Wahai publik pecintai sepakbola nasional. Coba perhatikan, apa yang dihasilkan dari pertemuan antara PSSI dan Kemenpora, dari pertemuan rombongan PSSI yang diterima Menpora Imam Nahrawi di kantor Kemenpora, Senayan Jakarta, Rabu (21/02/2018).
 Lagi-lagi yang dibicarakan adalah menyoal program grassroot, seperti yang juga dilakukan oleh pelatih-pelatih Indonesia yang masih dielu-elukan karena prestasinya, dan coba keliling ke berbagai daerah, lakukan coaching clinic. Selalu bicara grassroot, grassrot, dan grassroot.Â
 Ada grassroot ala Indra Syafri, lalu sekarang ada grassroot yang dihasilkan dari pertemuan PSSI dan Kemenpora.
 PSSI dan Kemenpora selama ini ke mana?
Apa yang dihasilkan dari pertemuan antara PSSI dan Kemenpora, adalah hal yang sangat baik sekaligus memprihatinkan! Hanya di Indonesia, menyangkut urusan sepakbola semua ingin terlibat atau mau dilibatkan atau mau maunya melibatkan diri, padahal urusan sepakbola, sewajibnya menjadi tanggungjawab organisasi sepakbola resmi di tanah air satu-satunya, yaitu PSSI.
Â
Bahkan dari hasil pertemuan, urusan grassroot ini, malah banyak pihak yang diharapkan turut ikut campur tangan sepertipemerintah, LSM, komunitas, sekolah, dan pihak lain, padahal objek grassroot adalah anak-anak usia 6-12 tahun. Ke mana saja selama ini PSSI dan Kemenpora?
Anak-anak usia 6-12 tahun, kini telah jutaan jumlahnya yang terdaftar dan dilatih serta dibina di Sekolah-Sekolah Sepakbola (SSB), atau ada yang dibina wadah sok keren bernama Akademi sepakbola, padahal proses pembinaannya tidak beda dengan SSB.
Bayangkan, sekarang ini, hampir seluruh anak yang sudah terdaftar di SSB, lalu menjadi pemain binaan SSB, namun anak bersangkutan juga menjadi pemain di Sekolah Dasar (SD), sekolah formal Si anak. Berapa banyak event festival/turnamen/kompetisi anak usia 6-12 tahun yang akhirnya saling membenturkan individu anak. Saat berasamaan seorang anak dibutuhkan untuk membela SSB dalam sebuah event festival, namun di waktu dan hari yang sama sekolah formalnya (SD) juga membutuhkan tenaga Si anak.
Ke mana saja PSSI dan Kemenpora selama ini? Apakah tertutup mata dan tertutup telinga banyaknya persoalan perebutan Si anak oleh SSB dan sekolah formalnya, meski anak bersangkutan di bina di SSB, bukan di SD.
Lalu, program grassroot yang diperbincangkan, sejatinya untuk anak-anak usia 6-12 di negara Indonesia? Atau negara lain?Anak usia 6-12 tahun di Indonesia, kini telah tergrassroot oleh SSB dengan berbagai festival dan kegiatannya.
Asprov, Askab, Askot tidak berdaya
Apa saja yang selama ini telah dilakukan oleh PSSI menyoal urusan grassroot ini, terbukti Asporv, Askab, dan Askot sebagai kepanjangan PSSI di provinsi/kabupaten/kota seluruh Indonesia justru mati suri. Siapa yang akhirnya menggiatkan sepakbola akar rumput ini? Pihak swasta, yaitu SSB-SSB yang lalu menjamur dan tidak pernah diberikan arahan hingga SSB itu tidak pernah jelas kedudukan dan fungsinya di program tergaris PSSI.
Setali tiga uang, Kemenpora juga ikut menebar benang kusut pembinaan sepakbola akar rumput yang justru lebih kuat dikelola pihak swasta baik oleh SSB maupun penggagas festival/turnamen/kompetisinya. Timnas bahkan telah merasakan keberadaan kompetisi pihak swasta dengan merekrut pemain hasil dari proses pembinaan, pelatihan, dan kompetesinya.
Kemenpora turut menyelenggarkan Liga Pendidikan Indonesia (LPI), menyelenggarakan Piala Menpora. Tapi siapa peserta dari Liga dan Piala Menpora? Seharusnya dari sekolah formal setingkat SMP dan SMA, tetapi faktanya, pesertanya direkrut dari SSB-SSB juga.
Bila anak usai grassroot, ada benturan antara SSB dan SD karena berebut pemain. Maka, LPI dan Piala Menpora, berbenturan antara SSB dan SMP/SMA.
Apakah selama ini PSSI dan Kemenpora memperhatikan hal ini? Tetapi PSSI dan Kemnepora justru menambah ruwet, melegitimasi asosiasi SSB yang bertebaran dan menjadikan kedudukannya seolah adalah sama seperti Askot/Askab/Asprov yang memang tidak pernah berdaya. Lebih ironis, asosiasi atau perkumpulan yang meminta rekomendasi turnamen/kompetisi pun direalisasi.
Mengulang dari nol
Apa yang selama ini dilakukan oleh PSSI dan Kemenpora menyangkut sepakbola akar rumput, saya sebut sebagai tindakan mengulang dari nol. Seluruh kegiatan yang didukung, direkomendasi, dilegitimasi, hingga membuat rancangan grassroot lagi dengan PSSI, siapa objek yang menjadi sasaran? Tetap anak-anak yang disetiap kelompok usianya menjadi rebutan antar SSB, SD, SMP, dan SMA?
Pengajar PAUD berijazah S-1, Pelatih SSB?
Coba dari hasil pertemuan PSSI dan kemenpora Rabu (21/02/2018), mana yang para pembina usai akar rumput belum memahami? Pemibina dan pelatih SSB di akar rumput, kini juga telah banyak diisi oleh lulusan kepaltihan dari universitas-niversitas negeri se antero Indonesia, yang justru lebih memahami tatatan pendidikan sesuai jalur pedagogik anak, ketimbang pelatih-pelatih SSB yang hanya bermodal lisensi keplatihan PSSI/AFC yang program kepaltihannya hanya sekelas kursus satu atau dua atau tiga minggu.
 Sementara para pelatih lulusan universitas, lebih mumpuni dari segi penanganan anak, karena ijazah yang dimilikinya butuh waktu untuk meraihnya minimal 8 semester alias 4 tahun. Bahkan untuk sekedar mengajar anak di level Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di sekolah formal, kini persyaratannya harus memiliki ijazah S-1 Sarjana. Bandingkan dengan pelatih SSB di usia dini? Terbayangkah hasil anak didikannya? Padahal anak-yang dibina dan didik di usia yang sama!
Â
Program grassroot PSSI-Kemenpora kadaluwarsa?
Dari hasil pertemuan PSSI-Kemenpora, saya menyebut langkah ini adalah langkah  terlambat. Bila hasil yang tersebut berikut ini mau dijalankan, banyak persoalan seperti yang telah saya urai wajib disusuri satu-persatu.
Coba kita perhatikan konsep nomor pertama hingga kelima belas:
Pertama, program grassroots football dimainkan anak laki-laki dan perempuan berusia 6-12 tahun melalui inisiatif sekolah, komunitas, dan klub. Kedua, konsep dari program ini adalah mengumpulkan orang sebanyak mungkin secara bersama-sama melalui sepakbola. Ketiga, Program ini memfasilitasi pertukaran dan saling berbagi nilai-nilai kemanusiaan dan, tentu saja, mempromosikan kenyamanan kita berlatih olahraga yang mengagumkan ini.
Keempat, bicara grassroot ini juga ada karena alasan bahwa untuk beberapa orang, grassroots football fokus pada aktivitas rekreatif. Sementara untuk orang lain, program ini merupakan program yang terstruktur untuk berlatih, dengan latihan dan pertandingan, di dalam kerangka sekolah atau klub. Kelima, tentu saja tidak semua pemain muda tersebut akan menjadi bintang di masa depan dan tidak semua mempunyai skill yang dibutuhkan untuk menjadi pemain profesional. Oleh karena itu, sesi pelatihan yang intensif dan taktik yang rumit tidak dibutuhkan.
Keenam, bermain adalah alat yang terbaik untuk belajar, anak belajar sepakbola dari bermain sepakbola itu sendiri. Di atas semua kegiatan dan latihan, pastikan anak-anak harus bergembira sehingga tumbuh harapan terhadap sepakbola itu sendiri. Ketujuh, elemen yang sangat penting dari grassroots football adalah membangun hubungan sosial, semangat tim, dan gembira.
Kedelapan, konsep belajar lewat bermain dengan bimbingan coach-educator adalah pendekatan spesifik yang didesain untuk merangkul anak-anak dan menciptakan proses yang terhubung dengan masa depan. Kesembilan, coach-educator harus dinamis, latihan sederhana, dan memotivasi. Harus selalu menghormati karakter fisik, fisiologis, dan psikologis anak-anak. Anak-anak bukan miniatur orang dewasa, tapi anak dengan segala tingkah laku dan dinamikanya.
Kesepuluh, sepakbola adalah aktivitas rekreatif utama dari anak-anak seluruh dunia yang jumlahnya tak terhitung. Sepakbola adalah alat luar biasa untuk integrasi sosial dan alat yang menakjubkan untuk berekspresi. Kesebelas, program grassroots football menawarkan kesempatan bagi semua orang untuk bermain sepakbola, tanpa diskriminasi, dan tanpa harus menyediakan infrastruktur yang mewah.
Keduabelas, program grassroots football telah menjembatani kerjasama yang erat antar-pelaku sepakbola dan melibatkan semua stakeholdersdalam pendidikan (pemerintah, LSM, komunitas, sekolah, dan sebagainya). Ketigabelas, grassroots football adalah sepakbola untuk semua, oleh semua, dan bisa dimainkan di mana saja.
Keempatbelas, sepakbola Grassroot adalah tahapan awal anak belajar sepakbola, untuk itu pastikan mereka lakukan dengan gembira dan senang sehingga menumbuhkan harapan terhadap sepakbola itu sendiri. Kelimabelas, semakin banyak anak ingin bermain sepakbola, dengan sendirinya semakin banyak pilihan untuk memilih pemain yang bagus.
Dari seluruh konsep tersebut? Mana yang belum dijalankan oleh SSB dan penyelenggara festival/turnamen/kompetisi sepakbola swasta? Yang pasti, bila tidak diurai semua persoalan, didudukkan dulu SSB di tempat yang benar. Di beri nafas Askot/Askab/Asprov dengan benar, lakukan saja oleh PSSI dulu, tidak melibatkan pihak lain. Kemenpora juga melihat benturan dari LPI dan Piala Menpora di bawah antar SSB dan Sekolah. Pasti program grasroot sepakbola Indonesia lebih bermakna, tepat guna, tepat sasaran. Tidak berbenturan dan tempat saling rebutan kue. Hingga menjadi arena taktik, intrik, yang leka dengan dunia politik. Kembali ke akar rumput, kembali ke sportivitas. Mungkin ini yang wajib ditempuh.
Jangan hanya senang membuat program, Â lalu macet ditengah jalan, Â karena berbenturan! Ini program kadaluwarasa, tidak model lagi, sudah lewat!
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H