"Awas! Jangan sentuh kakakku!" ucap adikku waktu itu.
Lelaki yang akan berbuat usil akhirnya mengurungkan niatnya. Apalagi Lisa berteriak dengan lantang. Para pejalan kaki atau pengendara banyak yang menoleh waktu itu. Lelaki itu pun pergi setelah melemparkan uang seharga minuman es dawet ayu satu porsi.
"Sudah, minum dulu dawetmu!" ucapku setelah mengunyah dan menelan suapan pertama.
Perlahan Lisa meraih cangkirnya. Ujung sedotan plastik segera ditempelkan di bibirnya. Perlahan ia sedot es dawet itu sambil memejamkan mata. Aku tahu betul, Lisa sangat menyukai dawet buatan Ibu. Meskipun setiap hari meminum dawet itu, Lisa tidak pernah merasa bosan.
"Tadi Ibu cerita, stok gula merah tinggal sedikit," tutur Lisa pendek setelah berhenti menyedot es dawet.
"Aku habiskan makanku dulu. Nanti aku yang belanja!"
Lisa mengangguk. Ia paling suka berada di warung melayani pembeli. Dengan gaya bicara yang cerdas, pembeli yang semula hanya ingin membeli satu porsi es dawet ayu, bisa berubah pikiran untuk membeli dua atau tiga porsi untuk dibawa pulang.
Sebelum berangkat belanja gula merah, aku lihat dulu keadaan cuaca. Langit terlihat mendung pekat. Awan hitam menggumpal di sebelah barat. Meskipun begitu udara terasa panas. Dalam hati aku berdoa, semoga masih ada pembeli yang datang.
Pada saat aku keluar dari warung kami, kulihat pedagang di kiri dan kanan kami mulai tutup. Mereka biasa begitu. Jika cuaca mau hujan, mereka segera menutup warungnya. Sebelah kiri adalah pedagang gado-gado. Sebelah kanan penjual sayur segar.
"Kakak tidak lama, khan, beli gula merahnya?" pertanyaan Lisa meluncur.
Aku tersenyum sambil berjalan menuju sepeda motor yang tadi diparkir Lisa. Aku menoleh sebentar ke warung, seolah ada sesuatu yang tertinggal. Kuraba tas tangan untuk memastikan uang untuk belanja sudah terbawa.