"Masalahnya, wanita yang akan dinikahi Permadi berasal dari keluarga istri Paman Yuda," ucap adik Bima dengan wajah sedih.
Paman Yuda adalah saudara ayahku yang dijuluki kakek sebagai keluarga Korawa. Nama Yuda sering diplesetkan menjadi Duryudana, tokoh keluarga Korawa. Padahal nama Paman Yuda di akta kelahirannya adalah Yuda Pratama.
"Kalau keduanya saling mencintai dan istri pertama Permadi menyetujui, apa salahnya? Bukankah itu syarat yang berlaku?" tanyaku menyelidik.
Bima terdiam beberapa saat. Sebelumnya aku mendengar selentingan, bukan itu masalahnya. Maksudku bukan kerena calon istri kedua adalah keluarga dari istri Paman Yuda. Bukan itu pokok persoalannya.
"Sebenarnya, masalah yang menjadi beban bagi Permadi adalah soal uang antaran atau uang panai," tutur Bima selanjutnya.
"Karena masalah uang mahar itu lantas dibuatlah skenario kalau mereka tidak berjodoh karena dari dua kubu yang berseteru, begitu?" tanyaku sedikit emosi.Â
Bima memandangku dengan heran. Ada perubahan pada wajah adikku itu. Rona wajah yang semula menunjukkan rasa sedih telah berubah menjadi ketakutan.
Mengetahui perubahan pada wajah adikku, segera aku turunkan nada suaraku. Aku tidak ingin terlihat galak atau pemarah. Sebagai kakak tertua harus berusaha menjadi pengayom bagi semua adik-adikku.
"Begini. Kita harus berhati-hati dalam menghadapi persoalan ini. Permadi harus kita ajak berunding. Informasi apa yang telah ia terima. Kemudian, saudara-saudara kita yang lain memperoleh informasi seperti apa. Akhir-akhir ini banyak hoax!" ucapku dengan penekanan pada kata terakhir.
"Waduh, kenapa tadi waktu arisan tidak kita bahas masalah ini?" ucap Bima sambil garuk-garuk kepala.
"E ... jangan mencampuradukkan kegiatan," kataku, "Acara arisan, ya, arisan. Untuk membahas persoalan Permadi yang akan menikah lagi, kita buat acara khusus kita berlima."