Asprov, Askab, Askot tidak berdaya
Apa saja yang selama ini telah dilakukan oleh PSSI menyoal urusan grassroot ini, terbukti Asporv, Askab, dan Askot sebagai kepanjangan PSSI di provinsi/kabupaten/kota seluruh Indonesia justru mati suri. Siapa yang akhirnya menggiatkan sepakbola akar rumput ini? Pihak swasta, yaitu SSB-SSB yang lalu menjamur dan tidak pernah diberikan arahan hingga SSB itu tidak pernah jelas kedudukan dan fungsinya di program tergaris PSSI.
Setali tiga uang, Kemenpora juga ikut menebar benang kusut pembinaan sepakbola akar rumput yang justru lebih kuat dikelola pihak swasta baik oleh SSB maupun penggagas festival/turnamen/kompetisinya. Timnas bahkan telah merasakan keberadaan kompetisi pihak swasta dengan merekrut pemain hasil dari proses pembinaan, pelatihan, dan kompetesinya.
Kemenpora turut menyelenggarkan Liga Pendidikan Indonesia (LPI), menyelenggarakan Piala Menpora. Tapi siapa peserta dari Liga dan Piala Menpora? Seharusnya dari sekolah formal setingkat SMP dan SMA, tetapi faktanya, pesertanya direkrut dari SSB-SSB juga.
Bila anak usai grassroot, ada benturan antara SSB dan SD karena berebut pemain. Maka, LPI dan Piala Menpora, berbenturan antara SSB dan SMP/SMA.
Apakah selama ini PSSI dan Kemenpora memperhatikan hal ini? Tetapi PSSI dan Kemnepora justru menambah ruwet, melegitimasi asosiasi SSB yang bertebaran dan menjadikan kedudukannya seolah adalah sama seperti Askot/Askab/Asprov yang memang tidak pernah berdaya. Lebih ironis, asosiasi atau perkumpulan yang meminta rekomendasi turnamen/kompetisi pun direalisasi.
Mengulang dari nol
Apa yang selama ini dilakukan oleh PSSI dan Kemenpora menyangkut sepakbola akar rumput, saya sebut sebagai tindakan mengulang dari nol. Seluruh kegiatan yang didukung, direkomendasi, dilegitimasi, hingga membuat rancangan grassroot lagi dengan PSSI, siapa objek yang menjadi sasaran? Tetap anak-anak yang disetiap kelompok usianya menjadi rebutan antar SSB, SD, SMP, dan SMA?
Pengajar PAUD berijazah S-1, Pelatih SSB?
Coba dari hasil pertemuan PSSI dan kemenpora Rabu (21/02/2018), mana yang para pembina usai akar rumput belum memahami? Pemibina dan pelatih SSB di akar rumput, kini juga telah banyak diisi oleh lulusan kepaltihan dari universitas-niversitas negeri se antero Indonesia, yang justru lebih memahami tatatan pendidikan sesuai jalur pedagogik anak, ketimbang pelatih-pelatih SSB yang hanya bermodal lisensi keplatihan PSSI/AFC yang program kepaltihannya hanya sekelas kursus satu atau dua atau tiga minggu.
 Sementara para pelatih lulusan universitas, lebih mumpuni dari segi penanganan anak, karena ijazah yang dimilikinya butuh waktu untuk meraihnya minimal 8 semester alias 4 tahun. Bahkan untuk sekedar mengajar anak di level Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di sekolah formal, kini persyaratannya harus memiliki ijazah S-1 Sarjana. Bandingkan dengan pelatih SSB di usia dini? Terbayangkah hasil anak didikannya? Padahal anak-yang dibina dan didik di usia yang sama!