Dari pintu dapur, istri Bima muncul ke ruang tengah. Ia sempat mendengar ujung kalimat yang aku ucapkan. Terbukti ia menyahut dengan cepat.
"Acara apa lagi, khusus berlima?"
Aku lirik Bima. Ia tersenyum. Dari dapur istriku muncul pula. Rupanya kegiatan bersih-bersih sudah selesai. Kedua anak Bima dan ketiga anakku membuntuti istriku.
===
Hari berikutnya, kami berlima berkumpul di rumah Sadewa, adik bungsu kami. Kebetulan anak Sadewa sedang sakit. Tidak tega Sadewa jauh-jauh dari anak semata wayangnya itu.
Ketika anaknya sudah tertidur, Sadewa ikut bergabung dengan kami di ruang tamu. Minuman jahe hangat terhidang di atas meja. Pisang goreng dan singkong rebus ikut menemani diskusi kami.
"Kita, khan, berlima. Bagaimana kalau kita pikul bersama. Bukankah uang sebesar itu untuk usaha bersama, bukan untuk membiayai pesta pernikahan?" ucapku memberi masukan terhadap besarnya uang mahar yang diminta keluarga calon istri kedua Permadi.
"Pihak keluarga sana memang hanya minta buku rekening, tidak meminta uang kontan. Itu artinya, mereka hanya ingin melihat angka rupiah dalam buku rekening, " kata Nakula dengan hati-hati.
"Bagaimana pendapatmu, Permadi?" tanyaku sambil mencomot pisang goreng.
Sebelum menjawab, Permadi meneguk minuman jahe hangat dengan pelan. Setelah meletakkan gelasnya, ia pun menyampaikan pandangannya.
"Saya setuju usul Kak Yudi. Selanjutnya, kakak Bima dan adik Nakula serta Sadewa, bagaimana?"