikah lagi, kita buat acara khusus kita berlima."

Dari pintu dapur, istri Bima muncul ke ruang tengah. Ia sempat mendengar ujung kalimat yang aku ucapkan. Terbukti ia menyahut dengan cepat.

"Acara apa lagi, khusus berlima?"

Aku lirik Bima. Ia tersenyum. Dari dapur istriku muncul pula. Rupanya kegiatan bersih-bersih sudah selesai. Kedua anak Bima dan ketiga anakku membuntuti istriku.

===

Hari berikutnya, kami berlima berkumpul di rumah Sadewa, adik bungsu kami. Kebetulan anak Sadewa sedang sakit. Tidak tega Sadewa jauh-jauh dari anak semata wayangnya itu.

Ketika anaknya sudah tertidur, Sadewa ikut bergabung dengan kami di ruang tamu. Minuman jahe hangat terhidang di atas meja. Pisang goreng dan singkong rebus ikut menemani diskusi kami.

"Kita, khan, berlima. Bagaimana kalau kita pikul bersama. Bukankah uang sebesar itu untuk usaha bersama, bukan untuk membiayai pesta pernikahan?" ucapku memberi masukan terhadap besarnya uang mahar yang diminta keluarga calon istri kedua Permadi.

"Pihak keluarga sana memang hanya minta buku rekening, tidak meminta uang kontan. Itu artinya, mereka hanya ingin melihat angka rupiah dalam buku rekening, " kata Nakula dengan hati-hati.

"Bagaimana pendapatmu, Permadi?" tanyaku sambil mencomot pisang goreng.

Sebelum menjawab, Permadi meneguk minuman jahe hangat dengan pelan. Setelah meletakkan gelasnya, ia pun menyampaikan pandangannya.

"Saya setuju usul Kak Yudi. Selanjutnya, kakak Bima dan adik Nakula serta Sadewa, bagaimana?"

Sadewa mengangkat telunjuk jari tangan kanannya. Kami mengarahkan pandangan kepada adik kami yang terakhir itu. Mulutnya masih mengunyah singkong rebus. Setelah menelan, ia pun berbicara.

"Pendanaan dipikul bersama, saya setuju. Dari jumlah mahar yang diminta, jangan dibagi rata. Saya keberatan. Usul saya, ya, pakai persentase. Misalnya, untuk yang akan dapat istri baru menyetor 40 persen. Kemudian kak Yudi 30 persen, Kak Bima 15 persen, Kak Nakula 10 persen, dan sisanya saya 5 persen,"  ucap Sadewa sambil menyeringai.

Kami pun tertawa bersama. Soal hitung-menghitung, Sadewa adalah jagonya. Meskipun ia anak bontot, otaknya cukup cemerlang. Kami, kakak-kakaknya sering kalah dalam urusan yang matematis.

"Usul seperti itu bagus. Nanti disesuaikan dengan ketersediaan dana yang dimiliki masing-masing. Satu hal lagi, istri kita masing-masing harus diberi tahu hasil rapat pada malam hari ini," ucapku sambil memandangi adik-adikku satu per satu.

Tiba-tiba, Nakula berdiri. Aku, Bima, Permadi, dan Sadewa terperanjat. Belum satu menit aku selesai berbicara, Nakula dengan nada suara tinggi berbicara dengan memainkan telunjuknya. Telunjuk jari kanan itu dia gerak-gerakkan sambil menunjuk wajah Permadi.

"Kakak Permadi yang akan menikah, mengapa kita semua harus ikut susah? Kalau rencana itu kita penuhi, apakah tidak ada lagi permintaan dari pihak sana? Ingat, ya, dana itu hanya untuk membuka usaha, bukan untuk acara pesta pernikahan. Terus, biaya pernikahan dari mana?"

Permadi yang ditunjuk-tunjuk adiknya terlihat tenang. Sebelum menjawab, ia tersenyum terlebih dahulu. Untuk menunjukkan keseriusannya, ia pun berdiri.

"Ada pihak ketiga yang membiayai semua acara pesta pernikahan. Mulai dari pakaian pengantin, tempat acara, hidangan, dan hiburan, semua dari pihak ketiga atau sponsor."

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Demikian pula ketiga adikku yang lain. Dengan tenang Permadi melanjutkan penjelasannya.

"Pakain untuk kakak-kakak dan adik-adikku juga dari sponsor. Termasuk untuk kakak dan adik ipar. Kemudian untuk kemenakan-kemenakanku, nanti saya yang akan atur. Maksud saya, nanti biar diurus oleh istri pertamaku."

Aku segera bangkit. Agar pembicaraan tidak melebar ke mana-mana, aku harus mengarahkan fokus persoalan utama.

"Sebentar-sebentar. Kita selesaikan satu per satu pokok pembahasan kita. Yang pertama kita sepakati dulu tentang uang mahar yang akan digunakan sebagai modal usaha. Apakah persentase yang tadi dikemukakan Sadewa disetujui?"

"Setuju ..." terdengar keempat adikku berucap hampir bersamaan.

"Bagus," ucapku, "selanjutnya, apakah kita akan datang bersama-sama melamar gadis itu atau diserahkan salah seorang di antara kita?"

Hening sesaat. Persoalan yang ini belum pernah disinggung sebelumnya. Setelah beberapa saat kami bergelut dengan pikiran masing-masing, Permadi angkat bicara.

"Sebaiknya kakak tertua yang menemani saya melamar gadis itu."

"Setuju ..." terdengar keempat adikku berucap hampir bersamaan.

Tiada terasa pisang goreng di meja sudah habis. Singkong rebus masih tersisa dua potong. Aku menuangkan lagi minuman jahe hangat dari teko. Masih tersisa sedikit.

"Terus kapan kita setor uang ke rekening untuk mahar?" tanya Nakula sambil melirik ke arah Permadi.

"Hari ini hari Senin. Mulai besok sudah boleh setor. Rencana melamar hari Rabu lusa!" tutur Permadi dengan nada datar.

Hampir bersamaan Nakula, Sadewa, dan Bima berteriak sambil berdiri.

"Apa ...?"

Wajah ketiganya didekatkan ke muka Permadi. Mereka benar-benar terkejut. Namun Permadi terlihat tenang-tenang saja. Ia justru tersenyum dan berkata lagi.

"Kata kakek-nenek kita, lebih cepat lebih tepat."

Dengan badan lesu, ketiga adikku itu kembali duduk di sofa. Mereka sibuk dengan pikran masing-masing. Aku mendekati tempat duduk Permadi.

"Berikan kelonggaran waktu kepada mereka. Aku yakin ada hal lain yang harus didahulukan. Kita tidak dapat sepihak membuat keputusan. Saat inilah perlunya kita berkumpul untuk bermusyawarah membahas hal sampai sekecil-kecilnya."

Ucapanku terhenti karena ada seseorang yang muncul di ruang tempat kami bermusyawarah. Wajah orang itu sangat kami kenal. Namanya pun sering kami sebut-sebut dalam setiap pertemuan keluarga.

"O ... di sini rupanya," ucap Paman Yuda dengan sorot mata diarahkan kepada Permadi.

"Ada, apa, Paman?" tanya Permadi sambil berdiri kemudian berjalan mendekati Paman Yuda yang sering dijuluki Duryudana, tokoh jahat dari keluarga Korawa.

"Ada informasi penting buatmu. Langsung saja aku sampaikan di sini, ya. Tadi aku sudah ke rumahmu. Kata istri pertamamu, kamu ada di sini. Makanya, aku langsung ke sini," ucap Paman Yuda lagi.

"Pihak sponsor yang akan membiayai pesta pernikahanmu membatalkan diri. Artinya, kalian tidak punya sponsor lagi untuk acara pernikahanmu," tutur Paman Yuda dengan nada mengejek.

"Itu artinya, kamu harus memberikan mahar lagi untuk biaya acara pesta pernikahan nanti," ucap Paman Yuda bernada instruksi.

"Sebentar-sebentar, Paman," ucapku sambil meminta Paman Yuda untuk mengambil tempat duduk.

"Mengapa Paman yang menyampaikan informasi ini kepada kami? Bukankah ada pihak orang tua kandung calon pengantin perempuan?" tanyaku dengan suara lantang.

"O ... tidak perlu. Aku datang justru untuk membantu kalian. Setelah aku dengar bahwa pihak sponsor akan membatalkan bantuannya, aku segera ke sini. Supaya kalian dapat menyiapkan lebih cepat," ucap Paman Yuda seolah-olah mau jadi pahlawan.

"Tidak ... tidak ... Paman. Kami akan bertanya langsung dulu kepada orang tua gadis itu. Jika sponsor sebelumnya membatalkan, kami akan mencari sponsor baru. Paman tenang saja. Duduk manis saja menyaksikan keponakan Permadi menggandeng istri kedua. Bukankah begitu, Madi?" ucapku sambil mengedipkan sebelah mataku.

"Benar, Paman. Tidak perlulah Paman repot-repot mengurusi acara kami. Biarkan  kami berlima mencari jalan pemecahan jika ada masalah yang menghadang, " tutur Bima.

"Sombong sekali, kamu! Jauh-jauh aku datang ke sini untuk membantu kalian. Apa balasannya? Satu tetes air minum pun tidak kauberikan padaku," ucap Paman Yuda sambil berdiri.

Selanjutnya, ia bergerak akan meinggalkan ruang tempat kami berkumpul. Langkahnya terhenti karena istri Sadewa muncul dengan membawa teko air minum. Ia tersenyum sejenak kemudian menaruh teko itu di atas meja.

"Eh, ada Paman Yuda. Mari Paman, saya bawa kopi hitam manis," tutur istri Sadewa sambil mengambilkan sebuah cangkir yang bersih.

"Terima kasih. Aku ada undangan rapat malam ini. Di sana pasti juga ada minuman dan makanan yang enak-enak," Paman Yuda berbicara sambil melangkahkan kaki menuju halaman rumah.

Kami membisu sampai suara langkah kaki paman tidak terdengar lagi. Istri Sadewa segera kembali ke dapur. Ia tahu diri bahwa kehadirannya tidak diperlukan untuk sementara ini.

"Berhubung sudah larut malam, musyawarah kita cukupkan sampai di sini dulu. Permadi, kau segera cari info perihal sponsor itu. Setelah ada kepastian, kita segera membahasnya lagi lewat grup WA," ucapku menutup pertemuan.

Kami segera berkemas. HP yang berserakan di atas meja diambil oleh pemilik masing-masing. Permadi terlihat menuangkan minuman baru dari teko yang dibawa istri Sadewa. Kelihatannya ada ketegangan baru di benaknya sehingga perlu minum kopi hitam manis. Sementara itu, Nakula menyimpan HP ke dalam tas tenteng yang menggelayut di pundaknya.

                                                         

Penajam, 19 Maret 2018

(diedit 23 April 2024)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun