Selembar uang sepuluh ribuan ia serahkan. Aku menerima uang itu sambil mengucapkan terima kasih. Lelaki itu segera menuju sepeda motor yang ia parkir tak jauh dari warung kami.
Tempat berjualan kami tidak jauh dari pintu gerbang menuju pelabuhan kapal feri. Tak jauh dari pelabuhan itu, ada pelabuhan kapal kayu dan pelabuhan speedboat. Ibuku menyewa petak warung cukup strategis.
"Makan siang datang!" suara adikku terdengar.
Ia memarkir sepeda motor agak jauh sedikit dari warung. Itu dilakukan agar tidak menghalangi pembeli yang mampir ke warung kami. Sebuah rantang berisi makanan ia tenteng dengan langkah lebar-lebar. Terik sinar mentari membuatnya tidak mau berlama-lama di tempat terbuka.
"Lauknya apa, Lis?" tanyaku sambil melirik rantang tiga susun yang ditaruhnya di atas lincak, bangku panjang terbuat dari anyaman bambu.
Lincak itu berada di dalam. Ada gorden warna merah sebagai tirai. Dengan begitu, ada pemisah antara tempat berjualan dengan lincak. Ibuku sering duduk di sana pada hari-hari tertentu, pada saat ia ingin menemani kami berjualan.
Ketika kami masih kecil, ibulah yang berjualan dawet ayu di tempat itu. Seiring dengan perjalanan usia, ibu tidak kuat lagi berlama-lama berada di warung. Atas inisiatif Lisa, kami memutuskan untuk berjualan berdua. Tepatnya bergantian.
Pagi hari Lisa harus pergi ke sekolah hingga pukul dua siang. Aku yang jaga warung mulai pukul sepuluh pagi. Ibuku di rumah mempersiapkan dagangan dawet ayu tersebut. Kami hanya hidup bertiga sejak sembilan tahun yang lalu. Ayah kami meninggal karena kecelakaan. Tepatnya, ayah menjadi korban tabrak lari.
Waktu itu, senja hari. Ketika ayah sedang dalam perjalanan dari warung ke rumah, tiba-tiba ada sepeda motor yang ngebut menyalipnya. Kendaraan ayah tersenggol. Spontan ayah terjatuh. Sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi melindas tubuh ayah yang masih terkapar di tengah jalan.
Baik pengemudi motor maupun pengemudi truk tidak menghentikan kendaraannya. Seolah-olah mereka baru saja menabrak benda yang tidak berharga. Mengetahui kejadian itu, ibuku jatuh sakit sampai seminggu lamanya.
Untung aku dan Lisa segera menyadari. Kami tidak boleh terlalu lama bersedih. Kami harus mencari nafkah untuk menyambung hidup. Ibuku juga mulai bangkit. Dengan kemampuan meracik dawet ayu, kami terus berjualan.